Senin, 08 Juli 2013

Penyakit Sosial Dunia Maya

Penyakit Sosial Dunia Maya
Tere Liye ;   Akuntan dan Novelis
KOMPAS, 06 Juli 2013


Gegap gempitanya dunia maya hari ini, diikuti dengan mudahnya akses internet bagi siapa pun, sepertinya tidak melulu membawa kemaslahatan.

Secara simultan, sama seperti saat hadirnya televisi pertama kali, budaya baru ini juga membawa dampak negatif. Kita harus mulai mencermati penyakit sosial atas munculnya interaksi baru di dunia maya.
Setidaknya ada enam penyakit sosial tersebut. Pertama, berkurangnya kualitas dan kuantitas membaca (apalagi menulis). Kita hampir tiap hari menyaksikan orang—termasuk kita sendiri—sibuk mematut layar komputer atau laptop, menatap layar telepon genggam, dan asyik bercengkerama dengan peranti canggih miliknya. Di jalan, di kendaraan, di tempat kerja, atau di sekolah pemandangan ini sudah lazim.

Semua orang bisa dikatakan memiliki akun e-mail berikut jejaring sosial favoritnya. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan? Membaca? Menulis? Berbeda dengan televisi, dunia maya memang memberikan kesempatan membaca dan menulis. Namun, apakah itu sungguh- sungguh membaca dan menulis?

Berdebat tanpa manfaat

Kita kadang merasa sudah banyak membaca, juga menulis, tapi sejatinya itu sekadar dunia percakapan yang mengambil bentuk tulisan. Membaca ”celoteh”, membaca ”ucapan”. Menulis ”celoteh”, menulis ”ucapan”. Memang banyak yang membaca laman berita media massa, loncat ke sana-kemari memeriksa judul yang menarik. Namun, dengan gaya penulisan dunia maya yang serba ringkas, kebiasaan pengguna yang membaca tidak tuntas. Umumnya kualitas dan kuantitas membaca berkurang drastis, apalagi menulis.

Penyakit sosial kedua, suburnya kebiasaan berdebat tiada manfaat. Dunia maya tiba-tiba memberikan derajat yang sama kepada penggunanya. Egaliter menemukan definisi terbaiknya. Tidak peduli presiden ataupun orang biasa, tak peduli profesor ataupun tidak sekolah, semua tiba-tiba jadi setara. Kolom komentar di jejaring sosial, laman berita media massa, dan forum memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk berkomentar. Situasi ini kian rumit mengingat pemilik laman, pengelola sebuah akun, menyadari makin ”menarik” sebuah topik akan mengundang banyak pengunjung.

Kita harus menonton perdebatan tiada manfaat hampir di semua sudut dunia maya. Komentar saling menjelekkan, memaki, dan menghina ringan sekali ditulis pengguna dunia maya. Tidak ada topik yang kebal atas situasi ini. Kita tiba-tiba merasa penting untuk berpendapat, terlepas dari kualitas pendapat itu.
Hal-hal yang sudah tahu sama tahu tetap diperdebatkan. Sesuatu yang sudah jelas, baik, tetap diperdebatkan. Apalagi yang memang kontroversial dan berpotensi beda pendapat. Kita tidak lagi merayakan beda pendapat dengan menghormati satu sama lain, melainkan merayakan perbedaan dengan meneriakkan nyaring pendapatnya.

Semakin maraknya mental gratisan adalah penyakit sosial ketiga. Di dunia maya semua seolah gratis. Pengguna internet mengunduh film-film laris, yang bahkan belum beredar di bioskop lokal. Orang berbagi file lagu yang tentu saja full gratis, e-book ilegal ada di mana-mana, hingga mencomot sana-sini hasil jerih payah pemikiran dan proses kreatif orang lain. Jika kita terbiasa dengan gaya bahasa forum berbagi file, maka istilah leechers atau ”lintah” lazim digunakan untuk merujuk ke pengguna yang menyedot puluhan, ratusan, bahkan ribuan file ”gratis”. Mental gratisan ini merusak banyak sistem, menerabas hukum. Pada tingkat lebih rendah merusak masyarakat itu sendiri. Jika kita hanya memikirkan mendapat sesuatu secara gratis, proses memberi, proses berkarya, perlahan akan padam dengan sendirinya.

Penyakit sosial keempat adalah rendahnya sopan santun. Penggunaan akun dunia maya seperti jadi tameng, benteng pelindung, yang membuat orang nyaman melakukan apa pun. Jangankan saat menggunakan identitas palsu, dalam situasi menggunakan identitas asli pun banyak pengguna internet bisa melakukan apa pun (karena) tanpa perlu khawatir bertatap muka langsung seperti di dunia nyata.

Pepatah lempar batu sembunyi tangan menemukan definisi terbaiknya dalam dunia maya. Berkurangnya sopan santun ini tecermin mulai dari komunikasi lewat e-mail, perpesanan, hingga interaksi bebas di jejaring sosial, forum, dan laman lainnya. Kita tidak lagi perlu merasa memiliki sopan santun saat bertamu ke beranda milik orang lain, merasa semua tempat adalah wilayah publik, bebas mau melakukan apa pun.

Penyakit sosial kelima adalah mulai kaburnya interaksi dunia nyata. Bukankah sudah lazim terlihat saat beberapa teman dekat berkumpul di restoran, mereka memang dekat secara fisik, tapi satu sama lain justru sibuk memeriksa peranti canggih masing- masing. Saat satu keluarga berkumpul di ruang keluarga, secara fisik dekat satu sama lain, tetapi masing-masing asyik berselancar di dunia maya, lebih dekat dengan orang-orang yang tidak dikenal dan jauh. Interaksi dunia nyata perlahan menjadi kabur, digantikan oleh interaksi berdasarkan internet.

Penyakit sosial keenam adalah berkurangnya waktu produktif. Jika kita asumsikan jumlah pengguna aktif internet di Indonesia 40 juta orang, rata-rata mereka mengunjungi jejaring sosial dan sejenisnya 1 jam setiap hari, maka kita punya 40 juta jam dalam sehari untuk melakukan hal lain secara produktif. Jika membangun Candi Borobudur, katakanlah, butuh 20 tahun, 2.000 pekerja yang bekerja 8 jam setiap hari, maka total jam kerja untuk menyelesaikan satu Candi Borobudur adalah 119 juta jam kerja. Bangsa ini bisa menyelesaikan satu candi setiap tiga hari.

Ini hanya ilustrasi, boleh jadi berlebihan. Toh, ketika televisi hadir di tengah masyarakat, situasinya juga sama—bahkan lebih masif—tapi setidaknya dapat menjelaskan permasalahannya. Berbeda dengan televisi, pengguna internet kebanyakan adalah orang-orang berpendidikan, pekerja, dan di usia yang sangat produktif.

Kampanye internet sehat

Kita tidak bisa mencegah gelombang internet, kita sudah berada di dalamnya 10 tahun terakhir. Dengan harga gagdet yang semakin murah, tersedianya pilihan akses murah meriah, penetrasi budaya ini akan semakin dalam ke seluruh masyarakat.

Keenam penyakit sosial ini menjadi realitas yang harus disadari. Dan, ketika proses mendidik pengguna internet berjalan lambat, kesadaran berinternet sehat masih rendah, tanggung jawab besar jatuh kepada pemilik laman raksasa dengan pengunjung ribuan, bahkan jutaan.


Laman berita milik media massa, laman forum-forum, hingga akun jejaring sosial yang diikuti banyak orang adalah ujung tombak mengurangi dampak buruk dari internet, terlebih pengaruhnya kepada pengguna remaja. Dalam contoh yang paling bersahaja sudah seharusnya kampanye internet sehat diletakkan di halaman muka laman tersebut, entah berupa link, banner, atau gambar dan sejenisnya. Seharusnya langkah itu mudah sekali dilakukan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar