Menghidupkan
Semangat Pancasila
Yudi Latif ; Cendekiawan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Mei 2017
DALAM suasana peringatan Hari Kelahiran Pancasila, cuaca
kebatinan bangsa ini diliputi awan kerisauan. Visi kebangsaan ibarat cermin
kebenaran yang jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap pihak hanya memungut
satu kepingan lantas memandang kebenaran menurut bayangannya sendiri. Rasa
saling percaya pudar; bineka warna sulit menyatu, rasa sulit bersambung,
rezeki sulit berbagi.
Di tengah kobaran api pertikaian yang bisa membakar rumah
kebangsaan, hendaklah tetap bertahan kepala dingin. Bila mata dibayar dengan
mata, dunia akan mengalami kegelapan. Dalam kegaduhan umpatan caci-maki, yang
diperlukan bukanlah mengeraskan pekikan suara, melainkan meninggikan
kemuliaan kata-kata. Karena hujanlah yang menumbuhkan bunga-bunga, bukan
gemuruh petir. Dalam hening perenungan, ada bening pikiran. Dalam bening
pikiran, ada eling kesadaran. Bahwa perkembangan bangsa ini tidak bisa
bergerak mundur.
Asal fitrah kepemimpinan bangsa ini adalah titik putih
kesetaraan-persaudaraan kewargaan. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia,
kepala pemerintahan/negara pernah (bahkan sering) dipimpin minoritas
non-Jawa. Pernah pula seorang Kristen, bernama Amir Sjarifoeddin Harahap,
menjadi perdana menteri. Bahkan Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda
(Kristen-Melanesia) beberapa kali menjadi pejabat presiden. Tak ketinggalan,
pernah pula perempuan menjadi presiden di negeri ini.
Bila kini masalah suku dan agama kembali dipersoalkan
dalam urusan pemilihan, pertanda ada kuman degeneratif yang melunturkan
semangat kebangsaan kita. Ketegangan etno-religius ini harus dipandang
sebagai gejala permukaan dari endapan penyakit epidemik yang menyerang sistem
saraf Pancasila.
Rumah Pancasila adalah rumah keseimbangan dengan lima
prinsip nilai kait-mengait yang harus dijalankan secara sinergis dan
simultan. Bibit penyakit bisa timbul karena distorsi dalam pemenuhan nilai
intrinsik setiap sila, ataupun karena ketimpangan dalam pemenuhan nilai
ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi antarsila.
Yang paling mudah terdeteksi dari tendensi kelunturan itu
terjadi pada pengamalan sila ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama
merupakan letupan dari kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
ketuhanan yang tidak berkebudayaan; tidak memijarkan semangat rahmatan lilalamin (kasih sayang bagi
seru sekalian alam).
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah
formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali batiniah nilai spiritualitas
dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.
Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual,
keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras.
Tanpa daya-daya kontemplatif dan kemampuan berdamai dengan
misteri dan ketidakpastian, orang-orang beragama bisa memaksakan absolutisme
sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan
penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar.
Pemulihan krisis-konflik sosial kehilangan basis
kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia menyuburkan rasa
kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering kali
memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme,
permusuhan, dan intoleransi.
Distorsi dalam pengalaman sila ketuhanan diperparah
distorsi dalam pengamalan sila persatuan.
Dalam masyarakat plural, sikap hidup yang harus
dikembangkan ialah semangat hidup berdampingan secara damai dan produktif
lewat pergaulan lintas-kultural yang membawa proses penyerbukan silang
budaya.
Namun, warisan panjang rezim represif, yang cenderung
melakukan homogenisasi dan sentralisasi budaya-politik, membuat bangsa
Indonesia cenderung mengembangkan sikap hidup monokultural; hanya membatasi
pergaulan dalam kepompong ras, etnik, dan agama masing-masing secara
eksklusif.
Segregasi sosial warisan kolonial belum banyak mengalami
peleburan. Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan sekat segregatif
yang mengucilkan.
Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar pembedaan
golongan juga masih bertahan.
Tabir sosial ini bahkan mulai dipahatkan pada model mental
generasi penerus lewat persekolahan eksklusif berbasis irisan kesamaan agama,
ras/etnik, dan kelas sosial.
Akibatnya, masyarakat cenderung mengembangkan sikap curiga
dan tidak percaya terhadap golongan lain dan memandang kehadiran yang berbeda
sebagai ancaman.
Pada akhirnya, seperti diisyaratkan John Raws, sumber
persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri multikultural ialah konsepsi
keadilan bersama (a share conception of
justice).
Sila 'Keadilan Sosial' merupakan perwujudan paling konkret
dari prinsip-prinsip Pancasila, tapi paling diabaikan.
Selama belasan tahun reformasi, Indonesia mengalami
surplus kebebasan, tapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang
makin lebar.
Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional,
bila ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial
akan meruyak.
Dengan kepala dingin dan keterbukaan bagi refleksi diri,
marilah kita kikis kuman kelunturan dan degenerasi semangat kebangsaan itu
dengan kembali ke fitrah bernegara.
Dengan memuliakan prinsip-prinsip moral publik
berlandaskan semangat Pancasila.
Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, kita patut bertanya,
apakah prinsip-prinsip Pancasila itu masih cukup relevan dalam menghadapi tantangan
globalisasi atau sudah diusangkan zaman? Jika masih relevan, kenapa pula
terdapat kesenjangan yang lebar antara idealitas Pancasila dan realitas
kehidupan bangsa saat ini?
Pancasila dan globalisasi
Tantangan pembumian Pancasila makin terasa pelik di tengah
arus globalisasi yang makin luas pengaruhnya, dalam penetrasinya, dan instan
kecepatannya.
Globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia
secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
Dengan arus globalisasi, setiap negara-bangsa menghadapi
potensi ledakan pluralitas dari dalam dan tekanan keragaman dari luar.
Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan
hak-hak asasi memang menguat.
Akan tetapi, oposisi dan antagonisme terhadap
kecenderungan ini juga terjadi.
Di seluruh dunia, 'politik identitas' (identity politics)
yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif--etnik, ras, kelas dan status
sosial, bahasa, agama, bahasa, dan bangsa--mengalami gelombang pasang.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan
dengan yang lain, politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan
perbedaan.
Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah
dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan suatu
kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya bisa
dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan
(otherness).
Dalam situasi seperti itu, eksistensi Indonesia sebagai
republik dituntut untuk berdiri kukuh di atas prinsip dasarnya.
Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses
demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari
masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan
tersebut, bangsa ini sesungguhnya telah memiliki daya antisipatifnya dalam
ideologi Pancasila.
Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya
fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang
berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, "Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiadanya 'egoisme-agama'.... Ketuhanan yang berbudi
pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain."
Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari
globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi
identitas, prinsip 'sosio-nasionalisme' yang tertuang dalam sila kedua dan
ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.
Dalam prinsip 'sosio-nasionalisme', kebangsaan Indonesia
adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri
atas prinsip semua untuk semua.
Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang berperikemanusiaan,
yang mengarah pada persaudaraan, keadilan, dan keadaban dunia.
Dikatakan Bung Karno, "Internasionalisme tidak dapat
hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme
tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman-sarinya
internasionalisme."
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam
politik dan ekonomi, prinsip 'sosio-demokrasi' yang tertuang dalam sila
keempat dan kelima Pancasila memberi solusi yang andal.
Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan
dengan demokrasi ekonomi.
Pada ranah politik, demokrasi yang dikembangkan ialah
demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial,
dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif.
Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan
keadilan sosial dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang
yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat,
membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut
hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila,
negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan
tahan banting.
Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan
merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan
radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dan tribalisme
atavisitis.
Antara kebangsaan yang chauvinis dan globalisme
triumphalis, antara pemerintahan autokratik dan demokrasi pasar-individualis,
antara ekonomi etatisme dan kapitalisme predatoris.
Pembumian Pancasila
Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain untuk kemudian
diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sejauh ini, keluhuran nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
dan haluan bernegara terus diimpikan dengan defisit kemampuan untuk membumikannya.
Setiap ideologi yang menghendaki kesaktian dalam
memengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa diindoktrinasikan sebatas
hapalan dan upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo
sebagai proses 'pengakaran' (radikalisasi).
Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis:
keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).
Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk
meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara.
Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan bahwa,
seperti kata John Gardner, "Tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang
dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar."
Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat
rasional. Pendekatan afektif-emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan
instrumen multimedia akan jauh lebih efektif.
Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk
mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu.
Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang
melahirkan teori-teori pengetahuan.
Proses penerjemahan ideologi ke dalam teori pengetahuan
ini penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan.
Setiap rancangan perundang-undangan mestinya didahului
naskah akademik.
Jika pasokan teoretis atas naskah ini diambil dari
teori-teori pengetahuan yang bersumber dari paradigma-ideologis yang lain,
besar peluang lahirnya kebijakan perundang-undangan yang tak sejalan dengan
tuntutan moral Pancasila.
Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila dapat menjiwai
perumusan konstitusi, produk-produk perundangan, dan kebijakan publik, dengan
menjaga keterkaitan antarsila dan keterhubungannya dengan realitas sosial. Dalam
kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal
(negara) harus diluaskan menjadi Pancasila yang melayani kepentingan
horizontal (masyarakat), serta menjadikan Pancasila sebagai landasan kritik
atas kebijakan negara.
Kian hari kian banyak bangsa lain yang mengapresiasi dan
meneladani Pancasila. Manakala ada tanda-tanda bangsa ini justru mulai
meninggalkannya, 1 Juni merupakan momen kelahiran kembali semangat memuliakan
Pancasila.
Yang harus kita tangkap dari peringatan Hari Lahir
Pancasila itu bukanlah abunya, melainkan apinya. Api kelahiran Pancasila
adalah semangat berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme;
semangat persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu
golongan dan lapisan; semangat membangun negara untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar