Sabtu, 22 Desember 2012

Pengabdian Ormas


Pengabdian Ormas
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 21 Desember 2012


ORGANISASI masyarakat (ormas) dibentuk pelopor dan pendukung-pendukungnya sebagai pengabdian bagi masyarakat. Tanggal 9 bulan ini, ormas Nasional Demokrat (berdiri 1 Februari 2010), melantik dan mengukuhkan pengurus kecamatan dan kelurahan se-DKI Jakarta, dihadiri sekitar 5.000 kadernya.

Dalam sambutannya, Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat Surya Paloh mengingatkan agar seluruh kader selalu ada dalam rel perjuangan organisasi, yakni merestorasi Indonesia; mengembalikan cita-cita Indonesia pada jalurnya. Diharapkan, seluruh kader mampu bertahan terhadap godaan yang melunturkan semangat perubahan dan restorasi.

Penegasan itu perlu mengingat tantangan maupun tentangan selalu menghadang gerakan perubahan. Masalahnya, integrasi pemikiran di kalangan masyarakat tidak pernah sempurna. Fakta itulah yang sering mengakibatkan ketidaksepakatan, yang berujung pada pro-kontra terhadap gerakan perubahan. Tetapi faktanya, perubahan menjadi tuntutan karena menurut para penggagasnya terdapat status quo situasi yang dianggap merugikan masyarakat. Dirasakan perlu ada perubahan mindset.

Proses perubahan bisa berbentuk revolusi disertai konflik dan kekerasan, atau dengan jalan damai berjangka panjang. Karena tidak mengikat, besarkecilnya keanggotaan ormas bergantung pada programnya. Kesetiaannya ditentukan oleh apakah program-program pengabdian untuk masyarakat itu memuaskan batinnya atau tidak.

Sejarah Nasional

Setiap ideologi memerlukan program aksi. Para intelektual di dalam ormas memainkan peran penting untuk menciptakan dan mengelaborasi ideologi serta norma-norma sebagai panduan. Itulah yang membedakan para kader dengan yang bukan kader. Nilai-nilai dan norma-norma gerakan sosial dikomunikasikan kepada anggota dengan berbagai cara.

Sejak sebelum kemerdekaan, di Indonesia bertumbuhan berbagai jenis ormas. Di antaranya tercatat dua ormas besar yang sudah menjalankan kegiatan sekitar satu abad dan masih berdiri tegar sampai sekarang.

Tersebutlah Persyarikatan Muhammadiyah, diambil dari nama Nabi Muhammad SAW; sebuah ormas yang didirikan di Yogyakarta satu abad yang lalu (18 November 1912), ketika KH Ahmad Dahlan menyadari telah terjadi penyimpangan dalam proses dakwah, yang mengakibatkan ajaran Islam bercampur dengan hal-hal mistik karena pengaruh kebiasaan di daerah-daerah.

KH Ahmad Dahlan dan ormasnya berusaha memurnikan ajaran Islam. Dilakukanlah berbagai cara integrasi pemikiran, antara lain dengan usaha meningkatkan pengetahuan dan pendidikan umat Islam. Dampak positifnya, telah berdiri banyak lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Sejauh ini, Muhammadiyah telah membangun ribuan lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai dengan sekolah menengah, dan 172 perguruan tinggi; selain juga mendirikan banyak rumah sakit dan panti asuhan.

Organisasi Islam besar lainnya, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri 31 Januari 1926, didahului dengan terbentuknya berbagai organisasi embrional dan ad hoc sejak 1916. NU berdiri sebagai respons kalangan pesantren terhadap gerakan Kebangkitan Nasional 1908. Pola pikirnya mengambil jalan tengah, antara rasionalis dan skriptualis. Sumber pemikirannya bukan hanya Alquran, sunah, tetapi juga kemampuan akal ditambah realitas empirik. KH Hasyim Asy'arie menjabat ketua pertama NU.

Dalam programnya, NU membangun badan-badan otonom, termasuk ikatan-ikatan pelajar dan mahasiswa dan lembagalembaga yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu, antara lain pelayanan kesehatan, perekonomian, pengembangan pertanian, penyuluhan dan bantuan hukum, maupun pengembangan SDM NU. Kiprah para kader NU di bidang politik dapat dilihat dari perolehan suara partai-partai yang diasosiasikan dengan NU, misalnya PKBU, PKU, dan sebagian dari PPP.

Di forum Internasional

Sebelum pecah Perang Dunia II (1939-1945), ketika Eropa sedang mempersiapkan kekuatan militernya, pendeta Frank Buchman dari Oxford Group menegaskan keyakinannya, kerisauan dan kerusuhan masyarakat pada dasarnya akibat krisis moral. Banyak negara harus memperkuat moral masyarakatnya. “Pemulihan kekuatan moral mengawali pemulihan ekonomi. Yang ditimbulkan bukan krisis, tetapi keyakinan akan persatuan dalam tiap tahap kehidupan.“ Kampanye itu disampaikan di London, Mei 1938.

Moral Re-Armament (MRA), ormas yang didirikannya, mendapat dukungan banyak tokoh di Inggris. Ketika perang pecah, banyak anggota ormasnya membantu tentara sekutu. Lain-lainnya bekerja untuk meningkatkan moral dan mengatasi kemacetan di industri-industri yang berkaitan dengan perang. Tentang mereka, Presiden Harry Truman dalam konferensi pers 1943 di Washington menyatakan, “Ketika yang lain-lain hanya menjadi penonton dan mengkritik, mereka menyingsingkan lengan baju dan bekerja. Mereka be kerja bukan atas dasar prinsip `siapa yang benar' tetapi `apa yang benar.'

Pada 1950-an dan 1960-an, kerja sosial MRA menyebar ke seluruh dunia. Buchman menjadi pelopor inisiatif untuk banyak umat. Katanya, “MRA menjadi jalan ideologi yang diilhami Tuhan yang mempersatukan semua umat: Katolik, Yahudi, dan Protestan, Hindu, Islam, Buddha dan penganut Kong Hu Chu-mereka menyadari bahwa bisa berubah, jika perlu, dan berjalan bersama melalui jalan yang benar.“
Gagasan Buchman waktu itu banyak menarik perhatian negara-negara Afrika dan Asia yang sedang berjuang untuk merdeka dari penjajah. Buchman memimpin MRA 23 tahun, sampai ajalnya 1961. Pada 2002 gerakan itu berubah nama menjadi Initiative of Change (IofC).

“I have a dream“, kata pejuang hak-hak sipil Martin Luther King. Robert F Kennedy mengutip penulis Irlandia George Bernard Shaw, “Some men see things as they are and say, why? I dream things that never were and say, why not?“ Keduanya adalah tokoh gerakan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar