Indonesia,
Brexit, dan EU
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma Jaya
Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 24
Mei 2017
Kurang dari satu bulan dari sekarang Inggris akan
melakukan pemilu; pemilu penentuan apakah Theresa May akan mendapatkan
dukungan publik untuk terus memimpin proses negosiasi Inggris untuk keluar
dari Uni Eropa (EU). Momen ini tidak
hanya penting bagi Inggris, tetapi juga mendebarkan bagi mereka di EU dan
bagi kita di Indonesia perlu juga mendapat perhatian. Tahun ini adalah ulang
tahun ke 40 kerja sama Indonesia secara bilateral dan melalui mekanisme
regional ASEAN dengan EU. Kerja sama dengan EU termasuk yang sifatnya
strategis, artinya bahwa hal-hal yang dikerjasamakan tidak hanya seputar
urusan praktis seperti perdagangan, tetapi juga soal kerjasama politik keamanan,
militer, dan HAM. EU termasuk yang
mengalokasikan anggaran besar untuk kerja sama dengan Indonesia dan ASEAN.
Dengan kejadian Brexit, ada perkembangan yang menarik juga
dalam hal kerja sama EU dengan ASEAN sehingga juga ada efeknya pada
intensitas kerja sama di tataran bilateral. Inggris mulai mengambil inisiatif
untuk menawarkan kerja sama terpisah dari EU, bahkan sebelum mereka
mendapatkan kepastian bentuk negosiasi akhir dengan EU. Yang menarik bahwa
sejumlah negara lain di EU, juga melakukan hal yang sama; meskipun mereka
tetap berkontribusi melalui skema EU dalam kerja sama dengan ASEAN, mereka
juga membuka jalur kerja sama langsung dengan ASEAN dan negara-negara anggotanya.
Ambil contoh Swiss dan Jerman. Kedua negara tersebut
bahkan sudah mendapatkan status sebagai Dialog Partnerdi ASEAN meskipun
“kastanya” baru sebagai mitra sektoral dan mitra pembangunan, artinya secara
ruang lingkup kerja sama masih terbilang terbatas. Pedoman yang berkumandang
di mana-mana dalam pertemuan-pertemuan strategis bilateral maupun regional
yang dialami Indonesia adalah “winwin”, artinya kedua belah pihak harus
merasa diuntungkan.
Bentuk keuntungannya belum tentu sama persis, tetapi intinya
jangan sampai ada satu pihak yang merasa dirugikan dalam inisiatif kerja sama
apa pun. Ini adalah tanda-tanda bahwa relasi antarnegara yang saling
tergantung (interdependen) telah menempatkan kesadaran yang lebih tinggi
tentang pentingnya saling peduli dalam menjalankan kerja sama. Kembali ke
soal Brexit, secara umum memang konteks hubungan perdagangan secara bilateral
dengan Inggris tidak terlalu besar. Perdagangan nonmigas antara Indonesia dan
Kerajaan Inggris hanya USD2,89 miliar dan mencatat surplus perdagangan
sebesar USD549 juta.
Bandingkan misalnya dengan perdagangan dengan Amerika
Serikat (AS) yang surplus perdagangannya saja sudah mencapai USD8,78 miliar.
Hubungan Indonesia jauh lebih erat dengan EU. EU bagi Indonesia memiliki
posisi penting karena merupakan mitra dagang terbesar ke-5, dan Indonesia
sendiri di mata EU terletak di peringkat ke-30 dalam urutan mitra dagang di
dunia. Indonesia mengekspor mesin, peralatan transportasi, dan produk kimia
selain jasa hingga mencapai nilai USD14,41 miliar di tahun 2016 dan impor
sebesar USD10,65 miliar. Hal itu membuat kita surplus sebesar USD3,76 miliar.
Artinya, secara teoretis, data itu memperlihatkan bahwa
Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh oleh negosiasi Brexit. Namun,
yang patut dicermati adalah bahwa negara-negara lain di EU juga melakukan
antisipasi agar negosiasi mereka melalui EU dengan Inggris tidaklah
menimbulkan gejolak ekonomi juga kepada negara-negara EU yang lain. Jerman
termasuk yang khawatir dan prihatin dengan pilihan Inggris melakukan Brexit.
Sejumlah besar tokoh politik, militer, akademisi, dan pekerja sosial dari
Jerman yang kebetulan saya temui minggu ini dalam rangka dialog strategis
Indonesia-Jerman dan penataan kerja sama pembangunan memunculkan rasa waswas
atas negosiasi lanjutan dengan Inggris, meskipun mereka juga mengatakan juga
pada diri mereka sendiri agar tidak terlalu pesimistis.
Kedalaman keterlibatan Inggris dalam pendanaan EU, dalam
suplai sumber daya manusia bagi kekuatan militer bersama di Eropa, dan dalam
hal kerja sama ekonomi membuat mereka memilih untuk hatihati dalam menyikapi
Brexit. Beberapa analis meramalkan tentang bagaimana skenario negosiasi
EU-Inggris akan berdampak pada Asia (Mordecia dan kawan-kawan, 2017). Pertama
adalah dampak jangka pendek. Skenario optimistis memiliki asumsi bahwa proses
negosiasi akan berjalan dengan tertib.
Guncangan hanya terjadi di waktu yang pendek, namun
Inggris mampu menegosiasikan perjanjian perdagangan dan investasi baru dengan
tujuan utamanya yaitu negara-negara EU, AS, China, dan India. Beberapa analis
menyebut skenario ini sebagai Soft- Brexit. Asumsinya, EU dan Inggris
sama-sama menyadari kelemahan mereka masing-masing dan sepakat untuk menjaga
apa yang membuat mereka bersama dan mengelola apa yang membuat mereka pecah
misalnya soal kebebasan bekerja lintas batas.
Skenario kedua Stagnation and Contagion to EU. Ini adalah
skenario di mana Inggris akan menerima dampak negatif ketika benar-benar
meninggalkan EU. Calon pemodal akan menunda berinvestasi atau melakukan
relokasi ke wilayah yang lebih kondusif dan menguntungkan. Skenario ini
membayangkan pendalaman krisis yang terus berlangsung dan
mengakibatkanekonomiInggrisakanmengalami resesi, dan dampaknya akan terasa
juga di dunia. Skenario ini juga disebut sebagai Hard-Brexit.
Ini terjadi apabila EU tetap mempertahankan syarat di mana
Inggris harus menjamin orang untuk bebas bekerja di mana pun. Inggris harus
keluar dari EU dan benar-benar melakukannegosiasiselayaknya negara lain yang
berada di luar EU. Artinya, Inggris memang benar-benar ada di luar sistem
ekonomi dan politik EU. Skenario ketiga adalah Dissolution of the Union.
Skenario terakhir ini di mana dibayangkan EU akan pecah
adalah skenario terburuk yang mungkin tidak terjadi karena berusaha untuk
dihindarkan demi manfaat atau kepentingan dunia. Apabila ini terjadi,
bayangan terjadinya depresi ekonomi di dunia menjadi lebih dekat. Wong and
Jang (2017) memperkirakan bahwa skenario pertama mungkin tidak terjadi dan
kemungkinan yang terjadi kedua atau ketiga. Pendapatnya merujuk pada laporan
yang disiapkan Kantor Perdana Menteri berjudul The United Kingdom’s Exit from
and New Partnership with the European Union yang memuat 12 prinsip negosiasi
dengan EU.
Meskipun pada prinsip ke-12 menekankan tentang upaya untuk
Soft-Brexit, isinya secara keseluruhan memang untuk mempersiapkan diri keluar
dari EU. Bagi Indonesia dan ASEAN, kepentingan kita adalah agar situasi tidak
menentu di Eropa tidaklah berlarut-larut. Pilihan Soft-Brexit sebenarnya
sangat menguntungkan untuk kita. Meskipun sejauh ini para politisi Inggris
terlihat lebih memunculkan Hard-Brexit, belum tentu juga hal ini akan
sepenuhnya diterapkan. Sebagai pemain global yang juga dihormati di dunia,
dan juga punya relasi yang sangat baik dengan EU, Inggris, Jerman, dan
Prancis, Indonesia baik secara independen maupun melalui ASEAN perlu
mendorong EU dan Inggris agar mengutamakan kerja sama win-win demi stabilitas
Eropa.
Terkait dengan ambisi Inggris untuk going alone sebagai
pemain global, Indonesia perlu memainkan peranan sebagai pemberi inspirasi
positif agar nilai-nilai perdamaian dan penghormatan pada kerja sama yang
setara dan produktif menjadi bagian dari politik luar negeri Inggris.
Kekosongan akan tokoh global yang mampu menggerakkan negara-negara dunia
untuk tidak melupakan agenda-agenda bersama, perlu diisi juga dengan
partisipasi aktif Indonesia mengenali dan “mendekati” negara-negara mana
saja yang berpotensi menjadi mitra perdamaian dunia, termasuk negara-negara
dari Benua Eropa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar