Ayam
Panggang Laura dan Sepatu Bally Bung Hatta
Arie Saptaji ; Penulis,
Penerjemah, Editor, dan bapak dari dua anak;
Sedang menyiapkan sebuah novel
dan kumpulan puisi
|
DETIKNEWS, 12 Mei 2017
Gerakan
pemberantasan korupsi di negeri ini kembali terguncang ketika DPR mengetok
palu meloloskan usulan untuk menggunakan hak angket terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik membacanya sebagai upaya pelemahan atas
lembaga terdepan dalam perlawanan terhadap korupsi tersebut.
Gerakan
perlawanan terhadap korupsi memang terkesan angin-anginan, naik-turun seenak
perut para elit politik. Banyak kasus besar menghilang tak jelas jejaknya.
Sebagian kasus yang dibawa ke persidangan malah membikin kita tercengang
karena sanksinya terlalu ringan, tidak setimpal dengan besaran kerugian yang
telanjur terjadi.
Kita—warga
biasa—tampaknya hanya bisa mengelus dada. Atau, sesungguhnya kita memegang
andil untuk menentukan arah budaya korupsi pada masa depan? Bukankah kita
memegang kunci perlawanan terhadap korupsi di ranah yang paling dekat:
keluarga kita masing-masing? Para orangtua dapat menjadi ujung tombak gerakan
anti-korupsi dengan membekali anak-anak dengan nilai-nilai kebajikan.
Saya teringat
potongan kisah dalam Kota Kecil di Padang Rumput, salah satu novel dalam seri
Rumah Kecil karya Laura Ingalls Wilder (terjemahannya diterbitkan Libri/BPK
Gunung Mulia). Laura menulis:
"Kalau
anak-anak ayam itu bisa mereka pelihara dengan baik, kalau tidak diganggu
oleh elang atau cerpelai atau rubah, beberapa ekor di antaranya akan menjadi
induk ayam. Setahun kemudian induk-induk ayam itu akan bertelur, kemudian
telur-telur itu bisa ditetaskan. Dua tahun kemudian mereka akan bisa
menikmati ayam panggang."
Muncul rasa
haru dan kagum ketika membaca kutipan kisah keluarga Laura tersebut. Menunggu
selama dua tahun sebelum dapat menikmati ayam panggang buatan sendiri? Saya
tertegun. Mungkin ini yang hilang di tengah masyarakat yang dikepung
kecanggihan teknologi: waktu untuk memberi kesempatan sesuatu berkembang
secara wajar dan alamiah.
Produk apa
sekarang yang perlu kita tunggu sampai dua tahun? Dan apakah masih ada
gunanya ditunggu selama dua tahun? Dalam dua tahun kita mungkin bisa menabung
sejumlah sepuluh juta. Tapi, apakah nilai sepuluh juta itu tetap sama dua
tahun lagi? Jangan-jangan terjadi inflasi sehingga nilainya merosot.
Jangan-jangan produk yang kita inginkan sudah tidak diproduksi. Jangan-jangan
sudah disambar orang lain.
Lalu, kita
ingin meraup produk yang kita inginkan selagi masih hangat. Secepat-cepatnya.
Kalau bisa sekarang, kenapa mesti menunggu dua tahun lagi? Kalau tidak bisa
tunai, apa salahnya mencicil? Kita menjadi konsumen yang bergegas.
Omong-omong,
apa hubungannya semuanya ini dengan budaya korupsi? Mungkin tidak ada. Atau,
bisa jadi sangat berkaitan.
Budaya instan,
yang menggoda kita untuk melepaskan kesabaran, yang mengusik kita untuk tidak
puas, membuka pintu pada tawaran untuk menempuh jalan pintas. Dengan
menginjak hati nurani, sebagian orang segera menjemba kesempatan untuk
memperoleh penghasilan secara cepat dengan prosedur yang tidak wajar. Yang
tidak cepat, yang tidak melanggar aturan, tidak kebagian.
Bung Hatta
punya cerita lain. Pada 1950-an, Bally adalah merek sepatu mewah. Bung Hatta,
yang waktu itu seorang wakil presiden, berniat membelinya. Ia menyimpan
guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Kemudian ia menabung untuk
mewujudkan keinginannya. Nyatanya, tabungannya tidak pernah cukup untuk
membeli sepatu idaman itu.
Uang
tabungannya tergerus oleh keperluan rumah tangga atau untuk membantu
orang-orang yang datang kepadanya guna meminta bantuan. Keinginan Bung Hatta
membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya.
Guntingan iklan itu saja yang masih tersimpan dengan baik.
Kisah keluarga
Laura menawarkan nilai-nilai ketekunan, kesabaran, kerja sama, dan kesediaan
untuk bekerja keras. Untuk bersyukur. Untuk menikmati dan merayakan hari demi
hari tanpa dikejar-kejar oleh ketergesaan. Dengan penuh harapan. Laura
menulis:
"Masa-masa
menggembirakan akan datang. Dengan begitu banyak kesibukan, dan begitu banyak
harapan, hari-hari rasanya terbang dengan cepat."
Kisah Bung
Hatta menunjukkan, selain menahan diri dan bersabar, bisa jadi kita perlu
mengorbankan ambisi pribadi demi mengutamakan kesejahteraan keluarga dan
sesama. Juga, tidak sepatutnya kita menyalahgunakan wewenang dan amanah yang
dipercayakan pada kita.
Saya menemukan
kutipan di Twitter yang disebutkan bersumber dari Selo Soemardjan, sosiolog
asal Yogyakarta. Ia berkata, "Orangtua di Jawa tidak mengajari anak-anak
mereka menjadi orang kaya, tapi menjadi orang baik." Sungguh menarik.
Di tengah arus
"cara cepat menjadi kaya," ajaran itu mengedepankan keluhuran budi
pekerti. Bukan berarti kekayaan itu tidak perlu, tapi tidak selayaknya
dikejar dengan menyisihkan nilai-nilai moral. Tidak cukup orang bekerja
secara cerdas, yang dapat diselewengkan jadi bekerja secara licik; kita perlu
membulatkan hati untuk bekerja secara mulia.
Menanamkan
integritas dan nilai-nilai anti-korupsi merupakan tantangan yang tidak ringan
bagi orangtua. Terlebih kita hidup di tengah zaman yang lebih permisif dan
cenderung merelatifkan nilai-nilai, sekaligus zaman yang bergerak serbacepat.
Dapatkah
keluarga, alih-alih menyeret anak ke dalam arus budaya instan, menjadi ajang
untuk menyemai nilai-nilai berharga itu bagi anak-anak sejak dini? Bagaimana
mengajari anak untuk menahan diri dan bersabar? Untuk tidak tergoda bersikap
asal cepat, asal kebagian?
Orangtua perlu
gigih dan kreatif menggunakan berbagai kesempatan untuk membentuk karakter
anak. Untuk menanamkan nilai-nilai yang mudah-mudahan memperkuat mereka
menjadi pribadi yang tangguh dalam menolak godaan berkorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar