|
KOMPAS,
06 Juli 2013
Baru-baru ini, BBC mengadakan diskusi
tentang problem lubang hitam dalam perekonomian global ataupun suatu negara.
Lubang hitam adalah konsep fenomena astronomi tentang adanya massa dalam
galaksi yang mempunyai kekuatan gravitasi luar biasa untuk menyedot energi di
sekitarnya.
Lubang hitam sangat gelap, bahkan
cahaya pun tidak dapat keluar dari sana. Tidak banyak diketahui apa yang ada di
dalam lubang hitam. Namun, diketahui, pada kedudukan tertentu, kekuatan lubang
hitam akan mendistorsi eksistensi material lain.
Disahkannya RUU tentang Ormas
menjadi UU merupakan indikasi paling kuat perkembangan negatif dalam
demokratisasi Indonesia. Kejadian tersebut bukan soal pertentangan antara
berbagai ormas dan pemerintah serta DPR, melainkan jauh lebih mendasar dari
itu.
Dalam sistem demokrasi, ada yang
disebut sebagai wilayah publik. Wilayah tersebut adalah tempat berbagai
anggota/kelompok masyarakat membahas persoalan kebijakan publik. Berdasarkan
adu argumen dari berbagai kelompok, arah suatu kebijakan diambil politisi di
Dewan Perwakilan bersama pemerintah sebagai pelaksana.
Wilayah publik harus bersambungan
dengan wilayah politik. Artinya, apa yang terjadi di wilayah publik harus
bermakna dalam arena politik. Para politisi boleh punya kepentingan
masing-masing, yaitu berebut pengaruh. Namun, semua pergulatan politik hanya absah
jika mendapatkan pembenaran di wilayah publik.
Orang mungkin bertanya, ”Publik
yang mana?” Ini pertanyaan penting, tetapi sekunder. Perbedaan pandangan di
wilayah publik adalah biasa dan ada di mana pun. Lebih penting, apakah kelompok
yang berargumen dapat memberikan alasan yang dapat dibuktikan berdasarkan
analisis, pengalaman, dan sejarah.
Kedua, wilayah publik mempunyai
dasar normatif tentang keadilan dan akuntabilitas. Tiap anggota masyarakat yang
terlibat di wilayah publik boleh punya kepentingan masing-masing, tetapi
keabsahan diperoleh melalui legitimasi di wilayah publik. Tentu sewajarnya,
kelompok yang paling berkepentingan diberi kesempatan yang luas untuk
menyatakan pandangannya. Jika kelompok itu tidak mampu secara latar belakang
sosial, kelompok lain yang disebut ”masyarakat sipil” yang membantu.
Diskoneksi
Lima belas tahun setelah Reformasi,
yang terjadi adalah proses diskoneksi antara wilayah publik dan arena politik.
Artinya, mekanisme komunikasi politik, logika sehat, dan norma keabsahan tak
lagi banyak dipedulikan para pengambil kebijakan. Maka, proses politik hanya
merupakan cerminan dari arena politik.
Dua hal menandai indikasi apakah
memburuk atau tidak. Pertama, apakah para elite politik merasa perlu bersusah
payah memberikan argumen yang masuk akal. Artinya, argumen didukung analisis
yang kompeten, bukan jargon. Mereka harus melakukan riset, analisis, dan
sebagainya. Mereka harus banyak belajar dengan dibantu pihak yang kredibel.
Tujuannya mendapatkan legitimasi. Kedua, apakah kebijakan atau peraturan yang
diambil potensial melayani kepentingan para elite politik daripada melayani
kepentingan masyarakat?
UU Ormas dibuat atas dasar argumen
yang mudah dipatahkan. Salah satunya adalah arti tentang mengatur. Untuk
apa negara mengatur ormas? Jika tujuannya mencegah ormas digunakan untuk hal
yang buruk, sudah tersedia UU yang bertujuan hal itu. Masalahnya adalah
kelemahan institusional penegak hukum dan politisasi di pelbagai kebijakan
publik.
Apakah negara yang mengatur ormas
sudah kompeten dan kredibel dengan pikiran yang progresif? Logika pemerintah
dan elite politik adalah seakan-akan negaralah yang harus menyelesaikan
persoalan masyarakat. Padahal, kelemahan institusional ada di mana-mana:
ketidakberesan pelaksanaan program, penetrasi kepentingan partai politik yang
masuk dalam institusi pembangunan negara, sistem pengelolaan pengetahuan
(knowledge management) yang ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara
tetangga.
UU Ormas akan mengerdilkan
antusiasme masyarakat menggunakan instrumen organisasi untuk mencoba
menyelesaikan masalah-masalah dari tingkat sangat kecil hingga ormas besar.
Pemerintahan yang benar adalah yang program-programnya membuat ormas makin
kuat, seperti fasilitas pengetahuan, akses sumber daya publik, dan memfasilitasi
kemitraan ormas dalam dan luar negeri.
Mirip
lubang hitam
Proses politik di parlemen mirip
dengan bekerjanya lubang hitam dalam sistem galaksi kita. Karena parlemen tidak
mempunyai mekanisme akuntabilitas yang efektif, yang terjadi di dalamnya tidak untuk
konsumsi publik. Parlemen tidak menginginkan umpan balik dalam komunikasi
politik yang kemudian dipertanggungjawabkan. Tidak seperti proses dua arah yang
seharusnya, yang terjadi adalah parlemen menyerap, kemudian mendistorsi
kepentingan publik untuk kepentingan anggota di dalamnya. Informasi dan argumen
yang berasal dari masyarakat lenyap dalam kegelapan.
Berbeda dengan lubang hitam yang
merupakan ciptaan Illahi yang harus kita pelajari, lubang hitam parlemen harus
dilenyapkan. Keberadaannya merusak proses demokratisasi.
Sebagai proses, demokratisasi kita
membutuhkan kestabilan institusional yang artinya kepercayaan publik dan
kecerdasan mengelola sumber daya publik untuk penguatan ke tahap kesejahteraan
yang lebih tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar