Di
Luar dan di Dalam Pengadilan
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala
Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015
|
KORAN
SINDO, 12
Mei 2017
AHOK divonis
dua tahun penjara dan langsung ditahan karena terbukti melakukan tindak
pidana, melanggar Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan
atau percobaan terhadap suatu agama. Menurut majelis hakim, Ahok telah
menganggap surat Al-Maidah ayat 51 adalah alat untuk membohongi umat atau
masyarakat, atau sumber kebohongan. Anggapan demikian tergolong sebagai
perbuatan merendahkan dan menghina agama.
Ahok langsung
menyatakan banding. Artinya, kasusnya berlanjut. Pengadilan tinggi menjadi
tempat baru perburuan keadilan atas kasus tersebut. Seperti apa muaranya?
Kita tunggu bersama.
Atas vonis dan
perintah segera ditahan terhadap terpidana, di luar pengadilan muncul
protes-protes oleh para pendukungnya. Protes-protes itu sedemikian masif,
mengikutsertakan berbagai elemen dari dalam dan luar negeri, bahkan
masyarakat Uni Eropa dan PBB pun dibawa-bawa. Tampak nyata ada upaya-upaya
pihak tertentu untuk membebaskan Ahok dari jeratan hukum.
Kilas balik,
upaya-upaya membela Ahok mulanya dalam bentuk ”memperlambat” penegakan hukum
oleh kepolisian. Aksi Bela Islam I tidak segera ditindaklanjuti oleh
kepolisian sampai sekitar dua bulan. Pelambatan proses hukum itu mengusik
kecurigaan umat Islam sehingga muncul Aksi Bela Islam II (411). Aksi mendesak
agar Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Aksi ini berhasil. Proses
penyelidikan dipercepat. Dijanjikan selesai paling lama dua minggu sejak aksi
411.
Benar,
akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama. Anehnya, Ahok
tidak ditahan. Ahok masih leluasa mengeluarkan pernyataan antagonis antara
lain tuduhan bahwa para pendemo 411 dibayar pihak tertentu. Betapa-pun
tuduhan dibantah dan dilaporkan ke Bareskrim Polri, toh tidak diproses. Umat
Islam kecewa lagi. Agar proses hukum kasus Ahok berjalan fair, umat Islam
menggelar ”Aksi Super Damai 212”. Aksi diisi dengan aktivitas zikir, tausiah,
salat Jumat, dan doa. Targetnya, Ahok ditahan. Ternyata target gagal.
Ketika
kepolisian sudah menyelesaikan tugas penyelidikan dan penyidikan, perkara
segera diserahkan ke Kejaksaan Agung. Sejak itu kepolisian terbebaskan dari
desakan untuk menahan Ahok. Dalam waktu singkat Kejaksaan Agung menyatakan
berkas penyidikan sudah lengkap (P-21). Perkara segera dilimpahkan ke
pengadilan. Bola panas pun beralih di pengadilan.
Pengadilan
mestinya independen, tidak boleh diintervensi siapa pun. Ternyata itu
normatif belaka. Upaya-upaya di luar dan di dalam pengadilan, berlangsung
bareng, bergayut, berkelindan, dan simultan. Buktinya, kepolisian dan
Kejaksaan Agung minta jadwal penuntutan ditunda setelah Pilkada DKI. Tim
jaksa penuntut umum pun tunduk komando. Tuntutan akhirnya dibacakan 20 April
2017, sehari pasca-Pilkada DKI, di mana Ahok-Djarot dikalahkan Anies-Sandi.
Terjadilah
”sandiwara”, tim JPU memilih Pasal 156 KUHP sebagai dasar tuntutan dan Ahok
hanya dituntut satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Maknanya, Ahok
bila divonis sesuai tuntutan tetap bebas di luar penjara. Atas tuntutan tim
JPU, umat Islam gerah dan menggelar aksi damai lagi menghadap ke MA maupun Komisi
Yudisial, minta agar proses peradilan berjalan fair.
Dalam
perspektif sosiologi hukum, proses hukum atau pencarian keadilan dipastikan
berlangsung di luar maupun di dalam pengadilan, prosedural maupun substantif.
Kasus penistaan agama bukan sekadar masalah individual, melainkan masalah
sosial. Dipastikan, masyarakat tidak diam dan berupaya mengawalnya, apalagi
ketika kasusnya sensitif tentang agama dan ada sinyal aparat penegak hukum
berpihak.
Perlu diingat
bahwa KUHP merupakan sarana ampuh bagi aparat penegak hukum—sebagai
representasi penguasa—untuk memberi perlindungan hukum kepada individu
tertentu. Individu yang mampu ”memainkan KUHP dan aparat penegak hukum”
dipastikan memperoleh privileged few. Dalam kasus Ahok, terindikasikan
individu yang mendapatkan privileged few adalah Ahok beserta pendukungnya.
Keberhasilan menggiring kasusnya ke ranah hukum liberal (KUHP), dan
mengadilinya secara legal-positivistik, berpotensi tinggi untuk meraih
kemenangan. Sebaliknya, bagi umat Islam proses peradilan tersebut merupakan
lahan pertaruhan, jalan berliku, dan terjal. Karena itu, dipandang perlu
mengawal proses peradilan dengan aksi-aksi damai di luar pengadilan.
Sosiologi
hukum mengajarkan, betapapun proses hukum dijalankan sesuai prosedur, tidak
ada jaminan bahwa keadilan sosial serta-merta muncul. Apalagi kalau hukum
”dimain-mainkan” penegak hukum. Pada kasus Ahok, ”permainan hukum” itu antara
lain dilakukan dengan ”mempercepat P-21, memperlambat penuntutan, dan
menafsirkan hukum secara subjektif”. Tim JPU menggunakan Pasal 156 KUHP
sebagai dasar tuntutan, sementara majelis hakim mendasarkan pada Pasal 156a
untuk menjatuhkan vonis. Perdebatan seru berlangsung ketika dihadirkan para
saksi dan para ahli. Substansi penistaan agama dikaburkan, isu pokok digeser
menjadi isu pinggiran. Publik geleng-geleng kepala ”permainan hukum” begitu
vulgar dan kasar. Begitukah moralitas para saksi dan ahli?
Vonis hakim
sesungguhnya merupakan resultante proses peradilan di luar dan di dalam
pengadilan. Ada banyak cara untuk menjalankan fungsi pengadilan. Marc
Galanter menyebutnya justice in many rooms, artinya pengadilan dapat
berlangsung di banyak tempat. Proses peradilan tidak hanya di dalam
pengadilan, tetapi bergayut, berkelindan, dan simultan dengan proses
peradilan di luar pengadilan. Apa yang terjadi di luar pengadilan, ternyata
jauh lebih seru, rumit, kompleks, dan spektakuler. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar