Sesat
Pikir Mante
Teuku Kemal Fasya ; Ketua
Unit Jaminan Mutu Prodi Antropologi
FISIP Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe
|
KOMPAS, 13 Mei 2017
Perkembangan
media visual saat ini kerap melahirkan distorsi dan menjerumuskan pada
kesimpulan palsu tentang realitas dan kemasyarakatan. Beberapa waktu lalu tersebar video pendek
sesosok asing di hutan Aceh. Serta-merta disimpulkan: yang dilihat itu ”suku
Mante”. Tersua di sana beberapa pemuda dengan sepeda motor trail memburu
sosok mungil telanjang. Ingatan kita selaksa meluncur tentang perilaku
kolonis Eropa memburu ”Suku-suku Indian” sejak abad ke-17-awal abad ke-20
bagaikan hewan. Atau, kisah penistaan etnis Aborigin di Australia yang
berlangsung sampai abad ini oleh kulit putih.
Kelatahan
menyebut sosok itu ”Mante” bersambut gayung oleh publik, dipanas-panasi elite
pemerintahan dan akademisi dengan pernyataan seolah-olah ilmiah. Bagi
penulis, fenomena itu tak lebih takhayul yang diimani karena perkembangan
kompleksitas media sosial-visual. Seenaknya orang bicara, tak lagi tekun
mempelajari dimensi antropologi secara waras dan mendalam.
Mante atau
Manti dalam bahasa Gayo bukan istilah arkeologis, tetapi etnografis. Meski
menjadi kenyataan etnografis, tak semua orang Gayo meyakini nenek moyangnya
adalah Mante. Riset ilmiah tentang leluhur orang Gayo ditemukan berdasarkan penelitian
arkeologi di Loyang Mendale, Aceh Tengah. Hingga kini itulah sahih tentang
manusia Sumatera tertua yang berumur lebih dari 8.000 tahun. Tak heran,
masyarakat Gayo mengklaim merekalah ”tuan rumah” Aceh sesungguhnya
dibandingkan dengan etnis Aceh pesisir timur-barat yang ”hibrida” oleh
percampuran migrasi ras dan etnis utara sekitar 2.000 tahun belakangan.
Jadi, Mante
yang disebut ”nenek moyang” Gayo itu secara antropogenesis adalah manusia
modern, Homo sapiens bukan Pithecanthropus erectus (manusia kera berjalan
tegak). Pithecanthropus erectus memiliki volume otak dan struktur tubuh jauh
lebih kecil. Dengan pelbagai fakta arkeologis Homo sapiens Gayo itu, manusia
kuno Gayo sudah berstruktur tubuh hampir sama dengan manusia saat ini. Itu
sesuai dengan temuan Teuku Jacob tentang Homo soloensisdi Sangiran, Solo.
Nenek moyang manusia Jawa kuno itu bukan lagi Pithecanthropus erectus. Mereka
sudah memiliki peradaban, tidak kanibal, mampu bercakap-cakap,dan tidak
tinggal di goa. Keber- adaannya dianggap sejak 300.000 tahun lalu.
Maka, ketika
Menteri Sosial menyebut bahwa suku Mante itu masih tinggal di goa (detik.com,
28 Maret), hal itu tidak bisa disebut fakta ilmiah, tetapi fantasi.
Sesat antropologi
Dari aspek
antropologis, penyebutan suku Mante seperti dipercakapkan selama ini
menyesatkan banyak hal. Pertama, suku atau suku bangsa terdefinisikan secara
masyarakat, bukan individual (Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and
Nationalism: Anthropological Perspectives). Hanya dengan melihat satu sosok
tak jelas dan mendefinisikannya sebagai suku atau etnis adalah sesat pikir
antropologis.
Kedua, meski
etnis secara generik maknanya peyoratif (seperti dalam Oxford Dictionary), ia
merupakan konstruksi sosiokultural, bukan sosiobiologis. Yang membedakan
orang Aceh dan Minang bukan aspek fisik, melainkan adat istiadat dan bahasa.
Ketiga,
penyebutan orang bertubuh kerdil sebagai Mante merupakan penghinaan atas
struktur tubuh manusia modern yang sebenarnya berukuran rata-rata. Penelitian
Peter Brown tentang Homo floresiensis yang disebut sebagai manusia cebol
bertinggi 140 sentimeter dibantah Teuku Jacob. Riset peneliti Australia itu
di kalangan paleoantropologi ditolak keilmiahannya. Manusia kerdil Flores
yang dimaksud Brown, menurut Teuku Jacob, adalah anomali fisiologis karena
penyakit. Semua Homo sapiens sesungguhnya memiliki struktur otak dan tinggi
tubuh hampir sama dengan manusia saat ini.
Keempat, tak
ada kesaksian tentang Mante oleh para antropolog modern. Snouck Hurgronje
yang menulis catatan etnografis paling lengkap tentang Aceh dan Gayo tak bisa
mengafirmasi ceri- ta seperti itu sebagai data karena tak pernah melihatnya
dan lemah dimensi empirisnya. Dalam buku Tanah Gayo dan Penduduknya
(1903/1996: xxi), ”kisah” Gayo harus diverifikasi secara ketat karena
beberapa informasi kerap berbeda antara satu orang dengan orang lain dan
cenderung dilebih-lebihkan.
Hurgronje
lebih senang mencatat hal terinci dibandingkan larut dalam mitos. Kisah Mante
lebih mirip mitos Curupira: makhluk cebol yang ada dalam cerita masyarakat
hutan Amazon, Brasil. Makhluk itu, katanya, berjalan mundur dan menyerang
siapa saja yang merusak hutan. Itu hanya legenda antropologis yang hidup
dalam folklor dan bukan untuk dibuktikan.
Kelatahan
penguasa, termasuk Gubernur Aceh yang akan melakukan penelitian tentang suku
Mante (Kompas.com, 27 Maret), adalah ketidaktahuannya tentang konsep etnis.
Saat ini, secara etnografis hanya ada sembilan etnis tempatan di Aceh,
termasuk etnis Haloban di Pulau Banyak Barat, Singkil, yang diidentifikasi dua
tahun lalu. Dari sembilan itu, tak ada suku Mante.
Sebagian besar
etnis di Aceh berpopulasi minoritas. Mereka bak bunga di atas batu, terbakar
sepi. Selain etnis Aceh, Gayo, dan Alas dengan penutur di atas 100.000, enam
etnis lainnya sangat kecil penutur bahasa lokalnya. Sayangnya, Pemerintah
Aceh tak jua bikin program penyelamatan keberlangsungan etnis minoritas yang
dibiarkan lebam oleh persaingan buas evolusi kultural. Daripada menghabiskan
energi ”mengejar Mante”, pemerintah bisa membuat kebijakan afirmatif bagi
etnis minoritas yang menderita krisis bahasa lokal oleh inferiority complex,
perkawinan antaretnis, diaspora.
Demikian pula
atas masyarakat asli Aceh yang tinggal di pedalaman dan terasing, seperti
komunitas Gunung Kong, Bulohseuma, dan Pulo Aceh, pemerintah harus buka mata
memperhatikan mereka saksama. Komunitas asli semakin kehilangan aset
sosial-ekonomi karena modal ekologi mereka dirampas proyek sawit dan proyek
perusakan hutan terstruktur terencana. Kebijakan seharusnya dibangun secara terukur
dan tidak didasarkan fantasi atau insting. Pembangunan masyarakat dan
kebudayaan harus jadi jantung pembangunan. Saatnya pembangunan berbasis
antropologis dikedepankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar