Dari
Ketidakadilan ke Keaslian
Geger Riyanto ; Esais,
Peneliti Sosiologi; Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di
Universitas Indonesia dan Bergiat di Koperasi Riset Purusha
|
KOMPAS, 13 Mei 2017
Siapakah orang
asli Indonesia? Mereka yang sejak zaman nenek moyangnya sudah bermukim di
atas Kepulauan Nusantara? Kalau ini yang menjadi tolok ukur kita, maka tak
ada di antara kita yang bukan pendatang.
Sebagian nenek
moyang kita, bahkan, tak lain orang-orang Austronesia—penjelajah laut dan
daerah baru yang cerita rakyat serta etosnya hari ini masih mereproduksi
kesadaran merantau masa silam orang-orang ini.
Apakah orang
asli adalah mereka yang pertama kali mendatangi satu daerah? Ini pun definisi
yang tak bebas dari masalah. Di berbagai tempat bukan hal yang mengherankan
bila kita menemukan komunitas-komunitas yang galib disebut perantau—Buton,
Bugis, Arab, Padang, Tionghoa katakanlah—sudah hidup di daerah bersangkutan
lebih lama dibandingkan sebagian orang di tempat bersangkutan.
Apakah orang
Indonesia asli adalah mereka yang di nadinya mengalir darah murni kelompok
manusia tertentu? Tentu saja, tidak. Penelitian Herawati Sudoyo
memperlihatkan percampurbauran yang luar biasa di antara berbagai kelompok di
Indonesia. Genetika Papua, misalnya, ada di hampir seluruh wilayah Indonesia
bagian barat. Anda lahir di ujung Indonesia barat? Tetap saja, Anda punya
kemungkinan punya jejak genetik saudara-saudari Anda yang ada di ujung timur
Indonesia yang sering kali dibeda-bedakan dari Anda.
Isyarat persoalan
Keaslian, karenanya,
merupakan klaim yang wataknya jelas politis. Klaim pribumi? Dengan kenyataan
bahwa Indonesia sejak dulu merupakan nebula pertukaran sosial di mana orang
di pelosok terdalam sekalipun terhubung dengan jaringan perdagangan ke
belahan dunia lain, semua punya kemungkinan adalah nonpribumi.
Namun, ini
bukan berarti kita dapat menampik mentah-mentah letupan ekspresi keaslian
begitu saja. Bila kita cermati dengan kepala dingin dan mawas dengan
jebakan-jebakan fatal nalar rasialis, kita akan menemukan bahwa ia
mengisyaratkan suatu masalah yang dasarnya, biasanya, tak lain dari
kontestasi kepemilikan, sumber daya, atau hal lainnya yang dapat menandai
martabat satu kelompok.
Identitas,
yang pada kenyataannya lumer, mengeras akibat menjelma menjadi klaim untuk
sebuah perebutan yang menyangkut kedudukan.
Saya cuplik
satu contoh: Alifuru. Alifuru awalnya lekat dengan berbagai konotasi
menistakan, seperti terbelakang, tertinggal, dan tak berbudaya. Tak
mengherankan sebenarnya. Terminologi ini menyebar seiring pemerintah kolonial
memakainya untuk mencatat serta mengidentifikasi mereka yang tak dapat
dikategorikan dalam agama Kristen atau Islam. Di Minahasa hari ini,
terminologi Alifuru pun masih menguak citra-citra masa silam tak menyenangkan
yang perlu ditinggalkan.
Namun,
semenjak konflik etnoreligius mengoyak-ngoyak Maluku, Alifuru menjadi
identitas yang dibanggakan di berbagai komunitas di tanah itu. Ia bahkan
secara ganjil menjadi lekat dengan Kekristenan. Atribut Alifuru, pasalnya,
dapat menandai kesatuan orang-orang Maluku dengan tanahnya—satu hajat hidup
yang menjadi perebutan sengit pada masa itu. Dan, situasinya pada saat itu
adalah orang-orang digerayangi perasaan mereka terancam etnosida. Tak ada
satu pun yang mereka miliki aman. Setelah kebijakan pemerintah pusat yang
terus-menerus meminggirkan mereka, kini rumah, ketenangan, sanak saudara,
bahkan nyawa mereka dapat sewaktu-waktu direnggut kelompok liyan.
Pada hari-hari
kelam itulah, idiom Alifuru mulai muncul dalam artikulasi-artikulasi yang
membanggakan, tetapi juga membahayakan. ”Apa makna dari alif?,” tanya satu
tokoh secara retoris ketika diwawancara sebuah surat kabar lokal. ”Nomor satu
atau orang pertama,” jawabnya. Ini baru satu ekspresi yang relatif halus
bagaimana identitas Alifuru menjadi strategi orang-orang mengklaim
kepemilikan. Pada kesempatan-kesempatan lain, ia menjadi jargon yang rawan
menyulut kekerasan tak pandang bulu kepada semua orang yang gagal menunjukkan
ciri ”keaslian.” Dalam rangkaian unjuk rasa pada medio 2001, tuntutan mengusir
semua orang yang bukan Alifuru dari Maluku terus-menerus digaungkan.
Hal serupa
terjadi di berbagai tempat pada rentang berdekatan. Identitas-identitas asli
mulai direngkuh. Alasannya, kalau mau kita pahami secara empatik, sangat
manusiawi. Ia menyajikan kesempatan memberdayakan diri yang tak
tersedia—atau, untuk beberapa kasus, direpresi—sepanjang 32 tahun Orde Baru.
Komunitas-komunitas adat yang diserobot tanahnya dan hanya bisa bungkam di
masa silam dapat mengadvokasi haknya berkat identitas serta sentimen keaslian
yang baru dibentuk ini. Orang-orang marjinal yang kesulitan dapat pekerjaan
dalam situasi krisis ekonomi waktu itu dapat melibatkan diri dengan
forum-forum etnis yang, dalam banyak kasus berhasil menyediakan penghidupan
untuk mereka.
Betapapun
klaim keaslian dapat diragukan, ia berfaedah menjadi patokan paling mudah
untuk memilah siapa yang layak dan siapa yang tidak layak atas suatu
kepemilikan—dan lantas menggerakkan orang-orang untuk menindak ketidakadilan
yang dianggap merebak. Inilah yang menyebabkan gagasan tentang keaslian
senantiasa menyertai kita.
Politik pemurnian?
Namun, politik
keaslian merupakan bola liar. Sekali menyepaknya, kita tak akan pernah
benar-benar bisa menerka arah pergulirannya. Dengan efisiennya klaim keaslian
untuk memobilisasi massa pascareformasi, beberapa tahun terakhir kita tak
jarang menjumpai bagaimana ia dimanufaktur untuk memuluskan agenda-agenda
politik yang elitis. Acap kali, capaian yang menyembul di ujung klaim-klaim
ini bahkan tak ada hubungannya dengan kepentingan serta kebutuhan kelompok
yang termarjinalisasi. Dan, persoalannya, ketika ekspresi-ekspresinya
melewati batas, ia rawan mewajarkan pikiran rasis. Semua keruwetan sosial
seakan identik dengan sekelompok manusia dengan ciri lahiriah tertentu.
Hal ini,
jelas, mengkhawatirkan. Bukan hanya kita tak bisa mengidentifikasi bagaimana
persoalan yang riil sebenarnya membelit kita, kita akan membuka pintu bagi
diskriminasi serta kekerasan tak perlu yang nanti secara alot mereproduksi
dirinya. Sampai dengan hari ini, berbagai komunitas Buton di Maluku masih
hidup digentayangi ketakutan sewaktu-waktu akan diusir dari tempat
tinggalnya, terlepas mereka lahir dan menghabiskan sepanjang hayatnya di
tempat tersebut. Mirisnya, saya cukup yakin, mereka tak sendirian
mengalaminya.
Sepanjang
perasaan ketidakadilan dan ketidakamanan menggentayangi, klaim keaslian dan
bayangan para pengusungnya harus mendapatkan hak mereka sebagai orang
kelahiran tanah bersangkutan akan terus ada. Namun, pada titik ini kita pun tahu,
kita perlu bekerja keras merumuskan bagaimana memberikan satu komunitas hak
sosial-ekonominya tanpa mengabaikan hak komunitas lain, apalagi
menenggelamkannya dalam tuntutan berselubung pengambinghitaman yang rasialis.
Bila tidak demikian, kita rentan membantu tegaknya klaim serta eksploitasi
keaslian yang berbahaya dan, bukan tidak mungkin, meletakkan fondasi untuk
politik-politik pemurnian di masa mendatang.
Ini tugas yang
tak mudah, jelas. Dan, agaknya, tak ada jalan pintas untuk melakukan ini. Satu
hal yang bisa dipastikan adalah ini perlu dilakukan. Saya tak bisa
membayangkan Indonesia bersanding dengan pemurnian-pemurnian manusianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar