Sabtu, 06 Mei 2017

Mendidik Dini, Membahagiakan Anak

Mendidik Dini, Membahagiakan Anak
Totok Amin Soefijanto  ;  Wakil Rektor Universitas Paramadina;
Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute
                                                          KOMPAS, 06 Mei 2017



                                                           
Jangan anggap enteng pendidikan dini. Riset terbaru yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan negara yang sukses di pendidikan usia dini akan meraup manfaat dalam jangka panjang. Konsep pendidikan dini termasuk kategori pendidikan dasar yang kini menjadi sasaran banyak negara di dunia.

Dalam sebuah konferensi global yang disponsori DFAT Australia di Jakarta pada Maret lalu, ada sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh dunia dalam konferensi bertajuk ”Learning for All: Shared Principles for Equitable and Excellent Basic Education Systems”.

Mereka membahas berbagai isu pendidikan dasar, terutama kaitan pendidikan dini dengan skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang diselenggarakan kelompok negara maju Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Dari skor PISA 2015, anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) nilainya lebih tinggi 57 poin—di atas rata-rata internasional yang 42 poin. Suatu bukti efek dari PAUD terhadap prestasi siswa. Sayangnya, ada 28 persen siswa di Indonesia tidak pernah ikut PAUD, jumlah kelima terbanyak di antara negara-negara lain yang mengikuti tes PISA.

Abai pada PAUD

Menerka efek PAUD terhadap PISA memerlukan studi yang lebih mendalam agar kita tidak terlalu cepat menyimpulkan. Menurut studi Bank Dunia, PAUD membuat sang anak ”siap” bersekolah. Kesiapan ini hanya dapat diperoleh dari pendidikan sebelum taman kanak-kanak ataupun TK.

Dari hasil PISA, anak yang mengalami pendidikan dini tersebut posisinya 1,4 tahun di depan dari anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan dini.Selain itu, berdasarkan studi Brickman dkk (2016), prestasi dan pertumbuhan intelektual anak-anak di pedesaan yang mengikuti PAUD dalam beberapa jam selama 2 tahun juga sangat meningkat secara signifikan.

Masalahnya, pendidikan kita selama ini adalah relatif ”abai” terhadap periode anak balita saat mereka belum masuk sekolah formal. Baru pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pembinaan pendidikan keluarga dan PAUD masuk ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Keluarga adalah ”sekolah” bagi anak saat baru lahir hingga menjelang TK; kebanyakan anak Indonesia justru langsung masuk SD karena keterbatasan jumlah PAUD, TK, dan keuangan. Jadi, ada rentang usia hingga 6 tahun di mana sang anak tidak mengalami pendidikan yang semestinya. Kondisi ini menjadi berisiko, karena mayoritas pendidikan orangtua adalah masih setingkat SD.

Lebih parah lagi, para orangtua ini relatif belum siap benar menjadi orangtua karena dulunya tidak memiliki orangtua yang bisa menjadi panutan. Komplet sudah masalah ketidaksiapan anak-anak kita ini masuk sekolah formal. Padahal, soal pemahaman nilai-nilai etika, moral, karakter, dan kejujuran itu dimulai di keluarga, di saat anak-anak masih belia dan dalam pangkuan ayah-bundanya.

Kalau kita sekarang sibuk dengan pendidikan karakter di SD dan seterusnya, itu ibarat menegakkan benang basah. Karakter anak sudah terbentuk sehingga lebih sulit mengubah.

Masuk PAUD juga bukan jaminan anak berprestasi di tingkat selanjutnya. Hal ini akibat salah kaprah dalam seleksi masuk TK dan SD yang sudah menuntut anak menguasai—tidak sekadar memahami—kompetensi baca, tulis, hitung (calistung). Akibatnya, tak jarang kita temui PAUD yang sudah mengajarkan materi-materi calistung secara intensif.

Sekolah yang membahagiakan

Bebaskan anak-anak yang masuk PAUD untuk bermain bersama teman sebayanya, menjelajahi dunia baru yang ada di luar rumah keluarganya, dan mengendalikan pikiran dan emosinya secara baik. Kita bisa belajar dari Singapura yang bahkan mulai mendorong keberadaan happy schools yang menghapuskan kompetisi nilai dan menganjurkan kompetensi bekerja sama. Ini diterapkan tidak hanya di PAUD, tetapi juga sampai perguruan tinggi.

Berbekal Manifesto for Positive Education, negeri-kota tetangga ini menekankan keseimbangan antara prestasi akademik dan potensi pertumbuhan anak. Sukses itu dapat diraih tanpa harus mengorbankan kewarasan jiwa dan raga.

Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekolah sebaiknya bertujuan membahagiakan anak. Menurut Socrates, bahagia itu dapat diajarkan di sekolah yang merupakan masyarakat mikrokosmos. Anak dapat belajar mengenai nilai-nilai etika dan moral, keterampilan, dan kelakuan ditambah interaksi dengan teman sebayanya. Hubungan sosial inilah yang menurut Khonghucu menjadi ”sumber” kebahagiaan.

Lebih jauh lagi, Aristoteles menyatakan kebahagiaan itu tergantung kemampuan anak mengelola karakternya dalam pertemanan, menerapkan rasa keadilan, dan menjadi warga negara yang baik. Menurut Johann Pestalozzi yang dikenal sebagai ”bapak pedagogi modern”, mendidik harus fokus ke anak secara utuh (whole child) agar dapat mencapai hasil yang lebih jauh dari sekadar prestasi akademik, tetapi juga pertumbuhan fisik, mental, dan psikologi anak.

Dengan kata lain, kita mendidik tiga elemen: head (kognitif), heart (emosi), dan hand (fisik). Pemikir Jepang, Tsunesaburo Makiguchi, menyebutkan bahwa pendidikan dianggap berhasil kalau mampu membimbing anak menjadi terdidik dalam meraih kebahagiaannya.

Studi biaya dan manfaat yang dilakukan oleh Nakajima dkk (2016) menunjukkan yang paling efektif adalah bila anak masuk kelompok bermain atau PAUD pada usia 3-4 tahun dan lanjut ke TK pada usia 5-6 tahun. Pengamatan yang lain dari Harry Patrinos dkk (2016) dan Bank Dunia adalah tidak cukup efektivitas biaya dan efeknya, tetapi sudah saatnya penyelenggaraan PAUD memperhatikan mutu, yaitu pendanaan yang cukup, kurikulum yang seimbang, pegawai yang terlatih, dan digaji dengan baik, serta pendataan yang berkelanjutan agar program dapat selalu diperbaiki.

Peran pemerintah—pusat dan daerah—serta masyarakat sama pentingnya dalam memonitor PAUD agar pendidikan ini tidak sekadar ada, tetapi juga berjalan dengan benar.

Studi yang dilakukan Hasan dkk (2013), PAUD memiliki efek besar ke anak-anak, terutama mereka yang datang dari keluarga miskin. Ada lima aspek yang secara nyata naik, yaitu kesehatan fisik dan jiwa, kompetensi sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif, serta komunikasi dan pengetahuan umum. Hal ini sesuai dengan pandangan John Locke, pemikir pendidikan asal Inggris, yang menyatakan pendidikan harus merangsang pertumbuhan fisik, mental, dan spiritual anak.

Oleh sebab itu, anak yang disiapkan dengan baik sebelum masuk ke sistem pendidikan formal mulai SD dan seterusnya akan tumbuh dan berkembang secara maksimal. Tidak hanya anak kita akan memiliki skor PISA dan ujian nasional yang tinggi, tetapi juga pribadi yang terdidik, berkarakter, dan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar