Semoga
Masih Ada Napas Sampai Ramadan
Candra Malik ; Budayawan Sufi
|
DETIKNEWS, 24 Mei 2017
Ramadan memang sebentar lagi tiba. Namun, kita belum tentu
sampai ke sana, ke bulan suci puasa itu, termasuk saya. Ajal adalah rahasia
terbesar dalam hidup. Adakah yang tahu kapan ia akan wafat?
Pernah suatu ketika saya bertanya pada para peserta kelas
meditasi yang saya asuh. "Apa yang sesungguhnya paling kita butuhkan di
dunia ini?" Aneka jawaban muncul, dan tak berlebihan jika ada yang
menjawab: kebahagiaan. Ya, siapa yang tidak membutuhkan kebahagiaan?
Lalu, ada seorang perempuan yang menyodorkan jawaban yang
berbeda dari orang kebanyakan. Jawaban yang saya punya ternyata juga ia
miliki. "Napas!" Ah, betapa benar jawaban ini. Napas!
Tanpa napas, kita niscaya mati. Oleh karena itulah, Allah
dalam Al Quran menyandingkan napas dengan ajal, jiwa dengan maut, diri dengan
kematian. Ayat 35 dari Surat Al Anbiya ini sungguh terkenal, yaitu "kullu nafsin dzaaiqatul maut."
Tanpa napas, tamatlah kita.
Namun, ternyata tidak setiap orang sadar bahwa dirinya
sedang bernapas. Atau, tidak setiap orang bernapas dengan kesadaran. Sejak
dilahirkan, kita mulai bernapas begitu saja. Tak setiap dari kita belajar
ilmu bernapas. Ilmu pernapasan.
Kita baru ngeh terhadap napas ketika ngos-ngosan atau
napas tersengal-sengal; baik karena olah raga atau karena sedang naik pitam.
Kita baru merasa napas itu penting ketika keadaan darurat. Segala upaya
diusahakan, entah itu pernapasan buatan dari mulut ke mulut atau dari selang
oksigen ke lubang hidung.
Saya kok ragu ada yang secara verbal berdoa meminta napas
kepada Allah. Padahal, jika Allah tidak mengaruniakan napas sesaat saja,
niscaya kita megap-megap. Betapa napas adalah karunia yang teramat besar bagi
kita, namun ternyata kita lalai untuk mensyukurinya.
Bulan Ramadan sudah mendekat, namun belum tentu kita tidak
menjauh darinya. Menjauh? Ya, menjauh. Allah memanggil orang-orang beriman
untuk memenuhi kewajiban berpuasa, namun tidak setiap kita memenuhi panggilan
itu. Jika pun berpuasa, acapkali kita berpuasa untuk memenuhi panggilan kita
sendiri.
Jelas-jelas diamanatkan dalam sebuah Hadits Qudsi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa, "Setiap amalan manusia adalah
untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan
Aku sendiri yang akan membalas ganjarannya," namun terang-terangan kita
memperlihatkan betapa puasa ini untuk kita sendiri.
Dari mulai menu sahur hingga menu buka puasa, tabiat yang
menuntut dihormati karena sedang berpuasa, tingkat konsumsi yang justru
meninggi di bulan yang seharusnya lebih ekonomis itu, hingga puncaknya yang
berupa aneka hal-hal baru yang diada-adakan atas nama perayaan Lebaran,
menunjukkan betapa puasa kita masih untuk kita sendiri. Bukan untuk Allah.
Dinamika penetapan 1 Ramadan yang mungkin saja berlainan,
selisih pandang tentang jumlah rakaat dalam Tarawih, beragam komentar soal
toa masjid ketika tiba waktu salat, beda pendapat mengenai apakah mereka yang
berbeda agama juga berhak mendapat zakat, hingga penetapan 1 Syawal,
sebaiknya dimaknai sebagai ikhtiar masing-masing dari kita dalam
mempersembahkan puasa untuk Allah. Tak perlu bertengkar.
Mumpung masih ada napas, mari kita berdoa masih diberi
napas hingga dapat memasuki Bulan Ramadan dan tulus berpuasa. Bahkan tanpa
perlu menunggu bulan suci itu benar-benar datang, kita pun bisa mensyukuri
setiap tarikan dan embusan napas dengan merasukkan zikir di dalamnya.
Semoga Masih Ada Napas Sampai RamadanIlustrasi: Edi
Wahyono
Bagi saya, Ramadan adalah salah satu di antara sekian
banyak bukti betapa Islam itu rahmatan
lil 'alamin. Bacalah sekali lagi Surat Al Baqarah ayat 183 yang selalu
kita kutip di bulan malam seribu bulan itu. Allah berfirman, "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa."
Spesifik Allah memanggil siapa pun yang beriman, dan kita
sama-sama tahu bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Jadi, jika Anda
kumur-kumur saja, atau membasuh muka, apalagi sampai mandi, yang adalah untuk
menjaga kebersihan, maka Allah memberikan kewajiban berpuasa itu kepada Anda
--tentu ini tak berlaku bagi perempuan yang sedang berhalangan.
Dan, lebih dari itu, puasa adalah tradisi. Lebih tepatnya
lagi layak disebut tradisi kebaikan. Sinyalemen itu muncul dari kalimat
"sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian". Ya,
Allah memerintahkan kepada siapa pun yang beriman untuk melestarikan tradisi
kebaikan untuk mencapai ketakwaan.
Secara pribadi, saya mengartikan takwa sebagai kesadaran
penuh dalam setiap napas. Senantiasa menghirup dan mengembus napas dalam
keadaan ingat kepada Allah, dan selebihnya --tentu saja-- berikhtiar mematuhi
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya selama napas masih dikandung badan.
Semoga, kali ini kita berhasil mencapai tujuan berpuasa yaitu agar kita
bertakwa. Marhaban ya Ramadan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar