Babak
Baru Jakarta
Suparto Wijoyo ; Sekretaris
Badan Pertimbangan Fakultas Hukum,
dan Koordinator Magister Sains
Hukum dan Pembangunan
Sekolah Pascasarjana, Universitas
Airlangga
|
KORAN
SINDO, 13
Mei 2017
5 Mei 2017
lalu KPU DKI Jakarta telah menetapkan Gubernur-Wakil Gubernur Terpilih
Periode 2017- 2022: Anies Rasyid Baswedan- Sandiaga Salahuddin Uno. Orasi kemenangan di Museum Bank Indonesia
pun dihelat penuh makna. Retorika yang dipilih sangat memukau di ajang acara
Pesan Persatuan Jakarta Menuju Satu Jakarta. Ungkapan “...kami akan hadir
mewujudkan keadilan sosial bagi warga” sangatlah dirindukan. Dinyatakan pula
bahwa Kota Jakarta bukan hanya kumpulan real estate, gedung, rumah, sungai,
dan jalan raya, tetapi kumpulan manusia berjiwa. Jakarta bukan sekadar barang
tak berjiwa. Sebuah peneguhan ke mana pendulum kebijakan hendak ditambatkan
oleh pemimpin baru Jakarta ini.
Janji kampanye
yang terus terngiang adalah Anies-Sandi bertekad menata kota tanpa penggusuran
dan penataan kota yang mengutamakan dialog. Esensi pidato yang simpatik
tersebut menandakan lahirnya babak penting perkembangan Jakarta. Tim
Sinkronisasi yang dibentuk untuk melakukan langkah-langkah formulatif guna
mengimplementasikan program yang telah dikampanyekan harus bertindak sigap di
hadapan rezim transisi sekarang ini. Masa transisi sampai agenda pelantikan 4
Oktober 2017 sudah sepatutnya dikawal, terutama oleh publik Jakarta.
Pemimpin hasil
Pilkada DKI Jakarta 9 April 2017 diberi amanat warga untuk mampu memberikan
solusi yang mendera Ibu Kota selama ini, bukan untuk menyandera dengan
ingar-bingar yang melelahkan. Pemerintahan transisi sekarang ini secara
etik-birokratik semestinya tidak membuat kebijakan yang mendendamkan
problematika ke depan. Permasalahan banjir, ketimpangan sosial, kemacetan,
dan peminggiran warga miskin telah memberikan referensi yang cukup untuk
membenahi Jakarta. Fenomena Ibu Kota kebanjiran saja adalah sebuah realitas
yang menuliskan pesan betapa banyak pekerjaan yang harus diemban gubernur
terpilih.
Wajah Jakarta
sejatinya menorehkan kelamnya derita ekologis kota di balik gemerlapnya
jalanan. Kejadian banjir yang melanda Jakarta selama ini telah melukiskan
adanya kerapuhan planologi Jakarta yang lebih menonjolkan sebagai ladang
bisnis daripada Ibu Kota yang administratif.
Saatnya Jakarta Jujur
Jakarta
dicatat tidak berkata jujur dan bertindak semestinya sebagai Ibu Kota.
Pembangunannya tidak dibarengi perubahan paradigma layaknya seorang ibu. Ibu
Kota tidak tampil feminis, melainkan berkarakter maskulin, karena hanya
mempertontonkan kekekarannya. Maslangitnya menepikan warga, menggersangkan jiwa, dan
“mengusir” kampungkampung nelayan tua. Ibu Kota tidak membopong anak
kandungnya, tetapi tampil “menyusui investor” yang mendegradasi imunitasnya
sendiri.
Reklamasi yang
dibarengi bangunan gedung apartemen dan pergudangan adalah simbol nyata
kerakusan yang menyeruak di Jakarta. Ibu Kota kurang dikonstruksi dengan
infrastruktur penampung air seperti telaga, embung, kolam, sumur resapan,
sebagai bak penampung sebelum semuanya mengalir ke pantai Jakarta. Jakarta
memiliki 13 sungai dan didekap dua kali besar, di timur ada Citarum, di barat
ada Cisadane. Bahkan, Kali Ciliwung eksis membelah dan menghidupi Ibu Kota
meski luapannya sering “dikriminalisasi” sebagai penyebab banjir. Atas nama
keindahan aliran belasan sungai itulah, Jakarta pada era kolonial dikenal
sebagai Venesia dari Timur, kota yang dikelilingi sungai-sungai eksotik
laksana Venesia (Italia).
Sungai-sungai
di Ibu Kota dapat difungsikan sebagai moda transportasi air yang hebat.
Adalah kenaifan apabila pantai Jakarta yang secara ekologis menjadi basis
tangkapan air, justru digiring menjadi daerah permukiman dengan direklamasi.
Tabiat reklamasi dengan mozaik beton gnjadi arena pertandingan memutar uang yang menggelisahkan
dari dimensi kajian lingkungan. Reklamasi yang brutal akan memorak-porandakan
pesisir pantai. Hal ini membawa perubahan signifikan hilangnya biota air dan
daya dukung teluk sebagai daerah penampung air.
Aktivis
lingkungan Jakarta secara cerdas telah menerka: dengan reklamasi, Jakarta
niscaya tergenang dan tenggelam. Pejuang lingkungan Jakarta sudah mafhum,
sebelum dilakukan reklamasi saja, Jakarta kerap kebanjiran, apalagi dengan
agenda membuat 17 pulau, frekuensi banjir akan meningkat. Dengan proyek
reklamasi yang ada, bencana banjir di Jakarta tidak terelakkan menjadi ritual
musiman. Sadarlah bahwa di pantura itu bermuara aliran ke-13 sungai. Kalau
pantainya diuruk, logika sederhananya adalah terdapat pendangkalan pantura.
Bayangan yang sudah terlihat adalah kerusakan habitat nelayan Jakarta dengan
“pesta air bah”.
Modernisme
membawa serta mahalnya warga Ibu Kota menikmati keindahan pantai. Di Ibu
Kota, banjir memberi literasi perlunya rekonstruksi pembangunan agar Jakarta
berperilaku keibuan. Setiap reklamasi pantai yang semula ideal untuk
kenyamanan perkotaan, pada praktiknya menyorong penghuni yang renta ekonomi
ke tepian. Kalau reklamasi terus dipaksakan, sebelum semuanya mengerti hendak
ke mana kota ini diperjalankan, saya khawatir pantura menjadi ajang
ontranontran dalam dimensi sosio-ekosistemiknya.
Pemegang kuasa
harus memahami bahwa kehidupan tanpa lingkungan hanyalah abstraksi belaka.
Tata Kota Jakarta jangan mengulang cerita lama kepiluan kota dengan
ungkapan-ungkapan vulgar yang sinis sebagaimana ditulis Kunstter: tragic sprawl scope of cartoon
architecture, junked cities and ravaged country side. Bung Anies-Sandi
adalah penggenggam waktu untuk membangun Jakarta berspirit feminis.
Feminisme Kota
Penataan
Jakarta membutuhkan penguatan orientasi wawasan dari visi membangun kota raya
yang maskulin ke arah kesadaran lingkungan yang feminis, setarikan napas
sebutan Ibu Kota. Kita tidak ingin menyaksikan Jakarta tergelincir menjadi
kota yang congkak secara ekologis (“junk city”).
Telah
terbangun persepsi umum bahwa kepentingan ekonomi di Jakarta mampu menggeser
kepatutan ekologisnya. Harus diresapi bahwa Jakarta tidak cukup hanya
ditopang uang dengan mengabaikan kepentingan lingkungan. Metropolitan yang
“terlalu kekar” dapat dengan mudah terpelanting menjadi nekropolitan, yaitu
kota yang menyesakkanbagi warganya. Mewujudkan Jakarta sebagai ibu kota yang
menyediakan telaga bagi anak-anaknya adalah pilihan primer. Bangunan yang menjulang
tanpa telaga penampungan air sudah sering kali mengalami kelumpuhan melawan
banjir bandang. Kearifan tradisional mengajarkan tata kampung dari abad yang
telah lampau. Setiap kampung menyediakan satu embung (telaga) sebagai sentrum
kehidupan yang menjadi tandon air terpenting.
Embung memberi
dan menerima bukan saja air hujan, juga air dari waduk sebagai induk
pengairan lintas kawasan. Embung adalah lambang feminisme kehayatan desa
maupun kota. Dari sinilah setiap hujan air disimpan dan pada musim kemarau
air dialirkan ke warga. Embung pada kenyataannya adalah mangkuk air yang pada
saatnya didistribusi kepada warga untuk keperluan sehari-hari maupun
pertanian urban. Telaga-telaga kecil di setiap titik simpul Jakarta mutlak
diadakan dalam jejaring ekosistem (“spesialized
ecosystem”) dengan sumur-sumur yang tersedia di setiap rumah tangga.
Tata kelola
lingkungan model telaga kampung ini merupakan kekayaan tradisi yang bermuatan
referensi kecanggihan teknologi tertib air. Kota menjadi bebas banjir. Embung
menyediakan water resource demi
kelangsungan hidup warga. Jadikanlah Jakarta bertradisi ramah lingkungan dan
membahagiakan semua warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar