|
KORAN
TEMPO, 05 Juli 2013
Dengan merebaknya unjuk rasa protes di seantero Mesir pada
30 Juni-tepat setahun setelah rakyat Mesir memilih presiden sipil mereka yang
pertama-suatu gerakan yang beragam dan tidak tersentralisasi telah menantang
Muhammad Mursi sebagai presiden negeri itu. Ratusan ribu orang telah dikerahkan
ke jalan-jalan raya. Banyak di antara mereka kemudian menyerbu dan membakar
markas besar Al-Ikhwan al-Muslimun di Kairo.
Pada akhir hari itu, Mursi diberi ultimatum. Pernyataan
"revolusioner" pertama yang dikeluarkan Tamarod, gerakan akar rumput
yang baru di Mesir, menuntut Mursi mundur dalam waktu dua hari atau menghadapi
demonstrasi besar-besaran menuju istana kepresidenan. "Atas nama 22 juta
warga Mesir, kami menyatakan Muhammad Mursi bukan lagi Presiden Mesir yang
sah." Para pemrotes kemudian menyerukan kepada "lembaga-lembaga
negara, angkatan bersenjata, polisi, dan lembaga kehakiman, agar memihak
rakyat."
Angkatan bersenjata sudah mengeluarkan ultimatumnya sendiri
kepada Morsi: layani tuntutan para pemrotes atau menghadapi penyelesaian cara
militer untuk mengakhiri krisis. Sementara hari itu berakhir, juru bicara
kepresidenan menyatakan bahwa Mursi tidak dikonsultasi sebelum dikeluarkannya
pernyataan angkatan bersenjata itu. Puluhan ribu pendukung presiden serempak
mengadakan demonstrasi di beberapa kota pada tengah malam itu juga.
Jadi apa yang bakal terjadi nanti? Dan dampak apa yang
bakal dibawakan Tamarod dan intervensi militer terhadap proses demokratisasi di
Mesir di saat yang genting dan berbahaya ini?
Jalan menuju krisis yang terjadi saat ini sudah bisa
diprediksi. Mursi memenangi pemilihan presiden hanya dengan 51,7 persen suara,
sementara 48,3 persen suara lainnya mencakup kekuatan-kekuatan yang sangat
besar, termasuk tokoh-tokoh rezim Mubarak dan para pendukungnya. Oposisi
terhadap Mursi mengeras setelah dibatalkannya deklarasi konstitusi November
2012. Dengan deklarasi ini, Mursi berusaha memperoleh kekuasaan yang
menyeluruh-katanya untuk melindungi lembaga-lembaga baru yang terpilih dari
hakim-hakim yang sudah terpolitisasi.
Tidak adanya manfaat materi yang nyata bagi warga awam
Mesir juga menambah kemarahan rakyat. Semua calon presiden telah membuat
janji-janji yang liar; tapi tidak adanya pencapaian yang berarti, seperti
diakhirinya kelangkaan gas dan listrik yang kronis di Mesir, ikut mendorong
mobilisasi masif anti-Mursi. Tidak kompetennya pemerintah selama transisi
politik harus dibayar mahal.
Tapi Mursi bukan sama sekali tanpa pencapaian atau
pendukung. Agustus tahun lalu, ia menyeleksi pimpinan Dewan Tertinggi Angkatan
Bersenjata (SCAF). Di bidang ekonomi, laporan yang dikeluarkan Bank Sentral
Mesir untuk periode Juli 2012 sampai Maret 2013 menunjukkan defisit neraca
pembayaran turun dari US$ 11,2 miliar menjadi US$ 2,1 miliar berkat
meningkatnya penerimaan dari sektor pariwisata dan penghapusan utang.
Manfaat dari pencapaian ini tidak menetes ke bawah dan dinikmati
rakyat awam. Tidak ada strategi media dan komunikasi yang efektif untuk
memanfaatkan pencapaian-pencapaian ini. Namun inti pendukung Mursi tetap pada
komitmen mereka. Sementara itu, hanya beberapa ratus orang muncul mendukung
Mubarak selama pergolakan yang menggulingkan presiden yang terpilih dengan
curang itu, ratusan ribu rakyat Mesir berdemonstrasi selama dua pekan
berturut-turut di lapangan Rabi'a al-'Adawiyya, dekat istana kepresidenan,
untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada Mursi.
Jika Mursi berhasil mempertahankan kedudukannya, ia harus
bergantung pada militer untuk menjamin kelangsungan pemerintahannya. Ia juga
butuh unjuk kekuatan yang masif dari para pendukungnya. Tapi ini akan berarti
kembalinya militer ke pusaran politik-dan dengan demikian mengorbankan
pencapaian-pencapaian yang sudah diperoleh Mursi dengan memperketat kontrol
sipil Agustus tahun lalu. Dan ultimatum militer itu menunjukkan bahwa tentara
sedang bergerak ke arah suatu kudeta.
Mobilisasi Al-Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok
Islamis lainnya yang mendukung Mursi juga riskan. Sesungguhnya langkah-langkah
revolusioner yang mengarahkan kelompok-kelompok Islamis yang dulu bersenjata
itu ke dalam politik pemilihan dan konstitusi bisa kembali berbalik arah dalam
power struggle yang berlangsung saat ini.
Jika Mursi akhirnya dilengserkan, hal ini banyak bergantung
pada bagaimana caranya ia dilengserkan. Ketergantungan pada mobilisasi di
jalan-jalan raya serta intervensi militer untuk melengserkan seorang pemimpin
terpilih yang mendapat dukungan di lapangan besar kemungkinan tidak akan
menghasilkan sesuatu yang positif. Sebaliknya, pola ini-yang tampak di Spanyol
pada 1936, Iran pada 1953, Cile pada 1973, Turki pada 1980, Sudan pada 1989,
serta Aljazair dan Tajikistan pada 1992-biasanya berujung pada kediktatoran
militer, perang saudara, atau kedua-duanya.
Tapi ada juga preseden adalah lengsernya Charles de Gaulle
secara damai dari kedudukannya sebagai seorang presiden terpilih. Protes yang
masif di Prancis pada 1968 berujung pada pemilihan dini parlemen yang dimenangi
secara telak oleh para pendukung de Gaulle. Namun de Gaulle kemudian
mengundurkan diri atas kemauannya sendiri karena suatu persoalan yang tidak
penting.
Persoalannya dengan preseden ini adalah bahwa Mursi tidak memiliki
latar belakang seperti yang dimiliki de Gaulle, dan transisi politik di Mesir
yang kacau pada 2013 ini jauh daripada demokrasi yang terkonsolidasi di Prancis
pada 1968. Para pendukung de Gaulle tidak mengalami pengejaran; beberapa tokoh
oposisi Mesir telah mengemukakan bahwa Al-Ikhwan al-Muslimun akan berbuat
demikian. Inilah yang meningkatkan taruhan survival politik, terutama mengingat
tidak adanya sama sekali jaminan norma dan perilaku konstitusional yang
kredibel.
Lagi pula, belum jelas siapa yang akan menggantikan Mursi.
Sebagian dari oposisi berbicara mengenai "dewan (transisi)
kepresidenan". Tapi ide itu pernah diajukan tapi gagal selama kekuasaan
dipegang oleh SCAF (Februari 2011-Juni 2012) karena tidak adanya mobilisasi
massa di belakang tokoh yang mempersatukan dan karena ego-sesungguhnya karena
megalomania-dari para politikus yang terlibat.
Mursi hampir pasti tidak akan dilengserkan tanpa
keterlibatan militer dan unsur-unsur keamanan. Dan para pemenangnya mungkin
akan mencoba sekuat-kuatnya untuk mencegah kembalinya kekuatan-kekuatan
Islamis, dengan implikasi timbulnya kembali siklus persaingan politik tanpa
kekangan-dan mungkin fisik-di mana demokrasi digunakan sebagai topeng untuk
memberi legitimasi menyingkirkan dan mungkin menghancurkan lawan-lawan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar