Politik
Pemilu 2019
Arya Budi ; Peneliti
Research Centre for Government and Politics (Polgov) Departemen Politik dan
Pemerintahan UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Mei 2017
PEMILU
serentak 2019 masih terlihat buram. Dalam kacamata publik, DPR terlihat lambat
mempersiapkan RUU Pemilu. Namun, lambatnya pembahasan tak lain disebabkan
setiap fraksi di DPR tengah terlibat negosiasi sengit untuk memperjuangkan
keuntungan elektoral mereka atas konsekuensi sistemis dari pilihan-pilihan
desain sistem pemilu. Pemilu memang panggung kontestasi politik, tapi politik
yang terjadi dalam mendesain 'panggung' itu sendiri jauh lebih krusial.
Menurut Bowler dan Donovan (2013) dalam The Limits of Electoral Reform,
keputusan atas pilihan dan aturan-aturan sistem pemilu sering berakhir dalam
sebuah zero-sum political game karena reformasi dari satu pihak adalah
kekalahan dari pihak lain.
stem proporsional
tertutup dalam MMP akan merealisasikan asumsi umum atas terjadinya coattail
effect--preferensi pemilih yang linier antara partai dan kandidat presiden
yang diusung--dalam sebuah penyerentakan pileg dan pilpres.
Di sisi lain,
tetap ada satu kandidat partai yang 'dibuka' dalam system MMP untuk sebuah
daerah pemilihan beranggota (peserta pemilu) tunggal dari setiap partai
(single-member district). Jerman ialah negara pertama yang mengadopsi sistem
campuran ini sejak Pemilu Legislatif 1954 hingga beberapa kali mengalami
'penyempurnaan' sampai 1980-an dan terus bertahan hingga sekarang (Saalfeld,
2005). Scarrow (2001) mencatat sistem campuran di Jerman tak lain juga
merupakan hasil dari kompromi politik antara partai besar yang menghendaki
sistem majoritarian dan partai-partai menengah-kecil yang menghendaki sistem
proporsional.
Akan tetapi,
nasib Pemilu 2019 bisa akan semakin buram jika gagasan teknokratis tersebut
masuk debat pansus RUU Pemilu saat ini. Sebabnya, debat di DPR dalam
penyusunan RUU Pemilu saat ini masih terus berlangsung pada adagium terkenal
Lasswell: 'who gets what, when, and how'. Tak sampai jauh ke MMP, debat masih
seputar pilihan desain dalam sistem proporsional seperti metode konversi
suara, ambang batas parlemen bagi partai, dan besarnya alokasi kursi di
daerah pemilihan.
Namun, debat
soal presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) dan pilihan
dua varian (daftar terbuka dan daftar tertutu) dalam sistem proporsional
menjadi isu penting bagi partai dan kalangan pemerhati pemilu. Reformasi
sistem pemilu, sebagaimana terjadi di banyak negara, hampir tak mungkin
terjadi jika parlemen (baca: partai secara organisasi maupun politisi secara
individual) tidak menemukan keuntungan elektoral dari sebuah model sistem
pemilu. Sekuat apa pun kelompok siil mengajukan dan mengadvokasi sistem
pemilu yang 'baik' dan sesuai untuk konteks Indonesia, elemen di luar
parlemen hanya akan didengarkan dalam rapat-rapat konsultasi, atau hanya akan
mendengarkan sidang-sidang perumusan RUU di balkon persidangan.
Keputusan dan
negosiasi-negosiasi pilihan sistem pemilu tetap berada di tangan para anggota
dewan yang terhimpun di dalam fraksi-fraksi partai. Dengan indikator
perolehan suara yang cenderung konsisten dua digit, praktis hanya PDIP dan
Golkar yang mampu mempertahankan basis pemilih mereka jauh di atas angka
psikologis 5%. Tidak mengherankan jika daftar inventarisasi masalah (DIM)
yang terangkum dalam rapat RUU Pemilu menunjukkan hanya dua (PDIP dan Golkar)
yang menghendaki sistem daftar tertutup, sedangkan delapan partai lainnya
bertahan pada sistem daftar terbuka. Logikanya sederhana: kontrol partai atas
kandidat-kandidat yang akhirnya duduk di parlemen menjadi lebih penting jika
dibandingkan dengan sekadar perolehan kursi parlemen.
Kasus Fahri
Hamzah yang masih duduk sebagai Wakil Ketua DPR RI dan Lulung Lunggana
sebagai Wakil Ketua DPRD DKI, sekalipun tak lagi berpartai, ialah contoh
kekhawatiran pimpinan dan fungsionaris partai. Penolakan terhadap sistem
daftar tertutup merepresentasikan partai-partai dengan basis pemilih yang
cenderung cair yang mengandalkan basis elektoral kandidat--tingkat
popularitas, kesukaan, dan keterpilihan--jika dibandingkan dengan basis
pemilih partai. Artinya, banyak partai yang terbantu oleh sistem daftar terbuka
karena basis pemilih partai yang sangat kecil akhirnya tersuplai oleh basis
pemilih kandidat yang maju melalui partai-partai tersebut.
Sejak Pemilu
2004, partai-partai seperti ini adalah yang dominan. Namun, kemungkinan PDIP
dan Golkar untuk mengadvokasi sistem pemilu kembali menjadi closed list
system seperti 1999 dan 1955 akan sulit terealisasi pada pemilu serentak
2019. Dengan memperhatikan gabungan kekuatan kursi PDIP dan Golkar di DPR
hanya 35,71% dari total 560 kursi, skema pemilu legislatif pada pemilu
serentak 2019 tidak akan jauh berbeda dari dua pemilu sebelumnya. Peta
politik justru terbalik pada debat pemilu presiden. Praktis hanya ada tiga
partai (Gerindra, PAN, dan Hanura) yang secara tegas menolak presidential
threshold.
milu serentak 2019
nanti, selain keserentakan itu sendiri. Tentu, hanya para anggota dewan yang
terhormat yang dapat membuktikan analisis dan kesimpulan tulisan ini adalah
salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar