Politik
Miskin Apresiasi
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS, 06 Mei 2017
Politik kita hari ini telah melahirkan level antagonisme
yang tinggi.
Kompetisi pemilihan umum, baik daerah maupun pusat, sudah
dimaknai dengan harga yang sebanding hidup dan mati, dibuktikan dengan
seluruh energi, fanatisme, dan kemarahan politik yang menyertai. Komitmen
damai yang diteken oleh para calon di hadapan penyelenggara pemilu jarang
yang secara sungguh-sungguh menggaransi keamanan. Sampai hajatan pemilu itu
sendiri usai, sentimentalitas politik masih mengental di sekujur struktur
sosial.
Mode alamiah politik
Ada berkah dari fakta itu. Kemalasan publik akibat trauma
politik pada era Orde Baru pelan-pelan hilang. Gairah partisipasi politik
membubung tinggi, terlepas dari apa pun bentuk dan definisi dari partisipasi
itu, merusak ataupun membangun.
Apatisme yang selama beberapa tahun terakhir sering
menjadi hantu dalam ritus pemilu kini diganti dengan semangat yang
menyala-nyala. Masyarakat kita secara psikologis sedang melakukan pemosisian
ulang dan penyembuhan diri dari trauma masa lampau.
Di balik berkah berharga ini sayangnya masih menyimpan
kutuk: partisipasi politik yang tinggi tak sejalan dengan kualitasnya.
Kesibukan orang dalam bertukar pesan politik tak diimbangi dengan kesadaran
untuk tetap menenggang dan menghidupkan toleransi. Pada gilirannya ruang
publik terbelah menjadi dua kutub sikap, antara puja-puji pada kandidat idola
atau sumpah-serapah untuk kandidat sebelah.
Masuk akal andai kini kita tiba pada situasi politik yang
miskin apresiasi dan pelit memberi kredit positif. Ikatan emosional yang
dijahit lewat momen-momen politik membuktikan betapa kuatnya jalinan itu,
terkadang mengalahkan akal sehat.
Aura permusuhan dihidupkan bukan saja karena politik
menuntut kesetiaan sepihak, melainkan juga karena dari sana sifat alami dari
politik meruap: ia melazimkan tabrakan sosial demi ketercapaian tujuan.
Logika yang sangat Machiavellian ini adalah akar dari miskinnya apresiasi,
yang secara sengaja bahkan tak diizinkan untuk ada. Sebabnya jelas, harmoni
bukanlah mode alamiah dari kekuasaan.
Konflik adalah jalan yang direstui karena dari sana dapat
dicapai tujuan yang didamba sekaligus dapat disingkirkan penghalang yang
mengganggu. Jika rumusnya demikian, adakah positivitas dalam kehidupan
politik bersama kemustahilan belaka? Apakah sikap apresiatif harus mundur
demi memberi jalan pada tujuan-tujuan satu dimensi yang membakar kohesi
sosial?
Teladan
Kesulitan dalam menghadirkan harmoni sesungguhnya berakar
dari ketiadaan penjelasan yang mampu menyepakati apa yang sedang
diperjuangkan Indonesia melalui politiknya. Mustahil merumuskan kesepakatan
itu jika pada saat yang sama kita kehilangan teladan ideologis dan teladan
elite, yang mampu melampaui logika biner menang-kalah zero sum game.
Perjalanan berjenjang setelah periode reformasi
membuktikan betapa banyak keyakinan dan argumen yang dihidupi mati-matian
demi kemenangan politik secara pragmatis. Siapa atau apa teladan itu tak jua
jelas batang hidungnya. Ia harus memiliki kapasitas menebang semua prasangka
yang merusak, menabung simpati dari segala lini, dan menularkan
kerendah-hatian. Teladan kita butuhkan karena kondisi khaotik telah
membutakan semua orang dari pegangannya, baik moral maupun ideologis.
Selain itu, politik harus dilepaskan dari anggapan sebagai
praktik sehari-hari dalam mengelola kekuasaan. Ia jauh lebih genuine dan
sakral karena menentukan kehidupan bersama sebagai alasan mendasar mengapa
sistem politik dibangun.
Maka, menahan gejolak konflik sambil menumbuhkan dukungan
dan apresiasi politik harus diletakkan sebagai sebuah fase kudus dari
kedewasaan politik. Terkandung pula di sana suatu martabat, baik kelompok
maupun individual, yang harus dijaga. Menerima keadaan bahwa kehidupan bersama
jauh lebih berharga dari apa pun, berarti pula menanggalkan beratnya jubah
egoisme politik.
Hal itu tentu saja harus dipuji sebagai sikap menjaga
martabat. Sikap semacam ini juga melambangkan respons akademik yang elegan
bagi elite politik terhadap masyarakat politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar