Sabtu, 08 Desember 2012

Menanti Pemeriksaan Boediono


Menanti Pemeriksaan Boediono
Margarito Kamis ;   Doktor Hukum Tata Negara, 
Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate 
SINDO, 07 Desember 2012


Suatu hari KPK bilang bahwa Boediono memiliki peran dalam peristiwa bailout Bank Century, dan Boediono yang berstatus wakil presiden tidak bisa diperiksa karena memiliki keistimewaan. Itu menarik. 

Lebih menarik lagi, beberapa hari kemudian muncul pernyataan Boediono bisa diperiksa dalam peristiwa itu, tetapi terlalu prematur memeriksa Boediono pada saat ini. Sejujurnya ini bukan perkara silap lidah.Ini perkara besar. Besar, karena sedetik saja hari kemarin dibolak-balik, pasti ditemukan pernyataan Komisioner KPK tentang akan ada menteri aktif yang jadi tersangka. Tidak itu saja, ada juga pernyataan tentang akan ada ketua partai politik jadi tersangka. Buktinya? Sejauh ini semuanya jauh panggang dari api. Mungkin karena tak diawasi sehingga KPK tampak suka-suka saja. 

Teringkari 

Perkara hukum dalam pemerintahan berkarakter otoritarian adalah perkara sukasukanya para aparat menyelenggarakan hukum. Perkara ini berbasis, boleh jadi, bukan pada kesombongan penyelenggaranya, melainkan pada faktor-faktor yang hanya dirasa, diketahui dan dimaklumi sendiri oleh penyelenggaranya. Sejatinya hukum dalam langgam ini berbeda secara fundamental dengan hukum dalam sebuah masyarakat demokratis. 

Substansi hukum dalam masyarakat demokratis berwatak responsif yang berbalut dengan keadilan progresifnya. Tetapi pernyataan penyelenggara yang berubahubah, yang tak berkepastian, yang sudah pasti tak bisa dijadikan pijakan untuk berpengharapan, jelas mengingkari daya demokratis hukum itu sendiri. 

Memang tak patut diingat, tetapi tak patut juga diabaikan begitu saja, betapa mempredikatkan watak demokratis dan keadilan progresif pada hukum dalam sebuah masyarakat demokratis, dimaksudkan, sejak dulu kala,untuk memastikan bahwa hukum cukup andal bagi mereka sebagai benteng terhadap ketidakadilan. Ketaatan pada hukum sama sekali tak disebabkan oleh paksaan penguasa, sebagaimana biasanya didapati pada penguasa otoritarian, melainkan semata-mata karena rangsangan kepastian dan harapan atas sesuatu yang dijanjikan dan dinormakan dalam hukum itu. 

Tegak, bengkok, atau sebangsanya hukum itu, sama sekali bukan perkara hukum itu sendiri, melainkan sepenuhnya merupakan perkara kemauan penguasa, yang berbasis atau tidak berbasis pada kesadaran dan kemauan etisnya.Penegakan hukum di luar semangat ini, tak pelak, mengingkari hakikatnya sebagai sarana mewujudkan keadilan. Di luar semangat etis itu, maka daya jangkau hukum, bukan hanya terbatas pada mereka yang lemah, tetapi selalu terarahkan kepada orang yang berbeda haluan impiannya dengan penguasa. Itulah watak penegakan hukum dalam sebuah masyarakat dengan penguasa berlanggam otoritarian. 

Keadilan 

Tak mau memeriksa Boediono, yang telah diakui sendiri oleh Komisioner KPK memiliki peran, entah apa kualifikasi spesifiknya, dalam bailout Bank Century sebagai satu peristiwa hukum, jelas memukul Boediono juga. Sebab, memberi penilaian spesifik terhadap tindakan satu subjek hukum, Pak Boediono, dengan kualifikasi “memiliki peran,”secara hukum tidak mungkin bisa dilepaskan dari tesis umum hukum tentang kewajiban dan tanggung jawab. 

Pak Boediono secara personal, kala itu,berkapasitas hukum sebagai Gubernur Bank Indonesia. Berkapasitas hukum sedemikian itu, berkonsekuensi hukum Pak Boediono, pada dirinya memiliki dan melekat kewajiban hukum secara spesifik dalam lingkungan hukum BI, dan derivasinya. Tidak ada kewajiban yang tidak meminta pembebanan tanggung jawab.

Kewajiban selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Bukan perkara mungkin atau tidak mungkin, tetapi adanya FPJP, telah menjadi fakta. Perubahan Peraturan Bank Indonesia mendahului pemberian FPJP itu, dan perubahan PBI bukanlah hal yang terjadi secara tiba-tiba. Ada serangkaian rapat yang mendahuluinya,dan diakhiri dengan pemberian FPJP itu.Boleh saja pemberian FPJP itu dianggap mulia, tetapi saat ini telah ada dua orang di BI dinyatakan berstatus tersangka, betapa pun surat perintah penyidikannya belum keluar-keluar juga. 

Ada penyalahgunaan wewenang, begitulah salah satu elemen dalam penilaian KPK, yang disandangkan kepada kedua orang ini. Menariknya mereka berdua tidak berkapasitas hukum sebagai gubernur Bank Indonesia. Masalahnya apakah kedua orang itu berkualifikasi sebagai pelaku materiil, atau “terkait” dengan pelaku materiilnya? Tidak jelas. Hukum modern, termasuk hukum kita, khususnya hukum tindak pidana korupsi, jelas. 

Sanksi tidak hanya ditujukan pada subyek materiil, pelaku materiil, tetapi ditujukan pula kepada subyek yang dinilai, tentu harus berdasar, terkait dengannya. Menetapkan dua subjek hukum sebagai tersangka sama nilai hukumnya dengan meragukan niat baik di balik perbuatan bailout itu. Dalam konteks itu penting untuk memastikan apakah penyalahgunaan wewenang yang disematkan pada kedua tersangka itu sebagai sesuatu yang diniatkan, atau semata karena kelalaian keduanya. 

Apakah peristiwa pidana yang disangkakan kepada kedua orang itu bisa dipisahkan dari rangkaian peristiwa bailout itu, sungguh merupakan soal hukum yang harus dibuat terang benderang. Pada titik itulah muncul urgensi hukum meminta keterangan Boediono.Tak ada halangan untuk memeriksanya. Toh pada level penyelidikan, Pak Boediono pun telah dimintai keterangan alias telah diperiksa KPK. Toh UUD 1945 sama sekali tidak mengalami perubahan sejak pemeriksaan Pak Boediono pada saat penyelidikan hingga saat ini. 

Pasti KPK tidak menggunakan UUD 1945 yang lain, selain UUD 1945 yang berlaku saat ini ketika meminta keterangan Pak Boediono beberapa waktu lalu. Bagaimana mungkin ada dua hukum yang berbeda, untuk hal yang sama, padahal norma dasarnya sama.Hukum yang dimunculkan dalam ilmu hukum bukanlah hukum dalam arti preskriptif, sebagaimana dinyatakan dalam pasal, dalam undang-undang. Jadi, sekali lagi tidak ada halangan hukum apa pun dalam hal memeriksa Boediono.

Periksalah Boediono sebagai saksi, demi dan hanya untuk itu; membuat terang peristiwa pidana yang disangkakan kepada dua tersangka saat ini. Andai dalam perkembangan penyidikan, muncul fakta yang cukup, untuk dijadikan dasar mengubah statusnya dari saksi menjadi tersangka, maknailah itu sebagai konsekuensi tak terelakkan dari prinsip equality before the law, yang diagung-agungkan oleh KPK sendiri. Adillah kepada dua tersangka saat ini, dan adil jugalah kepada Pak Boediono. Jangan miringkan hukum seperti miringnya hukum dalam pemerintahan otoritarian. Agar tegak, KPK, mintailah keterangan Pak Boediono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar