Bangsa
yang Amnesia
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 13 Mei 2017
Hari ini,
tanggal 13 Mei, 19 tahun lalu, Jakarta mulai terbakar. Gumpalan asap hitam
bergulung-gulung di udara Ibu Kota. Sehari sebelumnya, rentetan tembakan
membuat empat mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulia Lesmana, Heri
Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie) gugur. Dalam tiga hari, Jakarta
membara dilanda kerusuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan kebencian
etnis. Kota metropolitan pun sekarat dan mencekam: ketakutan, kengerian, rasa
tidak aman, dan gelombang eksodus. Ibu kota negara yang tragis. Jatuh di
lorong sejarah kemanusiaan yang kelam, meninggalkan trauma mendalam.
Masihkah kita
ingat tragedi kemanusiaan itu? Barangkali sudah banyak yang mulai lupa. Lupa
pada sejarah. Buktinya, hari ini, 13 Mei 2017, kemarahan dan kebencian masih
saja menggumpal di dada sebagian orang. Bayangkan, sekarang ini—terlebih di
era digital—pikiran yang banyak terlontar justru sinikal, nyinyir, dan penuh
prasangka. Perbedaan bukan diselesaikan dengan dialog dan semangat
kebersamaan. Perbedaan justru direspons dengan saling tuding dan memaki.
Ruang publik begitu sumpek.
Tak heran,
”suhu” Jakarta tetap terasa panas meskipun 19 tahun berlewat. Amarah dan
kebencian tak lantas terkubur seiring berakhirnya Pilkada DKI Jakarta.
Pilkada bukan lagi arena kontestasi dan kompetisi sehat dalam sistem
demokrasi, melainkan menjadi pertarungan ala gladiator. Pada taraf itu,
cara-cara Machiavellis pun bisa jadi sah-sah saja. Sampai-sampai politik
identitas (sentimen agama atau etnis) menjadi amunisi ampuh dalam rebutan
kuasa.
Jangan-jangan
memang sudah banyak orang yang melupakan bahwa sekarang zaman reformasi. Pada
21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser dilibas kekuatan rakyat, terutama
mahasiswa. Zaman reformasi mengemban misi suci memberantas penyakit-penyakit:
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sesudah 19 tahun reformasi berlalu,
pemberantasan korupsi itu—meminjam judul novel Mochtar Lubis—seperti ”jalan
tak ada ujung”. Tidak tuntas-tuntas. Bukannya makin hari mengalami perbaikan,
korupsi justru bertambah mencemaskan.
Korupsi malah
meluas seperti kanker yang terus menyebar ke seluruh negeri dan mengalir
dalam darah bangsa. Makin mengerikan, merongrong republik ini. Tiga macam
institusi pemegang kekuasaan (trias
politica), yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tak ada yang
bersih dari korupsi. Korupsi KTP elektronik, misalnya, makin menambah panjang
daftar kasus korupsi di negeri ini, mulai dari proyek wisma atlet Palembang,
proyek Hambalang, impor daging sapi, kitab suci Al Quran, proyek
infrastruktur daerah, dan setumpuk kasus-kasus korupsi lainnya. Runyamnya,
korupsi melibatkan para pembesar negeri ini. Padahal, mereka dititipi mandat
oleh rakyat. Bukannya mengabdi untuk rakyat, melainkan diam-diam bersekongkol
menggarong uang rakyat. Mereka menipu, mengkhianati, dan menikam rakyat dari
belakang.
Apa mau
dikata, reformasi tidak benar-benar steril dari perilaku busuk dan korup. Ada
orang-orang yang boleh jadi dulunya tidak ikut andil dalam gerakan reformasi
justru kini menikmati reformasi menjadi pembesar negeri. Watak lama Orde Baru
pun tidak tertransformasi menjadi watak reformis. Di era reformasi, mereka
justru menjadi parasit bagi bangsa ini. Bukan menyuburkan benih-benih
kebaikan, malah membuat bangsa ini membusuk.
Barangkali
memang benar sudah banyak yang lupa. Sejarah bangsa ini menorehkan tinta emas
ketika 20 Mei 1908 menjadi penanda kebangkitan nasional. Kala itu,
putra-putri bangsa bersama-sama membangun nasionalisme. Semua suku, golongan,
agama berjuang menemukan titik-titik puncak kebangsaan. Dalam pandangan
filsuf Ernest Renan (1882), nasionalisme adalah jiwa yang dipengaruhi
kesamaan nasib, sejarah, dan untuk hidup bersama-sama. Artinya, ada konsep
kesadaran moral atau suara hati (conscience
morale) untuk bersama, bukan sekadar kesamaan budaya (cultuurnatie theorie) atau kesamaan
negara (staatnatie theorie).
Kini, sudah
109 tahun berlalu. Bukan kebangkitan kembali yang terjadi, melainkan justru
terjungkal di lumpur pekat. Potret sekarang ini kebinekaan pun terancam.
Perbedaan suku, agama, dan ideologi politik tidak membawa pada diskusi
positif untuk berkonsensus menemukan peradaban yang lebih tinggi, tetapi
menjadi relasi sosial yang negatif. Terlebih lagi, paham radikal membonceng
di dalam gerbong reformasi, mengancam nilai-nilai toleransi.
Bahkan, sampai
ada indikasi kelompok-kelompok yang hendak mengganti ideologi Pancasila.
Padahal, Pancasila adalah jiwa bangsa. Ketika perdebatan sengit soal ideologi
negara antara Pancasila dan Islam pada dekade 1950-an, Presiden Soekarno di
Amuntai, Kalimantan, Januari 1953, dengan tegas menyatakan Indonesia adalah
negara nasional, bukan negara agama. Mari sama-sama membaca sejarah bangsa!
Atau,
jangan-jangan kita memang bangsa yang lupa ingatan, bangsa yang amnesia. Lupa
pada sejarah, lupa pada jati diri, lupa pada perjuangan di masa lalu. Bangsa
yang amnesia akan gamang melangkah ke masa depan. Selama dua dekade ini,
seharusnya reformasi sudah membawa kebangkitan luar biasa. Namun, kita sadari
ternyata kita masih jalan di tempat. Masih lebih suka menggunakan otot
ketimbang otak. Sebab, tampaknya bangsa ini gagal bertransformasi dalam
pikiran, moral, perilaku, kepribadian, dan budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar