|
INDOPROGRESS,
22 Juli 2013
SORE yang istimewa. Hampir seratusan
orang duduk melingkar di ruang tengah gedung IVAA, sebuah lembaga swadaya
di Yogjakarta yang mengurus arsip seni visual. Mereka membicarakan buku
yang ditulis seorang penari, menuturkan tubuh tari, dan penari-penari
yang hilang pada 1965, saat terjadi pembunuhan massal di
Indonesia. Buku istimewa ini terbit bulan Maret lalu.
Sang penulis
buku The Dance that Makes You Vanish, Rachmi Diyah
Larasati datang langsung dari Minneapolis, Amerika Serikat. Rachmi orang
Indonesia, kulitnya sawo matang, rambutnya hitam panjang, dan berbahasa
Indonesia. Ia lahir dan tumbuh di Banyuwangi Jawa Timur. Baru saja ia
mendapat gelar Profesor di bidang Teori Kajian Budaya dan historiography di Jurusan Theatre Arts & Dance, University of Minnesota. ‘Buku
ini merupakan sebuah pemikiran kesejarahan tentang saya, seorang penari, warga
negara dan seorang anak dari sebuah keluarga,’ ujar Rachmi, memulai
pembicaraan tentang bukunya.
The Dance that Makes You Vanish bertutur lewat
paparan biografis penulisnya, yang tumbuh dalam lingkungan Islam NU di
Banyuwangi. Orang-orang yang dicintainya dibunuh dengan tuduhan terlibat PKI.
Meski belakangan diberitakan NU juga terlibat pembunuhan tersebut, masih banyak
pertanyaan dalam kepala Rachmi. ‘Keluarga saya sangat NU, tapi juga dibunuh,’
ujarnya.
Menurut kabar, pembunuhan massal
tersebut juga bertujuan membersihkan orang-orang terdidik agar tak melakukan
pembangkangan. ‘Tapi tante saya hanya seorang pedagang ayam. Dia wajib lapor
dua minggu sekali ke markas militer setempat,’ tambahnya. Belakangan dia
tahu, tiap kali datang melapor, tantenya diwajibkan membersihkan kamar mandi
dan kakus di markas itu.
Namun menurut
Rachmi, buku ini lebih banyak mengulas ingatannya tentang tari, dan penarinya.
Sejak kecil Rachmi diwajibkan mengenal dan menarikan tarian keraton,
macam Bedoyo dan Serimpi. Tari-tari
yang menurutnya memberikan pemahaman terhadap kelas-kelas di Indonesia. Keraton
merupakan simbol kekuasaan, sementara tarian sendiri menunjukkan agar rakyat
berbakti pada negara—tepatnya, pada penguasa.
Tak mudah menari Bedoyo dan Serimpi.
Penari harus kelihatan elegan dan hati-hati membawaan nomor-nomor tarian yang
penuh simbol penghormatan dan nilai-nilai adiluhung. Ia datang dengan
membungkuk, menyembah—sebagai tanda penghormatan—lalu masuk ruangan dengan
sedikit jongkok. Matanya tak boleh menatap langsung ke arah penonton. ‘Aturan
menari itu berkaitan dengan kekuasaan raja, serta konsep yang mengatur hubungan
antara raja dan rakyat. Di sinilah kekuasaan negara bisa dipahami, yaitu untuk
mengatur pencitraan dan bakti dari rakyat.’
Tapi tari-tarian inilah yang
dikenalkan secara nasional, bahkan global, sebagai identitas Indonesia.
‘Saat kecil, kami harus belajar tari-tarian itu,’ tambahnya. Kala itu,
tari-tarian Keraton seolah menjadi alat untuk mendisiplinkan warga
negara, khususnya perempuan, harus elegan, sopan, dan tunduk pada penguasa.
Bedoyo dan Serimpi hanya ditarikan perempuan. Tari-tarian ini menempatkan tubuh
perempuan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Akibatnya, meski kekerasan
hadir di depan kita, dialami perempuan dalam keseharian, ia tetap
dianggap lumrah dan tak perlu diperkarakan. Salah satunya karena kita telah
didisiplinkan oleh norma dan nilai dalam beragam bentuk, termasuk tari.
Dari sinilah Rachmi mulai membedah
tari-tarian rakyat, yang hanya populer dalam lingkup desa—bahkan dusun—namun
lebih egalitarian. ‘Tari-tarian itu lebih mengarah pada pemahaman akan
lingkungan, cerita-cerita keseharian tentang tanah, air, angin dan pembagian
daun-daun yang bisa dimasak, dan lainnya, merupakan simbol estetik,’ ujarnya.
Anna Mariana,
sejarawan dari Etnohistori yang sore itu menjadi penanggap diskusi, menyepakati
pendapat Rachmi, ‘Seperti saat mengikuti tari Jatilan, misalnya.
Tarian rakyat mengekspresikan kebebasan dan keasyikan tersendiri.’ Selain
Anna, penanggap lainnya adalah Leslie Dwyer, antropolog dari George Mason University.
Perbandingan itu mengarahkan
Rahcmi pada serangkaian pertanyaan: mengapa tarian rakyat dilarang dan
para kebanyakan penarinya hilang? Bahasa apa yang digunakan untuk melegitimasi
kebijakan tersebut? Di Jawa Timur, ia menemukan fakta kolaborasi antara militer
dan pemuka agama, yang telah membuat estetika tarian tertentu sedemikian
mengancam bagi penguasa. Penari-penari itu dituduh memiliki hubungan dengan kaum
komunis. Banyak dari mereka yang dibunuh, atau dipenjarakan tanpa pernah
diadili.
Lebih jauh, buat Rachmi buku ini
merupakan pergulatan pemikirannya sebagai warga negara yang menjadi saksi
sekaligus korban kekerasan 1965. Sebagai warga negara, ia merasa memiliki
kewajiban untuk mewacanakannya. Belakangan, hal ini menjadi misi pribadinya. Ia
tak mau menyimpannya diam-diam, seperti dikehendaki para pelaku kekerasan.
Ia menggunakan tubuh dan ingatan
sebagai arsip yang hidup.
‘Pertama,
saya ingin mendudukkan ingatan dan tubuh sebagai sebuah arsip. Materiality of remembering—bagaimana mewujudkan
ingatan, secara simbolis dan politik’, ujarnya. ‘Kedua, mendudukkan wacana
kebijakan negara sebagai sebuah ranah sosial dan politik yang dikaitkan dengan
keberadaan tubuh, yang dilahirkan sebagai nilai estetik dan dogma negara,’
tambahnya.
Anna Mariana menilai metode ini
relatif baru dan penting dipopulerkan. ‘Jika orang atau keluarga hilang di
sebuah desa, kita bisa mewawancari orang sekitarnya, tapi bagaimana
dengan tarian yang hilang dalam satu generasi kebudayaan kita. Bagaimana kita
menggalinya?’ Tubuh dan ingatan sebagai arsip salah satu jawabannya.
Belakangan
tari-tarian yang hilang itu dihidupkan, diajarkan lagi, bahkan masuk ke
dalam kurikulum beberapa sekolah seni. Misalnya tari Jejer yang diajarkan di Institut Seni
Indonesia, Yogyakarta. Rachmi menggugat kehadiran kembali
tari-tarian yang hilang itu, karena masih ada yang hilang, menurutnya. ‘Cerita
kekerasan di balik menghilangnya penari beserta tariannya tak pernah diangkat.’
Menurut Rachmi, tari-tarian terlarang
kembali diajarkan pada ruang berbeda, ruang proyek-proyek pembangunan budaya.
Mereka menjadi program nasionalisasi semata, dihadirkan kembali di ranah
akademisi dan publik tertentu.
Kenyataan ini membawanya pada
kritik terhadap makna partisipasi dalam pembangunan. ‘Inikah ukuran sukses
partisipasi? Apakah kehadiran kembali sebuah tarian akan mengubah bahasa tubuh,
atau mampu memenuhi nilai-nilai yang dihilangkan?’ gugatnya. Sebab, estetika
bisa dimunculkan kembali, tapi makna dan pemahamannya bisa dipermainkan,
sehingga jauh dari kenyataan.
Saya jadi teringat Sarah
Agustiorini tentang Pek Bubun di Long Anai, desa budaya Dayak Kenyah
Lepoq Jalan, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar). Pek Bubun, perempuan
Dayak Kenyah, sudah usia kepala delapan. Ia satu-satunya perempuan
yang berkuping panjang di sana. Cerita Pek Bubun, biar tak dibilang kafir, tak
beragama, dulu perempuan-perempuan di kampungnya terpaksa memotong kuping
panjangnya.
Padahal memanjangkan kuping bagi
perempuan Kenyah tak hanya identitas, tapi juga bagian dari ritual agama bumi
mereka, Bungan Malang Paselan Luang. Saat perempuan Kenyah memasuki usia
baligh, sebuah upacara adat akan digelar untuk menandai kesiapan mereka
memilih jalan hidupnya sendiri, menikah dan membangun keluarga. Ini
ditandai dengan mentato tangan dan kaki, serta mulai memanjangkan kuping.
Tapi kini berbeda. ‘Pemerintah
bersikap seenaknya kepada kami orang dayak, yang tiba-tiba menginginkan
kami memelihara kuping panjang untuk memperlihatkan tradisi kami orang dayak,’
ujar Pek Bubun. Ia mempertanyakan kenapa dulu pemerintah mengharuskan kuping
panjang mereka dipotong, jika sekarang harus dipanjangkan lagi. ‘Dulu kami tak
boleh melakukan upacara Hudoq karena bertentangan dengan agama, sekarang kami
diminta bikin Hudoq lagi, tapi kami masih disuruh ke gereja juga,’ ujarnya.
Hudoq adalah ritual persembahan kepada penguasa alam diawal musim tanam
padi.
Pemerintah yang dimaksud Pek Bubun
adalah pemerintahan Kukar, Kalimantan Timur. Kini Kalimantan Timur
menggalakkan upaya wisata budaya, salah satunya lewat penetapan
‘desa-desa budaya’. Long Anai di kecamatan Loakulu salah satunya, ditetapkan
menjadi desa Budaya pada 2005. Desa-desa budaya ini adalah potret
kekuasaan, dan Long Anai dipaksa mengikuti agenda kekuasaan yang tak
berubah sejak masa Orde Baru, bahkan sejak masa Soekarno.
Saat Soekarno meluncurkan
operasi ‘Ganyang Malaysia’ pada 1963-1966, orang Dayak Kenyah dipaksa
berhadapan dengan saudara sepulau. Akibatnya, mereka harus bermigrasi
dari perbatasan dua negara. Di bawah Soeharto, mereka dipaksa memutuskan
ikatannya dengan adat dan alam karena diharuskan meninggalkan agama
asli, dilarang menggelar Hudoq, dan harus pergi ke gereja. Namun di masa
desentralisasi, semua yang dilarang lebih 40 tahun lalu itu ‘diputar
ulang.’
Namun, masalahnya bukan pada
lahirnya desa-desa budaya itu. Masalahnya, kelahiran kembali budaya tersebut
tidak untuk disertai dengan wacana hak-hak masyarakat adat yang dilanggar sejak
lama. Desa-desa budaya ini sebenarnya merupakan sarana kamuflase kekuasaan.
Wajah ‘partisipasi’ masyarakat adat dibuat sedemikian rupa untuk membungkus
wajah sejati pemerintah, wajah eksploitasi sumber daya alam, wajah
perusakan alam. Hingga 2013, setelah masa keemasan industri kayu berlalu,
sedikitnya 1400 ijin pertambangan batubara dikeluarkan Pemerintah
Kalimantan Timur, setelah masa keemasan industri kayu berlalu. Tambang-tambang
itu tak hanya menggusur lahan, mencemari sumber-sumber air dan memiskinkan
orang dayak dan Kutai, tapi juga mengusir para transmigran yang telah puluhan
tahun hidup di sana.
Hal ini pula
yang dirasakan Rachmi ketika tari-tarian yang hilang kembali dipentaskan.
Tentu, ia tak tak melarang kita memainkan tari-tarian itu. Sebaliknya, ia
berharap tari-tarian tersebut mendorong lahirnya karya-karya baru yang
memberikan kritik, untuk mengingatkan kembali apa yang telah kita lupakan.
‘Karya yang mengeksperesikan resilience, karya
perlawanan’, harapnya. Ia juga berharap bukunya mampu merekonstruksi
dan memberi ruang untuk mendiskusikan bagaimana Negara menggunakan
pelbagai cara untuk mendisiplinkan warganya. ‘Misalnya lewat kegiatan baris
berbaris dan upacara bendera tiap senin, atau kewajiban menyaksikan film
tentang perempuan yang aktif, yang digambarkan sebagai Gerwani,’
tambahnya.
Maka Rachmi pun memetakan secara
sederhana apa yang sedang terjadi di masa lalu dan masa kini. Bagaimana negara
merekonstruksi sesuatu, bagaimana politik memainkah tubuh tari, mengingatkan
siapa yang penjahat, siapa yang pahlawan. Ia menggunakan apa yang dilihatnya,
yang dialami pikiran dan tubuhnya sebagai alat refleksi. Tapi sebagai bagian
refleksi, ia tak mau mendudukkan dirinya semata korban tragedi 1965
yang tak berdaya dan harus dikasihani. Ia ingin mendorong korban sebagai
agen perubahan, yang harus mengingatkan dan mengubah pandangan masyaakat
melalui produk-produk yang kreatif.
Mungkin itu pula yang mendorong Rachmi
menuturkan kekerasan dengan cara yang lain, tidak vulgar. ‘Biasanya
narasi kekerasan 1965 menghadirkan memori kekerasannya, cara-cara
kekerasan itu terjadi, misalnya. Tapi buku ini memperlihatkan kekerasan
tanpa menunjukkan vulgaritas,’ komentar Anna. Biasanya pembaca selalu ingin
tahu cerita kekerasan, namun buku ini tak hanya menuturkan dengan cara yang
lain, tapi juga mengajak mengetahui apa yang dilakukan korban pasca-peristiwa
kekerasan.
Tak berhenti di situ, sebagai orang
Indonesia yang tinggal dan berkeluarga di luar Negeri, Rachmi tak ingin
menggunakan bukunya hanya untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan negara. Tapi ia
juga mengkritik Barat. Ia mengingatkan bahwa apa yang terjadi di
kampungnya, dalam skala lokal hingga nasional juga dipengaruhi oleh kepentingan
global, kepentingan Barat.
Kekerasan
1965 juga berkait dengan kepentingan politik dan ekonomi negeri-negeri
adikuasa di masa perang dingin, blok Sekutu serta blok Uni Sovyet yang komunis,
seperti yang dituturkan Bradley R. Simpson (2008) dalam bukunya Economists with Gun. Rachmi juga membuat perbandingan
yang menarik antara Indonesia dan Kamboja. Kedua negara sama-sama mengalami
sejarah kekerasan melalui pembunuhan massal dan penghilangan warga. Bedanya,
kekerasan di Kamboja berhasil dinarasikan dan diwacanakan kesejarahannya hingga
taraf global dengan beragam cara, mulai dari pembangunan museum pembantaian
hingga pertukaran kebudayaan lewat wisata dan tari. Rachmi sempat tinggal di
Kamboja selama setahun untuk memahaminya. Di sana, orang bisa terus terang
menyatakan diri sebagai korban. Di ranah global, Kamboja berkolaborasi dengan
sejumlah organisasi internasional untuk mereproduksi karya tari dan kesenian
lainnya yang menunjukkan bahwa merekalah korban pembunuhan masal. Sementara di
Indonesia, yang tercipta hanya pengingkaran belaka. Akibatnya, orang tak mau
kenal lagi keluarga yang tersangkut peristiwa 1965, takut kehilangan masa
depan.
Buku ini
menjadi pengingat kita bahwa negara belum mengambil tindakan yang diperlakukan
untuk korban 1965, demikian komentar Leslie Dwyer. Kontribusi
penting The Dance that Makes You Vanish adalah memberikan
pemahaman baru tentang kekerasan 1965—sebuah kekerasan yang tak mudah dilupakan
namun terus ditanggapi dingin oleh Negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar