Suara
Pendatang atau Suara Orang Papua?
Nino Viartasiwi ; Peneliti
Masalah Konflik, Keamanan, dan Papua
pada The Institute of
International Relations and Area Studies,
Ritsumeikan University, Kyoto,
Jepang
|
KORAN
SINDO, 13
Mei 2017
Bacaan
terhadap opini orang Papua sering kali bias pandangan para pendatang. Ketika
polarisasi pendatang-penduduk asli adalah khas dalam politik lokal Papua,
membaca Papua mestinya berangkat dari kehati-hatian dalam memahami cleavages
ini.
Lembaga survei
Indikator Politik Indonesia belum lama ini merilis hasil survei berjudul
“Evaluasi Publik terhadap Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik di Papua
Menjelang Pilkada”. Di tengah minimnya informasi kuantitatif mengenai politik
Provinsi Papua, survei Indikator ditunggu-tunggu para pemerhati Papua.
Harapannya, survei ini menawarkan jendela untuk mengintip situasi kebatinan
masyarakat secara umum terhadap situasi politik di Papua dan situasi
menjelang pemilihan gubernur (pilgub) mendatang.
Pilgub Papuaaknya isu sensitif yang berkelindan di politik lokalnya. Jika di provinsi
lain politik identitas bisa menjadi kecenderungan yang menguat, di Provinsi
Papua masalah keamanan, pelayanan pemerintah, dan separatisme agaknya menjadi
isu sentral, terutama di kalangan masyarakat suku pendatang. Identitas
kesukuan seperti pada pilkada Provinsi Papua sebelumnya masih akan relevan
sebagai instrumen mobilisasi, namun terbatas pada suku-suku asli Papua.
Pilgub
Provinsi Papua akan menarik banyak kepentingan turun gelanggang. Selain
merupakan provinsi dengan sumber kekayaan alam terbesar, provinsi ini
merupakan potensi pengembangan infrastruktur yang masif. Juga, Papua menjadi
simbol keutuhan NKRI, salah satu taruhan terbesar para pemangku kepentingan.
Memuluskan jalan bagi calon gubernur yang mampu bekerja sama meredam hasrat
sebagian rakyat Papua lepas dari NKRI, atau sebaliknya, menjadi pilihan yang
terbuka. Ada tiga isu yang digunakan sebagai jaring pertanyaan dalam survei
Indikator.
Pertama, isu
PT Freeport Indonesia (FI), terutama terkait sikap Pemerintah RI dalam
perselisihan usaha dengan PT FI. Kedua, mengenai program integrasi
pembangunan yang diluncurkan Presiden Joko Widodo yaitu tol laut, tol udara,
dan BBM satu harga. Isu ketiga adalah gerakan separatisme, isu paling klasik
di Papua. Indikator memberi kesimpulan positif pada kinerja pemerintah pusat.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat Papua cukup puas dengan kinerja
pemerintah pusat, adanya dukungan yang cukup besar terhadap langkah
pemerintah pusat dalam menghadapi PT FI, dan keinginan pada umumnya
masyarakat Papua tetap bersama NKRI. Survei ini juga menyimpulkan pada
umumnya masyarakat cukup puas dengan kinerja petahana saat ini.
Bias Pendatang?
Saya lebih
tertarik melihat karakteristik sampel yang digunakan dalam survei ini. Survei
Indikator, sebagaimana biasanya, menggunakan data populasi resmi dari
pemerintah dengan sebaran proporsional di setiap daerahnya. Profil demografinya
adalah gender, desakota, agama, dan daerah pemilihan (dapil). Respondennya
WNI yang memiliki hak pilih. Sekilas, semua temuan survei ini tampak normal.
Tetapi bagi pemerhati Papua, ada konteks khas Papua yang terabaikan dan
karenanya bisa mengganggu sebagian kesimpulan survei ini.
Pertama,
mengenai tidak adanya penjelasan mengenai sebaran suku serta proporsi jumlah
responden dari suku asli Papua dan suku pendatang di Papua. Persoalan suku
sangat relevan di Papua karena sentimen kesukuan yang sangat besar, terutama
menyangkut pembedaan suku asli dan suku pendatang. Jika survei ini
dimaksudkan untuk mencandra pula pandangan masyarakat Papua mengenai isu-isu
khas Papua, semestinya perimbangan jumlah populasi berdasarkan suku juga
perlu diperhatikan. Meski pemilihan responden melalui proses acak, agaknya
perimbangan proporsi responden asal suku Papua dan suku pendatang kurang
tergambar jelas.
Terlihat
beberapa daerah yang merupakan kantong-kantong suku asli Papua justru tidak
terwakili dalam survei ini seperti daerah Asmat, Intan Jaya, Memberamo Raya,
Nduga, dan Supiori. Begitu pula daerahdaerah dengan populasi suku asli Papua
seperti Paniai, Pucak Jaya, Tolikara, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo,
Yalimo, Jayawijaya dan Lanny Jaya memiliki jumlah sampel sedikit di bawah
proporsi populasi. Sebaliknya, daerah-daerah dengan populasi suku pendatang
yang lebih besar seperti kota Jayapura dan Mimika jumlah sampelnya sedikit
lebih besar dari proporsi populasi. Jika dibandingkan, barangkali secara
keseluruhan akan terdapat responden dari suku pendatang yang lebih besar
daripada responden dari suku asli Papua.
Secara
otomatis, karena jumlah penduduk kota lebih banyak daripada jumlah penduduk
di perdesaan, sampel penduduk perkotaan juga lebih besar. Namun, perlu
diingat bahwa penduduk perkotaan juga didominasi oleh suku-suku bukan asli
Papua, misalnya di Kota dan Kabupaten Jayapura serta Kabupaten Mimika.
Perimbangan proporsi responden suku asli dan tidak asli ini menurut penulis
esensial memengaruhi nada jawaban terkait, kinerja pemerintah pusat, sengketa
Freeport Indonesia, dan separatisme.
Dalam situasi
politik dan keamanan Papua yang terkait erat dengan isu separatisme, dapat
diduga penduduk bukan suku asli akan bersikap lebih positif terhadap
pemerintah, kinerja aparat keamanan, dan dukungan terhadap keutuhan NKRI.
Data dan temuan survei tersebut memberikan gambaran positif tentang posisi
pemerintah di mata penduduk Provinsi Papua. Namun, survei ini tidak cukup
untuk memotret citra Pemerintah Indonesia di mata masyarakat suku asli Papua
serta pendapat mereka tentang persoalan tanah leluhurnya; isu yang sejatinya
sentral dan sangat perlu diketahui.
Dalam sengketa
antara pemerintah dan PT FI, terlihat bahwa sebagian besar responden
mendukung upaya pemerintah dan percaya bahwa pemerintah akan mengusahakan
kepentingan rakyat Papua. Sebuah temuan yang tentu saja penting untuk
meningkatkan rasa percaya diri pemerintah menghadapi PT FI. Sayangnya,
elaborasi kesukuan tidak dibahas dalam temuan ini, sehingga profil pendukung
pemerintah ini tidak dapat terbaca dengan jelas. Sebaliknya, profil responden
terbaca jelas dalam isu separatisme. Survei ini menyatakan bahwa 70%
responden mengetahui isu separatisme.
Dari jumlah
itu, 60% mendukung NKRI, sedangkan 18% berpendapat Papua sebaiknya berpisah
dari Indonesia. Profil dari 18% pendukung separatisme ini sebagian besar
laki- laki, usia muda, suku asli Papua selain Biak, non-Islam, berpendidikan
dan berpendapatan tinggi, pekerja kantoran, berada di perdesaan, terutama di
wilayah Pegunungan Bintang, Jayawijaya, dan sekitarnya. Dari data survei ini,
secara kontras dapat terlihat bahwa pendukung NKRI adalah suku-suku pendatang,
pedagang/wirausaha/petani, dan terbanyak pada responden berpendidikan SLTP
dan SLTA.
Survei ini
dapat membaca gambar besar opini masyarakat Papua. Namun, melihat proporsi
respondennya, kesimpulan survei agaknya berpeluang bias pendatang. Akan tetapi,
jika dikaitkan semata dengan persiapan Pilkada Provinsi Papua, survei ini
tentu saja merupakan potret yang terang untuk melihat potensi kandidat dan
isu yang bisa digarap dalam perebutan kekuasaan di Provinsi Papua 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar