Rekonstruksi
Kelembagaan KPU
Ida Budhiati ; Mahasiswi
Program Doktor Ilmu Hukum Undip
|
KOMPAS, 13 Mei 2017
Panitia khusus
RUU Penyelenggaraan Pemilu menggulirkan wacana perubahan sifat kelembagaan
penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kotamenjadi ad hoc. Gagasan tersebut direspons beragam oleh
para pemangku kepentingan pemilu. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menyatakan tak setuju karena tak sesuai dengan sifat lembaga KPU yang
permanen, sebagaimana dimaksud Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945. Sementara,
penggiat pemilu berpandangan pansus perlu menjelaskan kepada publik mengapa
mengusulkan KPU kabupaten/kota menjadi lembaga ad hoc(Kompas,3/5).
Bersifat permanen
Rumusan Pasal
22 E Ayat (5) UUD 1945 perlu dipahami secara komprehensif dengan mencermati
kembali risalah amendemen ketiga UUD 1945. Salah satu anggota Panitia Ad Hoc
IBadan Pekerja MPR Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB, menyampaikan pandangannya
tentang bentuk dan sifat lembaga penyelenggara pemilu. Katanya, ”Lembaga yang
melaksanakan pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang sifatnya
independen dan mandiri. Kemudian lembaga ini sifatnya permanen yang punya
masa jabatan tertentu. Organisasi KPU secara lengkap diatur dalam UU mengenai
Pemilu”. Memperhatikan saran ahli bahasa, kata ”permanen” diganti dengan kata
”tetap” sehingga rumusan terakhir berbunyi: ”Pemilu diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945, pembentuk UU mengatur
organisasi KPU, jumlah anggota dan masa keanggotaan KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota, serta badan penyelenggara ad hoc dalam UU Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 17 Ayat (1) dan (2)
menyebutkan struktur organisasi penyelenggara pemilu terdiri atas KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Ketentuan
tersebut sejalan dengan mandat konstitusi, kelembagaan KPU bersifat tetap,
yaitu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta bersifat
hierarkis.
Sementara,
masa keanggotaan KPU menurut UU No 12/2003 adalah lima tahun sejak pengucapan
sumpah/janji. Selain itu, UU No 12/2003 juga mengatur struktur dan personel
sekretariat pada setiap jenjang berstatus pegawai negeri sipil yang berfungsi
sebagai pendukung sistem KPU.
Setelah
penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2004, melalui UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
nomenklatur dan sifat hierarki kelembagaan KPU di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota mengalami perubahan cukup signifikan. Berpedomanketentuan
Pasal 18 UUD 1945, pembentuk UU mempunyai pemahaman pemilihan kepala daerah
merupakan rezim pemerintah daerah.
Alhasil,
dirumuskan Pasal 1 Angka 21 UU Pemda: ”Komisi Pemilihan Umum Daerah yang
selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/ Kota sebagaimana
dimaksud UU No 12/2003 yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap
provinsi dan/atau kabupaten/kota”. Selanjutnya, Pasal 57 Ayat (1) menyatakan,
KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.
Ketentuan
Pasal 1 Angka 21 dan Pasal 57 Ayat (1) UU No 32/2004 diajukan judicial review
oleh sekelompok masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pertimbangan
hukum MK dalam putusan perkara ini antara lain menyatakan yang dimaksud dalam
rumusan pasal tersebut, penyelenggara pilkada langsung adalah KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota sebagai bagian dari KPU sebagaimana ketentuan Pasal 22
E UUD 1945. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pilkada, KPU menjadi
regulator dan pengawas internal penyelenggaraan pilkada yang dilaksanakan
oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Secara
hierarkis KPU berkewajiban melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi
untuk memberdayakan kinerja KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya,
terhadap pengujian Pasal 57 Ayat (1), MK berpendapat, penyelenggaraan pilkada
yang berdasarkan asas ”Luber Jurdil” tidak mungkin dicapai bila KPUD harus
bertanggung jawab ke DPRD. Sebab, DPRD terdiri atas unsur-unsur parpol yang
jadi pelaku dalam pilkada langsung tersebut. Karena itu, KPUD harus
bertanggung jawab ke publik bukan kepada DPRD.
Memperhatikan
putusan MK tersebut, melalui UU No 22/2007 dan UU No 15/2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, dilakukan penyempurnaan terhadap kelembagaan KPU sesuai
mandat konstitusi bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pemilu dan pilkada
dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, bersifat
hierarkis.
Rekontruksi kelembagaan
Redesain
kelembagaan KPU,khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, perlu
memperhatikan beberapa hal. Pertama, adanya kebijakan politik tentang
penataan jadwal pemilu. Ini sebagai tindak lanjut putusan MK No
14/PUU-XI/2013,dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan pilpres dilaksanakan
bersamaan dengan pemilu legislatif yang secara efektif dilaksanakan pada
2019.
Memperhatikan
hasil evaluasi pilkada langsung sejak 2005, putusan MK dimanfaatkan sebagai
momentum oleh pembentuk UU untuk melakukan penataan jadwalpilkada. Melalui Perppu
No 1/2015, sebagaimana diubah dengan UU No 10/2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dinyatakan pemilihan kepala daerah serentak
nasionaldilaksanakan pada tahun 2024.
Penataan
jadwal pemilu dimaksudkan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial,
efisiensi penyelenggaraan dan anggaran pemilu, serta meningkatkan partisipasi
pemilih. Namun, desain penataan jadwal pemilu itu masih jauh dari harapan
untuk mewujudkan sistem pemerintahanpresidensial yang efektif. Karena itu,
pemerintahan presidensial yang efektif hanya dapat diwujudkan dengan
mengadopsi konsep presidential coattails, di mana warga negara memilih
anggota legislatif pusat bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden. Sementara, pemilihan anggota legislatif daerah bersamaan dengan
pemilihan kepala daerah.
Apabila hanya
ada dua jadwal pemilu dalam siklus lima tahun, pertanyaannya: apakah masa
tugas anggota KPU kabupaten/kota perlu dipertahankan selama lima tahun? Ini
patut direnungkanguna menjadikan salah satu latar belakang pemikiran
dalammeredesain keanggotaan KPU kabupaten/kota semula lima tahun jadi ad hoc.
Perekrutan anggota KPU kabupaten/kota dilakukan menjelang pelaksanaan pemilu
dan pilkada. Kesinambungan pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota yang bersifat
permanen dapat dilaksanakan oleh sekretariat dengan syarat adanya peningkatan
standar mutu pelayanan publik yang lebih baik.
Kedua,
memperhatikan uraian tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada, sebagaimana dimaksud UU No
15/2011, KPU kabupaten/kota hanya sebagaipelaksana regulasi KPU. Selanjutnya,
menimbang beban tugas KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota ditinjau dari aspek
geografis, cakupan wilayah administratif pada lingkup provinsi atau kabupaten/kota,
besaran jumlah penduduk atau pemilih.
Mengingat UU
Otonomi Khusus yang berlaku di Provinsi Papua, Papua Barat, UU Pemerintahan
Aceh, UU Keistimewaan DIY, dan UU Pemerintahan Provinsi DKI, selayaknya
dilakukan penataan ulang kelembagaan di tingkat kabupaten/kota. Misalnya,
kabupaten/kota di wilayah DKI Jakarta tidak melaksanakan pemilihan anggota
DPRD dan pemilihan wali kota sehingga dapat dipertimbangkan pengisian
keanggotaannya bersifat ad hoc. Demikian pula jumlah keanggotaan KPU provinsi
dan kabupaten/kota disesuaikan dengan beban tugas di wilayah kerjanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar