Sabtu, 08 Desember 2012

Blue Economy dan Pembangunan Kelautan Berkelanjutan


Blue Economy
dan Pembangunan Kelautan Berkelanjutan
Rokhmin Dahuri ;   Ketua DPP PDI-P Bidang Maritim dan Perikanan; 
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
SINDO, 07 Desember 2012


Setelah 67 tahun merdeka Indonesia kini menjadi negara berpendapatan menengah dengan gross national income (GNI) per kapita USD3.500. Tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen, tertinggi kedua di dunia setelah China. 

Ekonomi Indonesia merupakan yang terbesar ke-15 di dunia. Jumlah kelas menengah pun terus bertambah, sekarang mencapai 120 juta orang. Setelah krisis multidimensi 1998, Indonesia kini kembali masuk dalam daftar negara layak investasi. Pendeknya, secara makroekonomi, kinerja Indonesia boleh dibilang kinclong. Namun, kehidupan sosial ekonomi riil keseharian masyarakat sangat kontras dengan bersinarnya makroekonomi itu. 

Jumlah pengangguran terbuka 8 juta orang (7% angkatan kerja), dan yang setengah menganggur tidak kurang dari 25 juta orang. Dengan standar garis kemiskinan BPS (Rp240.000/orang/bulan), jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 29,5 juta. Sedangkan, menurut garis kemiskinan versi Bank Dunia (USD2/orang/ hari), jumlah penduduk miskin mencapai 117 juta jiwa.Artinya hampir separuh rakyat Indonesia masih berkubang dalam kemiskinan. 

Hal yang lebih mencemaskan adalah bahwa dalam delapan tahun terakhir kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin justru semakin lebar. Fenomena ini tecermin dari koefisien gini yang pada 2004 sebesar 0,3, tahun ini menjadi 0,42.Koefisien gini sebesar itu merupakan yang tertinggi dalam sejarah Indonesia 40 tahun terakhir. Padahal tingkat kesenjangan di suatu negara yang masih dalam batas aman (tidak menimbulkan kecemburuan sosial), koefisien gininya maksimum 0,33. 

Saat ini, total kekayaan 40 orang terkaya lebih besar daripada yang dimiliki oleh 60 juta rakyat termiskin di Indonesia. Jika kita tidak segera memperbaiki struktur dan kinerja ekonomi nasional, boleh jadi Indonesia terjebak dalam negara berpendapatan menengah (middle income trap).Tidak dapat naik kelas menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Untuk itu kita mesti melakukan dua langkah terobosan. Pertama, meningkatkan produktivitas dan daya saing seluruh sektor ekonomi yang ada saat ini. Kedua, mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru secara produktif, efisien, dan berkelanjutan. 

Potensi Ekonomi Laut 

Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, yang tiga per empat wilayahnya berupa laut, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia sejatinya terdapat di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan. Sedikitnya ada 10 sektor ekonomi yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa. 

Kesepuluh sektor ekonomi itu adalah: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) energi dan sumber daya mineral (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil,dan (10) sumber daya kelautan nonkonvensional. Total nilai ekonomi kesepuluh sektor pembangunan itu diperkirakan mencapai USD1 triliun, sekitar 7 kali lipat APBN 2012 atau sedikit lebih besar dari PDB Indonesia saat ini. 

Kesempatan kerja yang bisa dibangkitkan dari sepuluh sektor ekonomi kelautan itu mencapai 50 juta orang, sekitar 42% dari total angkatan kerja saat ini 120 juta orang. Sekadar ilustrasi, luas total lahan pesisir Indonesia yang potensial untuk usaha budi daya tambak udang adalah 1,22 juta ha. Jika kita dapat mengusahakan 400.000 ha (30%) secara optimal dengan rata-rata produktivitas 5 ton/ha/tahun (seperempat dari rata-rata produktivitas tambak udang Vannamei saat ini), maka dihasilkan 2 juta ton udang/tahun.

Dengan harga jual sekarang USD5/kg (di lokasi tambak), nilai ekonominya mencapai USD10 miliar/tahun. Kalau 75 persen kita ekspor,nilai devisanya USD7,5 miliar. Bandingkan dengan total nilai ekspor perikanan tahun lalu yang hanya USD3,5 miliar, dan total nilai ekspor CPO sebesar USD12 miliar. Tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan tambak udang 400.000 ha sekitar 800.000 orang, dan yang bekerja di industri hulu dan hilir dari tambak udang seluas itu sekitar 1,2 juta orang. 

Selain udang,masih banyak komoditas perikanan lain yang bernilai ekonomi tinggi yang bisa dibudidayakan di lahan pesisir (tambak) maupun laut Indonesia. Contohnya adalah ikan kerapu, kakap, bandeng, bawal bintang, nila saline, cobia, kepiting, lobster, abalone, kerang mutiara,dan rumput laut. Luas perairan laut dangkal yang cocok untuk usaha budi daya perikanan sekitar 24 juta ha. Potensi produksi lestari ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 6,5 juta ton/tahun, sekitar 8% dari total potensi produksi lestari ikan laut dunia (90 juta ton/ tahun). 

Lebih dari 70 persen ladang minyak dan gas terdapat di wilayah pesisir dan lautan. Baru-baru ini ditemukan deposit gas hidrat di laut dalam sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa dengan potensi melebihi seluruh potensi migas nasional (Richardson, 2008). Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, Indonesia memiliki potensi industri bioteknologi kelautan yang sangat besar dan sumber plasma nutfah yang merupakan basis ketahanan pangan, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi dunia. 

Posisi geoekonomi Indonesia juga paling strategis.Sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per tahun ditransportasikan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010). Ironisnya, justru setiap tahun kita menghamburkan devisa USD16 miliar hanya untuk membayar jasa kapal-kapal asing yang mengangkut barang yang diekspor dari dan diimpor ke Indonesia maupun antarpulau dalam wilayah NKRI. 

Ekonomi Biru 

Sayang potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besarnya itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal. Buktinya, sampai 2011 kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB baru 22%. Padahal , negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Norwegia, Islandia, Chile, Thailand, Korea Selatan, dan Jepang, sektor ekonomi kelautannya menyumbang antara 30-60% terhadap PDB. 

Dalam konteks inilah ekonomi biru (blue economy) hadir sebagai paradigma ekonomi baru untuk mengoreksi kegagalan mazhab ekonomi konvensional (kapitalisme, neoliberal) yang tidak inklusif dan merusak lingkungan hidup. Mengingat kegiatan pembangunan di wilayah laut memerlukan teknologi yang lebih canggih dan investasi yang lebih besar ketimbang di daratan, ekonomi biru juga dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam pendayagunaan sumber daya kelautan melalui aplikasi inovasi teknologi maupun non-teknologi (logistics, marketing, organization, and management) untuk kesejahteraan seluruh umat manusia secara adil dan berkelanjutan (Pauli, 2011). 

Dalam ekonomi biru, pertumbuhan ekonomi,pendapatan masyarakat, dan lapangan kerja dari hasil pembangunan sumber daya kelautan haruslah dibangkitkan oleh investasi publik maupun swasta yang secara signifikan mengurangi emisi karbon dan buangan limbah lain, meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi dan SDA, dan mencegah kehilangan keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan dari ekosistem pesisir dan lautan. 

Selain itu, secara sosial hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh manusia dengan adil (socially inclusive). Pada tataran praksis, blue economy memberikan pedoman pembangunan kelautan sebagai berikut. Pertama, penataan ruang wilayah darat,pesisir dan lautan secara terpadu. Di setiap pulau maupun wilayah administrasi (kabupaten/kota, propinsi, atau negara), minimal 30% total wilayahnya harus dialokasikan sebagai kawasan lindung, termasuk jalur hijau hutan mangrove. 

Di 70% wilayah sisanya boleh ditempatkan berbagai kegiatan (sektor) pembangunan sesuai dengan kesesuaian lahannya. Kedua, Laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti perikanan, mangrove, terumbu karang, dan sumber daya alam hayati laut lain) harus tidak melebihi kemampuan pulih dari SDA tersebut.Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (migas, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan. 

Sebagian keuntungan ekonominya harus digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan substitusi dan mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan serta berkelanjutan. Keempat, semua kegiatan pembangunan dan manusia harus tidak banyak membuang limbah, dan sedikit mengemisikan gasrumahkaca (low-carbon). Pencemaran lingkungan harus dikendalikan. Kurangi penggunaan bahan bakar fosil (BBM dan batu bara).

Mulai sekarang beralih ke energi terbarukan, seperti biofuel, panas bumi, energi air, energi surya, angin, pasang surut, gelombang laut, ocean thermal energy conversion (OTEC), dan hidrogen. Kelima, rehabilitasi semua ekosistem alam (seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove) yang mengalami kerusakan. Keenam,konservasi keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, baik pada level spesies, genetik, maupun ekosistem. 

Ketujuh, semua aktivitas pembukaan lahan, reklamasi, modifikasi bentang alam, desain dan konstruksi harus dikerjakan sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika alam setempat. Kedelapan, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Terakhir, kita harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan kelautan digunakan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar