Legislasi
yang Mengebiri DPD
Khairul Fahmi ; Dosen HTN dan Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO)
FH Universitas Andalas
|
KORAN
SINDO, 12
Mei 2017
JANGANKAN
berharap akan melahirkan regulasi pemilu yang lebih baik, proses pembahasan
RUU Pemilu justru sedang bergerak setengah liar. Sesuatu yang cukup
dilaksanakan secara linear menurut nalar konstitusi malah dibawa
berputar-putar sebagai objek lobi kepentingan partai. Salah satu yang masuk
dalam pusaran itu adalah mekanisme pencalonan anggota DPD. Sekalipun
konstitusi menginginkan DPD diposisikan sebagai wakil yang bersifat individu,
namun pemerintah dan DPR justru hendak mereduksinya jadi utusan parpol.
Proses
pencalonan anggota DPD yang sebelumnya berdasar dukungan individu akan diubah
menjadi berbasis seleksi oleh DPRD provinsi. Setiap bakal calon tidak perlu
lagi mengumpulkan bukti dukungan dari masyarakat sebanyak yang ditentukan,
melainkan cukup mendaftarkan diri kepada panitia seleksi yang dibentuk
gubernur. Panitia seleksi akan bekerja menyeleksi sebanyak 40 bakal calon.
Seterusnya diserahkan kepada DPRD guna dilakukan fit and proper test dan
pemilihan untuk 20 nama. Selanjutnya 20 nama yang dipilih DPRD ditetapkan KPU
sebagai calon anggota DPD peserta pemilu.
Melawan Konstitusi
Jika rencana
itu ditelaah lebih jauh, pembentuk undang-undang sesungguhnya tengah
mereduksi makna perorangan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Dalam ketentuan
itu dinyatakan: peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perorangan. Kata ”perorangan” dalam norma tersebut diposisikan
sebagai lawan dari ”partai politik”. Artinya, perorangan peserta pemilu
anggota DPD bukan saja tidak boleh diusung parpol, melainkan juga steril dari
keterlibatan partai, mulai dari pencalonan hingga keterpilihannya.
Lebih jauh,
maksud demikian dapat pula dilacak dalam risalah rapat tim perumus PAH I BP
MPR terkait pasal-pasal tentang DPD dalam proses perubahan UUD 1945 tanggal 6
Mei 2000. Kala itu semua fraksi memiliki pandangan yang sama bahwa anggota
DPD merupakan wakil individu dari setiap provinsi, bukan mewakili partai.
Posisi demikian menghendaki agar proses pencalonan anggota DPD dijauhkan dari
intervensi partai. Tujuannya, eksistensi anggota DPD sebagai wakil daerah
dilegitimasi secara langsung oleh rakyat tanpa keterlibatan partai.
Bila
konstitusi secara tegas meletakkan tanda batas, lalu atas dasar apa
pencalonan anggota DPD hendak dialihkan ke DPRD provinsi? Bukankah DPRD
adalah lembaga politik di mana parpol bertindak sebagai pemeran utama di dalamnya?
Jika tetap dilakukan, pembentuk undang-undang pada dasarnya hendak
mengukuhkan supremasi parpol atas semua lembaga perwakilan.
Lebih jauh,
bila ditinjau dari aspek keberadaan DPRD, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945
memosisikannya sebagai bagian dari pemerintahan daerah provinsi. Sebagai
unsur pemerintahan, DPRD tidak dibenarkan turut serta dalam proses kontestasi
politik seperti pemilu sekalipun sebatas menentukan calon. Pemilu adalah
sarana pertarungan kelompok-kelompok politik rakyat dalam mengisi jabatan di
lembaga legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, subjek yang boleh terlibat
hanyalah rakyat, baik dalam wujud parpol maupun perorangan, sementara unsur
pemerintahan hanyalah subjek pasif yang semata menunggu apa keputusan rakyat.
Dalam konteks
pencalonan DPD, rakyatlah yang harus menentukan siapa saja calon yang berhak.
Penentuan itu dilakukan dengan memberi dukungan kepada perorangan yang
dibuktikan dengan KTP dan tanda tangan. Jika peran rakyat dialihkan ke DPRD,
yang terjadi bukan saja merampas kuasa rakyat atas penentuan wakil daerah,
melainkan juga menarik lembaga pemerintahan ke ranah kontestasi yang ia tidak
boleh berada di dalamnya.
Salah Urut
Sebagaimana
disampaikan Ketua Pansus RUU Pemilu, rencana perubahan mekanisme pencalonan
anggota DPD didasarkan alasan rendahnya tingkat pemahaman anggota DPD
terhadap persoalan daerah dan masalah keterbatasan komunikasi DPD dengan
pemerintahan daerah. Kalaupun dua persoalan tersebut nyata ada, ia tidak
terkait dengan mekanisme pencalonan. Kalaupun proses pencalonan dilakukan
melalui DPRD, masalah dimaksud bahkan tetap saja tidak akan teratasi. Sebab,
akar persoalannya bukan pada mekanisme pencalonan, melainkan keterbatasan
aturan dan ruang yang dimiliki DPD.
Bila hendak
didalami, rendahnya pemahaman sebagian anggota DPD terhadap daerah lebih
karena sebelum terpilih yang bersangkutan tidak berinteraksi dan tidak
berdomisili di daerahnya. Kondisi tersebut terjadi malah karena desain UU
Pemilu membuka ruang untuk orang yang tidak tinggal di daerah mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Jika Pansus RUU Pemilu ingin menjawab persoalan
ini, seharusnya syarat domisili di provinsi bagi calon anggota DPD-lah yang
mesti dipungut kembali.
Begitu juga
soal keterbatasan komunikasi dengan daerah. Masalah tersebut muncul karena
desain UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, dan DPD menempatkan posisi tanggung
bagi DPD dalam berkomunikasi dengan pemerintahan daerah. UU ini mengatur,
dalam menjalankan tugas pengawasan, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan
pemerintahan daerah. Rapat itu hanya bersifat opsional. Selebihnya, UU
Nomor17/ 2014 sama sekali tidak mengatur bagaimana hubungan kerja antara DPD
dan pemerintahan daerah dijalankan. Idealnya, persoalan ini diselesaikan
dengan mempertegas relasi fungsi DPD dan pemerintahan daerah, bukan malah
menuduh mekanisme pencalonan DPD sebagai biangnya?
Fakta di atas
mengonfirmasi, jika masalah DPD yang dikonstruksi pemerintah dan DPR dimaksud
hendak diselesaikan melalui perubahan mekanisme pencalonan, yang akan terjadi
justru tindakan salah urut. Pembentuk undang-undang ibarat tengah mengobati
pasien yang mengeluhkan sakit perut, tapi malah diberi obat kurap. Karena
itu, bila masih hendak berjalan sesuai konstitusi dan menjauhkan diri dari
kebijakan salah sangka, ide mengubah mekanisme pencalonan DPD harus ditolak.
Bila memaksakan diri, langkah legislasi UU Pemilu justru akan menjadi ajang
mengebiri DPD sebagai representasi teritorial dari perseorangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar