Netralitas
Administrasi Negara
Miftah Thoha ; Guru
Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 13 Mei 2017
Netralitas
dalam administrasi negara atau pemerintahan memang sulit diwujudkan.
Netralitas yang baik memang tidak boleh memihakdi antara yang pro dan yang
kontra. Akan tetapi, sebenarnya netralitas adalah memihak kebenaran sesuai
dengan pertimbangan yang dituntun oleh pertimbangan ilmiah dan suara hati
nurani.
Pertimbangan
seperti inilah yang seharusnya netralitas memihak dan dilakukan. Dahulu,
ketika saya diminta Komisi II DPR untuk ikut menyusun UU Aparatur Sipil
Negara (ASN), saya terbawa pengaruh merit system protecting board Amerika
Serikat, yakni menekankan sistem merit yang tak terkontaminasi keinginan
politik dari parpol. Sebab, siapa pun calon pejabat atau penguasa dan pelaku
administrasi negara dan pemerintahanjika panggilan tugas negara memanggil,
kompetensi jabatan untuk kepentingan negara harus diutamakan dan kepentingan
parpol yang diikuti sudah berakhir.
Bukan lalu
menjadi kader parpol dalam menjalankan tugas jabatan negara dan pemerintahan.
UU ASN sangat kental menjamin netralitas itu. Landasan netralitas itu harus
diikuti dengan mengajukan kompetensi jabatan, dan kompetensi jabatan itu
harus dilakukan secara transparan bisa diawasi dan dikontrol masyarakat
secara terbuka. Netralitas juga bisa diaplikasikan dalam proses perekrutan
atau pemilihan jabatan negara, seperti kepala negara dan kepala daerah dari
negara republik yang berasal darikader parpol. Presiden kepala negara
bukanlah presiden partai walaupun didukung dan dicalonkan dari parpol.
Netralitas birokrasi publik
Presiden
republik bukan menonjolkan warna simbol parpolnya dalam menjalankan
tugas-tugas kepala negara dan pemerintah suatu negara. Demikian pula menteri
dan kepala daerahnya. Saya teringat kata-kata terkenal Presiden Kennedy
dahulu: When my loyalty to my country begin, my loyalty to my party end.
Itulah hakikat inti pemahaman dari netralitas
Dalam suatu
sistem pemerintahan yang demokratis, kehadiran parpol tak bisa dihindari,
termasuk dalam tatanan sistem birokrasi pemerintah. Birokrasi merupakan suatu
sistem yang awalnya menekankan pada kompetensi profesional jabatan dan yang
rasional sertaimpersonal. Semenjak kehadiran politik (parpol) dalam
pemerintahan yang demokratis, sistem birokrasi itu harus bersama-sama dan
bahkan dikendalikan politik. Kenegatifan politik dalam birokrasi banyak
mengetengahkan aspirasi personal atau mengajukan ego sentris kekuasaan parpol
masing-masing.
Sementara
sistem birokrasi harus dilakukan secara impersonal, lebih-lebih kekuasaan
parpol berada pada posisi di atas struktur birokrasi. Di sini awal mulai
terjadi kekaburan netralitas dalam sistem birokrasi publik. Maka, ungkapan
dan tekanan netralitas itu menjadi bergaung kembali jika sistem birokrasi
dikendalikan dan banyak dikuasai politik. Wajah birokrasi lebih tampak
berwajah politik sehingga sifat dari wajah yang menampakkan kompetensi,
profesionalitas rasional, dan impersonalnya lebih dikalahkan ketimbang
kemauan politiknya. Jika tata hubungan antara sistem birokrasi dan politik
ini tak ditata dengan baik, masalah netralitas birokrasi sulit diwujudkan.
Di dalam
negara yang bersistem demokrasi dan kehidupan parpol berkembang besar dan
hampir tak terbatas, kemerdekaan politik akan lebih menonjol daripada kehidupan
sistem birokrasi publik. Di negara kita, semenjak era reformasi tahun 1999
gejala semacam itu mulai kita rasakan. Di kalangan lembaga birokrasi
pemerintah, keterlibatan banyak pejabat karier birokrasi terhadap kasus
korupsi yang melibatkan pejabat pembuat kebijakan politik banyak kita jumpai.
Kader parpol di lembaga legislatif banyak tersangkut masalah korupsi.
Pengangkatan pejabat karier birokrasi banyak tak transparan dan diintervensi
aspirasi politik.
Pengangkatan
pejabat yang kurang dan tak kompeten banyakkita jumpai karena personal like.
Apalagi, suatu jabatan negara yang agung seperti Mahkamah Agung dan Kejaksaan
Agung yang seharusnya dijabat pejabat nonpolitik profesional diduduki oleh
orang-orang dan kader parpol.
Tiga wajah birokrasi publik
Di muka telah
disinggung sedikit dua wajah birokrasi publik. Wajah pertama birokrasi yang
profesional, kompeten, rasional, dan impersonal. Wajah ini pernah dilukis
oleh karya besar Max Weber, sosiolog Jerman yang terkenal itu. Menurut Weber,
kumpulan orang banyak yang kemudian menjadi komunitas sosial ini, kalau tak
ditata dan diatur, akan berdampak buruk. Penataan komunitas ini bertujuan
agar tercapai rasionalitas dalam tata hubungan kerjanya. Wajah inilah yang
banyak diikuti hampir semua komunitas organisasi pemerintahan.
Wajah ini yang
kemudian dikembangkan sehingga melahirkan jenis organisasi pemerintah yang
efisien dan efektif, rasional profesional, dan produktif. Wajah pertama ini
lama berlakunya sampai sebelum kedatangan ilmu politik di dalam sistem
pemerintahan demokrasi. Wajah pertama sistem birokrasi inilah yang menjadi
birokrasi tidak memihak dan netral.
Sifat wajah
yang impersonal ini sebenarnya mendasarkan pada ketentuan peraturan yang
obyektif yang berupa ketentuan hukum. Adapun wajah kedua birokrasi adalah
wajah politik yang mulai mengubah profesional dan impersonal menjadi personal
dan egosentris kekuasaan masing-masing mulai obyektivitas peraturan hukum
terintervensi aspirasi politik penguasa. Dahulu, ilmu politik ini berkembang
di Amerika Serikat, sedangkan ilmu birokrasi dan sering pula disebut ilmu
administrasi berkembang di Perancis diteliti Ir Henry Fayol.
Mulailah
perpaduan ilmu birokrasi dan ilmu politik ini berkembang yang melahirkan
disiplin ilmu baru yang dikenal dengan ilmu administrasi negara (public
administration). Ilmu politik adalah ilmu tentang pembuatan kebijakan atau
keputusan atau policy making, sedangkan ilmu administrasi yang melaksanakan
dan mewujudkan keputusan atau kebijakannya. Lama-kelamaan, kedudukan politik
dalam rangka kehidupan suatu organisasi negara berada pada posisi pembuat
kebijakan dan keputusan politik, maka untuk melaksanakan dan mewujudkan
keputusan itu diserahkan pada sistem birokrasi atau administrasi yang
profesional tadi.
Sistem seperti
ini sebenarnya merupakan cara yang logis karena pelaksanaannya profesional
dan kompeten. Oleh karena itu, sampai sekarang dalam pemerintahan demokrasi
team work system birokrasi dan sistem politik menampakkan wajah politik
birokrasi. Wajah kedua birokrasi inilah yang memunculkan perlu netralitas
yang diuraikan di muka agar wajah pertama tidak luntur dan pucat.
Wajah ketiga
adalah wajah birokrasi yang taat aturan atau taat hukum, seperti sedikit
disinggung di muka. Wajah hukum ini seharusnya menjadi wajah birokrasi yang
tidak diombang-ambing oleh intervensi kekuasaan, asalkan hukumnya juga tak
mau diintervensi. Oleh karena itu, setiap pengadilan dan langkah hukum dalam
setiap sistem hukum negara dijaga agar tak diintervensi oleh kekuasaan yang
dibawa dan menjadi sifat wajah kedua.
Sayangnya,
wajah dan peranan politik masih bisa masuk ke ranah hukum dan wajah birokrasi
yang ketiga ini tak sepi dari persoalan netralitas. Dengan demikian, wajah
pertama birokrasi yang ingin menekankan dan mewujudkan tatanan yang impersonal
rasionalitas dan efisien efektif sejalan dan sepadan dengan wajah ketiga
berwajah hukum. Kepadanan inilah yang perlu dijaga dan dikembangkan.
Sementara wajah birokrasi kedua wajah politik tak terlalu ofensif
mengintervensinya. Kalutnya netralitas dalam sistem administrasi negara yang
bersistem demokrasi karena wajah politik birokrasi lebih dominan dari wajah
pertama dan ketiga.
Karena itu,
ambisi politik dari suatu parpol yang berkuasa yang meletakkan semua kader
parpolnya dalam lembaga birokrasi pemerintah sebagai kader partai bisa
ditiadakan. Sebaliknya, slogan Kennedy dihidupkan sehingga semua kader apa
pun jika dipilih suara terbanyak rakyat, bertugas di negara, tak ada lagi
kaitannya dengan ambisi partai, melainkansebagai pejabat negara untuk kepentingan
semua rakyat bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar