Jihad
Kebangsaan Guru
Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan di
Puslit Kependudukan LIPI
|
KOMPAS, 24 Mei 2017
PARA guru merupakan para pejuang sejati. Mereka senantiasa
berjuang dengan sungguh-sungguh untuk memberikan pencerdasan dan pencerahan
bagi anak bangsa. Bekerja tanpa sorot kamera, tetapi tetap setia mengawal
anak-anak Ibu Pertiwi yang haus ilmu. Mendidik mereka dengan penuh kesadaran
dan kesabaran. Tak sembarang orang mampu menjadi guru. Hanya para pejuang
tangguhlah yang mampu bertahan. Pendidikan merupakan upaya untuk membebaskan
dan memerdekakan. Pada Kongres Pemufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) I yang diselenggarakan 31 Agustus 1928, Ki Hadjar Dewantara
menulis manusia merdeka merupakan manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak
bergantung kepada orang lain, tetapi bersandar atas kekuatan sendiri (Majelis
Luhur Taman Siswa, 1962). Pendidikan menurut pandangan Engku Mohammad Syafei,
pendiri INS Kayutanam, harus bertumpu pada intelektualitas, kepekaan
kemanusiaan, dan keterampilan (Sularto, 2016)
Mendidik bukanlah perkara mudah. Apalagi mendidik
anak-anak generasi milenial saat ini. Guru harus mengeluarkan beragam amunisi
kreativitas untuk melancarkan proses pembelajaran. Guru konvensional yang
hanya mengandalkan ceramah pasti ditinggal peserta didik. Tidur dan memeriksa
gadget tentu lebih menarik ketimbang mendengarkan seorang guru berceramah
selama berjam-jam. Harus ada kemasan baru dan segar dalam setiap kali
pembelajaran. Guru-guru yang hanya mengulang materi pelajaran yang sama dari
tahun ke tahun tanpa mencoba mencari referensi baru seperti penyanyi yang
memutar kaset yang itu-itu saja. Membosankan. Guru jenis itu sudah pasti
ditinggalkan zaman yang berlari cepat.
Di sisi lain, di tengah minimnya keteladanan, guru harus
menjadi garda terdepan mempraktikkan nilai-nilai kebaikan hidup. Ajaran
kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara 'Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani' patut ditengok kembali. Guru adalah teladan,
pemberi motivasi, dan pendorong. Pada praktiknya, guru harus mampu meyakinkan
para peserta didik bahwa nilai-nilai kebaikan dan cerita mengenai tokoh-tokoh
yang memiliki integritas bukan hanya ada di negeri dongeng. Memberikan para
siswa beragam kisah tak akan berhasil mengubah perilaku mereka. Apalagi jika hanya
mengandalkan ceramah-ceramah.
Guru tidak boleh terjebak pada proses pendidikan yang
hanya bertujuan menghasilkan para kampiun. Atau sekadar meluluskan anak-anak
bangsa yang terampil dan mumpuni nilai akademiknya. Tugas guru mendidik lebih
dari itu. Tugas besar guru ialah membangkitkan setiap potensi para peserta
didik dan mengoptimalkannya. Para peserta didik merupakan masa depan bangsa
yang perlu dibangun jiwa dan raganya.
Mendidik adalah upaya menebar kasih, maka tindakan
kekerasan fisik maupun simbolis harus dihindarkan. Menghardik, mencubit, dan
memukul merupakan jalan pintas bagi guru yang sudah habis akal. Penggunaan
kekerasan dalam proses pendidikan hanya berdampak buruk pada mentalitas
peserta didik. Tentu saja berbahaya jika para peserta didik lebih senang
menggunakan kekerasan jika dibandingkan dengan mengedepankan upaya dialog.
Ruang-ruang kelas harus menjadi arena bagi pembiasaan berdialog yang
konstruktif.
Guru menulis, menginspirasi
Tugas besar guru lainnya ialah menularkan semangat membaca
dan menulis kepada para peserta didik. Dengan banyak membaca, seorang guru
tidak akan terjebak pada kebekuan dan kebuntuan karena mereka senantiasa
memperbarui pengetahuan yang dimilikinya. Dengan menulis, seorang guru
berusaha membagikan pengetahuan yang ia miliki kepada khalayak yang lebih
luas melampaui sekat-sekat ruang pembelajaran di kelas. Melalui tulisan,
seorang guru berusaha menyebarkan gagasannya kepada 'ruang kelas' yang lebih
luas. Ketika tulisan yang dibuat dapat menginspirasi banyak orang,
sesungguhnya ia telah menghasilkan amal jariah yang berlipat ganda.
Apa yang dapat ditulis guru? Banyak hal yang dapat guru
tuliskan. Guru menuliskan ulasannya terhadap buku yang telah dibaca, metode
pembelajaran, kiat mengajar, ataupun gagasannya tentang pendidikan. Bisa juga
menuliskan kegelisahannya terhadap fenomena sosial yang ia hadapi. Dengan
tulisannya, guru dapat memberikan pengingatan kepada publik, hal yang luput
dari pandangan mata.
Guru dapat memanfaatkan koran, blog, ataupun media sosial yang
dimiliki untuk menyebarkan tulisannya. Beragam media dapat menjadi ruang
mendiseminasikan gagasan atau praktik yang sudah mereka lakukan di dunia
pendidikan. Ruang-ruang online itu harus direbut guru dan diisi dengan
beragam kisah mencerahkan dan mencerdaskan.
Pengalaman seorang guru jika tidak dituliskan hanya akan
menjadi kisah yang dikenang orang-orang di lingkaran terdekat saja. Tentu
amat disayangkan jika pengalaman yang kaya hanya menguap di ruang kelas.
Pengalaman berharga bertemu dengan beragam karakter anak didik harusnya dapat
dinikmati kalangan yang lebih luas.
Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir,
Kartini, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Pramoedya A Toer, Soe Hok Gie,
HAMKA, dan Ahmad Wahib sangat dikenal mewariskan tulisan-tulisan yang
menginspirasi. Meskipun mereka sudah tak hadir secara fisik, karya-karya
mereka terus diperbincangkan, diperdebatkan, dan disebarluaskan.
Tepat sekali ketika Pramoedya Ananta Toer menyatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Seseorang akan
diingat lebih panjang jika dibandingkan dengan 'jatah' umurnya di dunia
karena ia menulis. Ketika seorang guru menulis, mereka telah menjaga warisan
keilmuannya abadi dan tidak hilang dari catatan sejarah.
Para guru merupakan manusia tahan uji yang senantiasa
berposisi sebagai penjaga nalar anak bangsa. Kerja panjang melelahkan yang
tak pernah usai. Hanya guru yang memiliki napas panjang yang dapat
melakukannya. Guru yang mencintai bangsa Indonesia dengan sepenuh hati dan
menyadari bahwa mendidik merupakan upaya menunaikan jihad kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar