Minggu, 07 Juli 2013

Untung Masih Ada PKS

Untung Masih Ada PKS
Masdar Hilmy ;  Dosen IAIN Sunan Ampel, meraih PhD dari University of Melbourne, Editor-in-Chief Journal of Indonesian Islam
JAWA POS, 05 Juli 2013



SUNGGUH menarik membaca pikiran Pradana Boy Z.T.F. melalui tulisannya, Absurditas Etika Partai Dakwah (Jawa Pos, kemarin 4/7). Menurut dia, kiprah politik PKS yang berlumur kasus suap dan korupsi merupakan absurditas etika-moral sebuah parpol yang sejak awal mengaku sebagai partai dakwah. Selain itu, pembelaan para kadernya secara membabi buta terhadap sejumlah politikus partai tersebut yang dituduh terjerat kasus korupsi menunjukkan sikap PKS yang justru bertentangan dengan citra sebagai partai dakwah.

Saya cenderung berpendapat sebaliknya. Apa yang dipertontonkan PKS selama ini merupakan sebuah "capaian" luar biasa dari sebuah partai dakwah yang tidak memiliki banyak pengalaman berpolitik. Terlihat upaya maksimal terlibat aktif dan bertempur dalam sistem partai politik. Bahwa pada akhirnya PKS tidak tahan terhadap godaan korupsi, itu soal lain. Yang salah harus tetap dihukum. Tetapi, kasus tersebut memberikan pengalaman berharga bagi PKS.

Jika menilik sejarah PKS, keputusan para kader Tarbiyah terjun ke politik praktis melalui kendaraan parpol sebenarnya bukan keputusan yang mudah. Perdebatan sengit di kalangan internal kader partai mewarnai langkah mereka terjun ke politik praktis. Sebagian kecil menolak karena waswas ganasnya politik, namun sebagian besar setuju berpartai. 

Partai Keadilan (kemudian Partai Keadilan Sejahtera) secara perlahan mendapat simpati dan dukungan dari rakyat karena strategi pencitraan sebagai parpol yang bersih dan peduli. Pada Pemilu 2004 partai itu memperoleh 7,34 persen suara. Puncaknya, pada Pemilu 2009 partai tersebut menghuni empat besar dengan perolehan 7,88 persen suara, menyalip tiga partai berbasis muslim lainnya; PAN, PPP, dan PKB. 

Pada awal-awal kiprahnya, PK sering dicurigai mendompleng demokrasi untuk membunuh demokrasi dari dalam. Sadanand Dhume, mantan koresponden Far Eastern Economic Review dan The Asian Wall Street Journal, menstigmatisasi PKS sebagai "musuh demokrasi Indonesia dari dalam" ("Indonesian Democracy's Enemy Within", Asian Age, 23 Januari 2006). Belakangan, kritik juga sering dilontarkan terhadap orientasi para kader PKS yang dianggapnya semakin pragmatis.

Dalam perspektif psikologi positif (positive psychology), keputusan para kader Tarbiyah membentuk parpol sekaligus terjun ke gelanggang politik praktis harus diapresiasi sebagai keputusan berani dan penuh risiko. Hal tersebut berkebalikan dengan mayoritas ormas-ormas islamis seperti HTI, MMI, dan FPI yang cenderung tidak berani masuk ke sistem partai politik dengan alasan demokrasi itu sistem Barat. Selain itu, kiprah PKS justru menjembatani dua kutub yang selama ini dianggap berseberangan; kutub islamis versus sistem partai politik ala demokrasi. 

Strategi "ekstra-parlementer" yang ditempuh ormas-ormas itu bukan tanpa kelemahan. Memang mereka dapat terhindar dari bencana politik seperti dialami PKS sekarang ini. Namun, mereka tidak akan mampu menghentikan segala bentuk kemungkaran politik gara-gara keengganan mereka terlibat dari dalam. Padahal, perubahan apa pun meniscayakan keterlibatan langsung dari dalam. 

Masuknya para kader islamis ke dalam sistem partai politik sebenarnya memberikan dampak luar biasa bagi perkembangan politik Islam di tanah air. Harus diakui, fenomena PKS merepresentasikan eksperimentasi politik dari kalangan islamis yang hendak mentransformasikan Indonesia menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, PKS telah merintis sebagai jembatan ideologis yang mendekatkan antara orientasi gerakan Islam yang terlalu utopis dan politik praktis yang terlalu realis. Kedua kutub itu sering diibaratkan sebagai air dan minyak alias tidak mungkin bisa dipertemukan.

Di luar itu semua, sebenarnya banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus korupsi yang melanda PKS. Pertama, ternyata membenahi Indonesia itu tidak semudah membalik daun. 

Kedua, kasus korupsi dapat menimpa siapa saja dan parpol apa saja, baik yang berideologi islamis maupun sekuler. 

Ketiga, terjadinya dekonstruksi ideologis parpol-parpol Islam. Dalam konteks ini, kasus PKS telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa platform dan ideologi keagamaan tidak akan memberikan dampak apa pun terhadap kiprah politiknya. Itu cukup beralasan mengingat awal dan tujuan akhir dari sepak terjang parpol adalah politik kekuasaan. Karena itu, siapa pun yang hendak menggunakan ideologi keagamaan demi meraih kekuasaan sebaiknya berpikir dua kali untuk tidak mengeksploitasi simbol-simbol keagamaan. Untung (masih) ada PKS!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar