Sabtu, 06 Mei 2017

Sindrom Ular Karet

Sindrom Ular Karet
Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan; 
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara
                                                          KOMPAS, 06 Mei 2017



                                                           
Persoalan utama pendidikan kita adalah kualitas pembelajaran. Kebijakan pendidikan mestinya menumbuhkan semangat pembelajar otentik dalam diri individu. Sayangnya, kebijakan pendidikan kita masih jauh dari harapan, bahkan terjebak dalam sindrom ular karet.

Sindrom ular karet bisa menggambarkan dengan lebih ekspresif dan imajinatif tentang cara kita mengelola pendidikan. Anda pernah melihat ular karet? Ular karet yang dijual di pasaran memiliki bentuk, warna, dan kelenturan dengan ular sesungguhnya. Jika Anda dilempar ular karet tersebut untuk pertama kalinya, Anda pasti spontan akan kaget, mungkin berteriak, spontan mengipaskan ular tersebut, atau segera menghindar. Namun, setelah tahu itu ular karet, Anda tidak takut lagi. Setelah sadar bahwa itu hanyalah ular karet, Anda tak akan kaget lagi jika dilempar ular karet. Anda sudah terbiasa berpikir bahwa itu adalah ular karet. Anda menjadi tidak sadar bahaya, tertipu dengan obyek palsu, dan tidak takut ular.

Yang membahayakan dari pengalaman ini adalah persepsi Anda tentang ular karet. Terbiasa dilempar ular karet, Anda tidak akan takut lagi. Bahayanya, ketika ternyata Anda berjumpa dengan ular sungguhan, dan Anda belum sadar itu ular sungguhan, Anda bisa terluka, bahkan hidup Anda berada dalam ancaman.

Kultur manipulasi

Anak-anak kita selama ini telah terbiasa bermain dengan ular karet, bukan ular sungguhan. Ular karet adalah nilai-nilai palsu di dalam rapor dan hasil ujian, baik itu ujian sekolah maupun ujian nasional. Siswa sengaja mencontek agar memperoleh nilai ujian yang baik. Guru berusaha mengatrol nilai peserta didik untuk menjaga nama baik sekolah. Hasil UN dipakai sebagai alat untuk menilai keberhasilan sekolah, kepala sekolah, kepala dinas, dan kepala daerah. Di hampir semua kebijakan pendidikan daerah, nilai UN masih dipakai sebagai alat untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Demikian juga di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kultur manipulasi selalu mewarnai kinerja pendidikan kita. Dalam setiap perhelatan ujian, seperti UN, dan lebih lagi pada kebijakan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN), kebocoran soal selalu terjadi. Selama UASBN 2017, kebocoran kian parah. Tak ada mekanisme dan sistem yang menjamin keamanan soal-soal yang dibuat di tingkat provinsi itu. Sumber kebocoran soal hampir terjadi di semua lini, mulai dari pembuat soal, penyimpanan naskah, penggandaan oleh sekolah, kepala sekolah, hingga guru. Bahkan, dengan gamblang dan lengkap soal-soal UASBN sudah beredar di internet 2-3 hari sebelum UASBN berlangsung.

Yang menjadi pertanyaan kita, mengapa peserta didik lebih suka mencontek, mencari bocoran soal, daripada tekun dan memiliki daya juang dalam belajar untuk memperoleh nilai yang baik? Mengapa para guru lebih suka mengatrol nilai peserta didik sehingga prestasi sekolah terangkat meskipun seorang peserta didik tidak pantas memperoleh nilai tersebut? Mengapa kebijakan kita memaksa seseorang harus memiliki nilai minimal kriteria ketuntasan minimal (KKM) agar boleh mengikuti ujian nasional? Mengapa nilai kepribadian kelulusan minimal B dan tidak ada penjelasan tentang bagaimana memberikan penilaian pada kepribadian siswa ini sehingga semua guru akhirnya minimal memberikan nilai sikap B agar peserta didik naik kelas atau lulus ujian?

Anak-anak kita malas belajar karena lingkungan dan kebijakan tentang evaluasi dan penilaian membuat mereka melakukan itu. Selama nilai KKM dipahami secara salah kaprah sebagai nilai minimal di dalam rapor, dan remedial adalah sarana mencapai KKM, peserta didik tak akan bertumbuh sebagai pembelajar bertanggung jawab dan mandiri. Mereka akan mengandalkan remedial untuk dapat minimal KKM. Mereka tak mau belajar. Buat apa susah-susah kalau sudah ada jaminan dapat nilai minimal KKM?Kenapa guru lebih suka mengatrol nilai? Ini karena guru-guru kita suka menipu diri, seolah dia berkualitas dalam mengajar. Alasannya, guru yang berhasil mampu menunjukkan bahwa siswanya belajar. Dan tanda belajar adalah nilai yang baik. Maka, mengatrol nilai dan memberi nilai yang tinggi adalah cara mudah untuk mengelabui kualitas.

Sekolah mengatrol nilai peserta didik sehingga profil nilai mereka menjadi amat baik karena didorong kebijakan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau jalur undangan yang kuotanya sangat banyak. Rentang yang lebar, sekitar 40 persen kuota, memungkinkan sekolah mengatrol nilai peserta didik agar semakin banyak peserta didik diterima di PTN dengan jalur undangan, tanpa tes.

Anak-anak juga tak akan terpacu memiliki semangat belajar tinggi menjelang UN karena mereka yakin nilai mereka akan dikatrol, minimal selaras KKM, agar mereka dapat mengikuti UN. Terjadi demotivasi belajar. Tak banyak sekolah yang berani memberikan nilai obyektif di bawah KKM pada peserta didik, karena pasti akan diprotes orangtua, dan mungkin juga diprotes anggota sekolah yang lain karena dianggap merugikan peserta didik. Sekolah akan memberikan nilai minimal KKM pada peserta didik yang akan mengikuti UN karena sistem dalam dapodik sudah diatur demikian. Di bawah KKM, nama peserta didik tidak terverifikasi dan tidak eligible untuk mengikuti UN.

Tentang nilai kepribadian, banyak sekolah menganggap nilai ini sekadar formalitas. Hanya beberapa sekolah yang serius memberikan nilai kepribadian obyektif sesuai data dan informasi yang valid, bahkan berani memberikan nilai di bawah B apabila siswa tersebut memang tidak pantas memperoleh nilai B. Namun, banyak sekolah memilih jalur aman. Jarang sekali terjadi seorang peserta didik tak lulus karena nilai sikapnya.

Sistem evaluasi dan penilaian yang membingkai kinerja utama pendidikan kita ternyata tidak konsisten satu sama lain dalam menumbuhkan semangat pembelajar otentik yang menumbuhkan tanggung jawab individual siswa. Sebaliknya, berbagai kebijakan penilaian pendidikan seperti KKM, remedial, nilai sikap minimal B, dan SNMPTN jalur undangan inilah yang membuat sekolah-sekolah kita terjebak dalam sindrom ular karet.

Kepercayaan palsu

Kita bisa percaya bahwa para siswa kita memiliki kualitas pembelajaran yang baik karena kita telanjur percaya dengan manipulasi nilai yang dibuat sendiri. Faktanya, nilai-nilai yang diperoleh peserta didik adalah palsu dan tak menunjukkan kualitas pemelajaran yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin siswa di Papua secara rerata UN bisa memiliki nilai rerata kurang lebih sama dengan peserta didik di jenjang dan tingkat yang sama di Daerah Istimewa Yogyakarta? Fakta-fakta di lapangan membuktikan bahwa nilai-nilai itu bukanlah nilai yang sesungguhnya.

Pendidikan kita telah gagal melahirkan individu pembelajar otentik. Pembelajar otentik mau belajar dari kelemahan dan kekurangannya. Ia termotivasi memperbaiki diri terus-menerus menuju keunggulan akademik. Maka, penilaian yang otentik harus berbasis obyektivitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Dengan memahami nilai-nilai ini secara otentik, guru bisa membantu peserta didik jadi pembelajar lebih baik.

Negara kita akan gagal dalam persaingan global karena kita terbuai dengan bayangan kita sendiri tentang kualitas pendidikan nasional. Kepalsuan, penipuan, dan kebohongan dalam pemerolehan nilai-nilai akademik ini hanya akan bisa diketahui ketika peserta didik berjuang di medan laga sesungguhnya. Mereka tidak akan dapat bersaing karena sebenarnya mereka tidak memiliki apa-apa. Nilai-nilai baik itu hanyalah di atas kertas, tidak hadir di dalam hati, semangat, ketekunan, dan motivasi belajar peserta didik.Membuat kebijakan yang membuat peserta didik kita seolah-olah pandai melalui manipulasi nilai hanya akan menjerumuskan pendidikan kita pada keterpurukan dan memasukkan mereka dalam situasi berbahaya. Pendidikan harus mengajarkan peserta didik untuk memahami ular sungguhan, bukan ular palsu, agar mereka tahu dan sadar bahayanya, serta tahu bagaimana cara menghindarinya.

Apabila kebijakan tentang evaluasi dan penilaian tidak segera diubah, pendidikan kita akan tetap terjerumus dalam sindrom ular karet. Kepalsuan, kebohongan, dan manipulasi telah merusak kinerja dan kualitas pendidikan kita. Mungkin inilah tugas penting yang perlu dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah merayakan Hari Pendidikan Nasional 2017.Selamat merayakan Hari Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar