Rabu, 19 Desember 2012

Jurus Kartu Gubernur DKI


Laporan Akhir Tahun Bidang Metropolitan
Jurus Kartu Gubernur DKI
KOMPAS, 19 Desember 2012



Bagi Nurlela (49), tinggal di hunian mewah dengan segala fasilitasnya hanya mimpi yang mustahil diraih. Tinggal di rumah sempit di RT 005 RW 003 Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dengan lahan kosong luas di belakangnya untuk menampung air hujan dan terhindar dari banjir pun sudah cukup memuaskan.
Namun, kini ia terusik. Lahan kosong itu telah dipagar tinggi dan pembangunan dua menara dengan sedikitnya 500 unit apartemen mewah sedang berlangsung. Bisingnya dentuman alat berat mengganggu warga seluruh RT, belum lagi sumur yang mulai kering dan rumah-rumah warga mulai retak-retak.
”Ini memang tanah mereka, tetapi kami hanya menuntut ada uang bising, ada saluran air PAM buat warga sekitar proyek pengganti sumur kering, dan disediakan saluran pembuangan/drainase yang baik,” kata ibu rumah tangga dan pekerja serabutan itu, Jumat (14/12).
Sekretaris Camat Pesanggrahan Chalid pun khawatir. ”Gedung dengan tingkat hunian tinggi, apa dampak lalu lintasnya sudah dipikirkan?” katanya, saat ditemui di kantornya, Jumat siang.
Kota Boros
Perencana kota Andy Siswanto pada diskusi Kompas, Selasa (4/12), mengatakan, kota ada untuk mewadahi manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Tidak hanya infrastruktur fisik yang harus disediakan pemerintah, yang terpenting ialah menciptakan harmonisasi masyarakat. ”Sudahkah pemerintah memikirkan detail itu,” katanya.
Seperti halnya Andy, pengamat perkotaan Yayat Supriyatna dan arsitek lanskap Nirwono Joga melihat Jakarta boros energi karena untuk berpindah dari rumah ke tempat kerja ataupun ke sekolah saja butuh waktu berjam-jam. Rumah murah hanya ada dipermukiman kumuh tengah kota yang tak layak huni atau di perumahan-perumahan di kawasan terpencil di luar Jakarta.
Pendapatan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah tersedot untuk kebutuhan tempat tinggal dan biaya transportasi. Jarak antara si miskin dan si kaya kian lebar. Bagi mereka yang tergolong pas-pasan urusan kesehatan dan pendidikan dinomorduakan karena memang tak ada lagi uang tersisa.
Ketua Kompartemen Tata Ruang DPP Real Estate Indonesia Hari Ganie meyakini, agar masalah di Jakarta tak berlarut-larut perlu peran besar pemerintah pusat dan DKI Jakarta. Peran yang dibutuhkan, yaitu memperkuat posisi kota-kota baru swasta, seperti di Serpong, Bekasi, dan lainnya. Saat ini, kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 18.000 jiwa per kilometer persegi, sementara di Bogor, Bekasi, dan Tangerang baru 1.000 jiwa per kilometer persegi.
”Pemimpin negeri ini harus berani membuat kebijakan Jakarta sebagai serviced base city dengan sektor-sektornya seperti financial service, hotel, perdagangan, dan restoran. Sektor ekonomi yang tidak terkait dengan fungsi itu, seperti kebun binatang, pasar induk, kantor pusat perbankan, dan BUMN, sampai pabrik-pabrik bisa direlokasi ke kota-kota swasta di sekitar Jakarta,” kata Hari.
Tak seekstrem Hari, Andy beranggapan bahwa Jakarta yang memiliki kawasan-kawasan premium bergedung tinggi ataupun kampung-kampung dengan rumah-rumah horizontal tetap bisa dipertahankan.
”Yang penting ditata tanpa menghilangkan substansi kawasan. Membenahi permukiman bantaran, bisa dengan berbagai model perumahan vertikal murah, tetapi jangan sampai mencabut mereka dari akar budaya, serta mata pencarian mereka,” katanya. Ditambah dengan pembangunan sistem transportasi publik yang memadai, penataan yang efektif seperti itu akan berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Macet teratasi, kesehatan warga akan lebih baik karena polusi berkurang.
Jurus Kartu-Kartu
Namun, sepertinya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama saat ini memilih fokus pada program peningkatan kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan pendahulu-pendahulunya. Baru dilantik pada 15 Oktober lalu, Jokowi-Basuki langsung meluncurkan dua program andalan, yaitu Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Jokowi menargetkan penerima KJS pada tahun 2013 sebanyak 4,7 juta warga miskin, rentan miskin, dan hampir miskin. Untuk KJP, Jokowi menargetkan 332.000 siswa dari keluarga tidak mampu.
”Kami minta anggaran sebesar Rp 1,2 triliun untuk KJS pada tahun 2013. Itu berdasarkan penghitungan biaya kesehatan rata-rata Rp 250.000 per orang per tahun untuk 4,7 juta jiwa sasaran,” ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto menuturkan, anggaran pendidikan untuk tahun 2013 yang diajukan sebesar Rp 11,5 triliun atau sekitar 26 persen dari total RAPBD DKI Jakarta. ”Khusus untuk KJP, anggarannya sebesar Rp 804 miliar,” ujar Taufik.
Beriringan dengan KJS dan KJP, Jokowi berjanji membenahi kampung kumuh. Kampung-kampung kumuh ini bakal disulap menjadi kampung yang tertata, sehat, dan memiliki ciri khas. Setiap kampung target pembenahan rencananya bakal menerima gelontoran dana Rp 50 miliar.
”Dalam lima tahun ke depan, total ada 360 kampung di Jakarta yang akan ditata. Untuk tahun 2013, diajukan 100 kampung dulu sehingga semuanya bisa rampung dalam empat tahun. Namun, hal itu bergantung pada persetujuan dari Dewan,” ujar Jokowi.
Akan tetapi, pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS) di DPRD DKI Jakarta hingga kini berjalan alot. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta sebelumnya meminta agar gubernur tidak tergesa-gesa dalam meluncurkan KJS.
Dinas Kesehatan memprediksi Pemprov DKI Jakarta bakal menanggung utang hingga Rp 355 miliar hingga akhir tahun ini. Pembengkakan itu, menurut Dien, karena antusiasme masyarakat begitu tinggi untuk mendapatkan KJS.
Warga hanya berbekal KTP DKI Jakarta bisa memperoleh KJS. Sebelumnya, warga harus mendapatkan surat keterangan miskin atau tidak mampu dari RT/RW setempat untuk bisa mendapat pelayanan JPK/Gakin.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua juga meminta agar gubernur memikirkan anggaran untuk KJS demi kesinambungan program itu. ”Perlu dihitung dengan tepat apakah 4,7 juta warga yang memegang KJS benar-benar bisa dibiayai dengan Rp 1,2 triliun,” katanya.
Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Wanda Hamidah, menyoroti pengawasan KJP. ”Kartu pintar harus benar-benar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Selain itu, harus dipastikan juga apakah kartu pintar menjawab persoalan dasar dari pendidikan di Jakarta, misalnya rawan putus sekolah,” katanya.
(FRANSISCA ROMANA/neli triana)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar