Sabtu, 15 Desember 2012

Jepang yang Semakin ke Kanan


Jepang yang Semakin ke Kanan
Nino Viartasiwi ;  Kandidat PhD Graduate School of International Relations, 
Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang 
SINDO, 15 Desember 2012



Sejak 4 Desember lalu, masa kampanye untuk pemilihan umum di tingkat “lowerhouse” (ka-in) resmi digelar di Jepang. Publik Jepang sedang bersiap menghadapi pemilu untuk memilih wakilnya yang akan duduk di dewan perwakilan (House of Representatives) pada 16 Desember 2012. 

Pemilu yang monumental dan menawarkan banyak kemungkinan baru dalam arah Jepang di masa depan, dan pada gilirannya menentukan posisi baru Jepang di dunia internasional. Citra Jepang di kawasan dan dunia memang merosot perlahan-lahan dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya disebabkan bantuan luar negeri Jepang yang terus menurun jumlahnya serta ketidakjelasan arah politik luar negeri mereka. 

Namun para pengamat percaya, salah satu penyebab melorotnya pamor Jepang di panggung internasional adalah karena kondisi politik domestik yang tidak stabil. Terlalu cepatnya pergantian menteri dan bahkan pergantian perdana menteri menyebabkan arah kebijakan politik luar negeri Jepang menjadi kabur, rutin, dan tanpa inovasi. Oleh karena itu, pemilihan umum kali dianggap sebagai pertaruhan Jepang untuk membenahi carut-marut politik dalam negeri dan sekaligus mendandani performa politik luar negerinya. 

Pemilu kali ini penting setidaknya karena dua hal. Pertama, pemilu ini adalah pemilu pertama setelah partai penguasa yang baru satu periode memimpin Jepang, yaitu Democratic Party of Japan (DPJ), dianggap gagal memuaskan publik Jepang dalam pemulihan Jepang dari stagnasi pertumbuhan ekonomi. Kemenangan gilang gemilang DPJ pada 2009,setelah berhasil memecundangi Liberal Democratic Party (LDP) yang telah berkuasa sejak 1955, menjadi cerita getir karena upayanya terganjal bencana alam yang menimpa Jepang.

Kecanggungan pemerintah Jepang dalam tanggap bencana, berlarutnya persoalan pascabencana yang belum teratasi,serta perekonomian nasional yang lesu memperburuk rapor DPJ di mata masyarakat. Kedua, karena pemilihan umum ini adalah yang pertama setelah Jepang diguncang bencana alam tsunami yang disusul dengan bocornya reaktor nuklir di Fukushima. Tak kurang, negara-negara tetangga juga memandang harap-harap cemas terhadap pemilu Jepang kali ini.Kaitannya adalah dengan semakin menguatnya isu-isu nasionalisme Jepang. 

Belakangan, panggung politik Jepang yang semakin dikuasai oleh para politisi dengan pandangan ultranasionalis telah menimbulkan kegerahan negara tetangga. Ketegangan hubungan China-Jepang menyangkut persoalan Kepulauan Senkaku/Daiyou beberapa waktu lalu, juga diakibatkan ulah para politisi ultranasionalis yang memiliki pandangan anti-China. Untuk itu, wajah hubungan internasional Jepang terutama posisinya di kawasan beberapa waktu mendatang,juga ditentukan oleh pemilihan umum kali ini. 

Isu Baru, Isu Lama 

Isu-isu lama masih mendominasi panggung politik Jepang dalam pemilu kali ini. Isu lama seperti stagnasi ekonomi selalu menjadi dagangan paling laku di depan publik Jepang. Stagnasi pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir mulai melemahkan kekayaan Jepang, di samping juga menggerogoti pengaruh Jepang sebagai negara donor di dunia. 

Meskipun hingga saat ini Jepang masih tetap diperhitungkan sebagai negara di peringkat ketiga termakmur di dunia, potensi masa depan perekonomian Jepang yang suram menggelisahkan rakyatnya. Isu lama lain yang masih mendominasi adalah soal nasionalisme Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang menghadapi pergumulan serius sehubungan dengan kerinduan kaum nasionalis untuk mengembalikan Jepang sebagai negara yang “normal”.Selama ini Jepang merupakan negara pacifist dan diatur dalam pasal 9 di konstitusi Jepang yang dikenal sebagai klausul perdamaian (peace clause). 

Dalam statusnya sebagai negara pacifist, sampai saat ini Jepang hanya diperbolehkan memiliki self-defense forces (jieitai), yang meskipun pada hakikatnya adalah sama dengan kekuatan militer,namun pada kemasannya hanyalah penjaga keamanan. Jepang menyandarkan pertahanan keamanannya di bawah payung keamanan Amerika Serikat. Kemenangan awal politisi kanan yang diwakili oleh LDP dalam isu ini ditandai dengan peningkatan status lembaga yang menangani urusan pertahanan dari berstatus badan (agency) menjadi berstatus Kementerian Pertahanan pada 2006, masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. 

Di samping isu-isu rutin tersebut, beberapa isu baru mewarnai politik Jepang kali ini. Salah satunya adalah isu keberlangsungan dan masa depan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang. Belajar dari pahitnya tragedi Fukushima, publik Jepang berhadapan dengan pilihan kemungkinan Jepang tanpa tenaga nuklir. Besarnya isu nuklir ini telah membuat mengakibatkan berdirinya sebuah partai baru. Gubernur Shiga, Yukiko Kada, yang juga seorang aktivis lingkungan, mendirikan Nihon Miraino To (Japan Future Party) sebagai kendaraan politiknya untuk menggalang dukungan rakyat dalam upayanya menghapus nuklir dari Jepang. 

Meskipun hingga kini dukungan terhadap Kada belum solid disebabkan posisinya yang radikal menyangkut isu-isu krusial lain, kemunculan Kada dan partainya cukup menyita perhatian. Kebijakan mengenai nuklir memang memicu perdebatan panjang di masyarakat. Jika Kada dengan partai barunya secara ambisius mengusung isu Jepang tanpa nuklir dalam waktu 10 tahun ke depan,partai berkuasa DPJ diwakili oleh Perdana Menteri Yoshihiko Noda berusaha mencuri dukungan publik dengan mengusung isu penghapusan nuklir secara bertahap hingga 2030- an. Sedangkan LDP melalui pemimpinnya mantan Perdana Menteri Shinzo Abe menyatakan, meskipun partainya berkeinginan mengurangi ketergantungan terhadap nuklir, dia tidak berniat untuk benar-benar meninggalkan nuklir. 

Politik Luar Negeri 

Publik Jepang secara tradisional tidak pernah terlalu menaruh perhatian pada isu politik luar negeri. Namun dalam pemilihan umum kali ini isu politik luar negeri,terutama yang terkait langsung dengan masa depan perekonomian Jepang seperti perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) menjadi perhatian. Perjanjian TPP yang akan membuat Jepang masuk dalam pasar bebas akan berdampak besar pada masa depan perekonomian negara ini. 

DPJ bersikap optimistis bahwa TPP akan membawa Jepang pada kondisi perekonomian yang lebih baik.Adapun LDP, meskipun mendukung perjanjian TPP,bersikap menahan diri pada beberapa detail perjanjian. Nippon Mirai (Japan Future Party) terang-terangan menolak perjanjian pasar bebas atas nama perlindungan terhadap masyarakat. 

Sementara Nippon Ishin (Japan Restoration Party) tidak memiliki sikap yang tegas dalam menolak atau mendukung perjanjian pasar bebas ini. Isu politik luar negeri yang penting, namun terabaikan dari perhatian publik Jepang, adalah isu keamanan kawasan. Memang tidak ada partai yang secara tegas menjual isu ini,namun ketegangan hubungan Jepang- China beberapa waktu lalu menjadi alarm bagi negaranegara tetangga untuk mengawasi secara saksama pemilihan umum kali ini. 

Menimbang Peluang Sayap Kanan 

Pemilihan umum Jepang kali ini tampaknya akan diwarnai oleh kebangkitan kembali politisi sayap kanan. Prediksi ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, terpuruknya DPJ di mata pemilih Jepang. Kedua, kembali kuatnya LDP dalam kancah politik Jepang. Mantan Perdana Menteri Shinzo Abe yang saat ini kembali memimpin LDP,sangat bernafsu untuk kembali merebut posisinya dan meneruskan program-programnya yang tertunda dari masa pemerintahannya sebagai perdana menteri. 

Ketiga, partai-partai lain dengan haluan kanan juga mulai menunjukkan taringnya. Keempat, lemahnya platform partai baru yang tadinya diharapkan menjadi alternatif untuk mengimbangi partai kanan. Kembalinya politisi sayap kanan dalam politik Jepang akan menciptakan kondisi ketegangan yang serius di kawasan Asia Timur. Hal ini terkait dengan ambisi bulat politisi nasionalis untuk melakukan revisi pasal 9 dari konstitusi Jepang. 

Revisi konstitusi, meskipun tentu saja tidak mudah dan akan melalui jalan panjang, akan membuat Jepang memiliki hak untuk menggunakan kemampuan militernya dengan lebih agresif. Dalam arti, Jepang tidak hanya berhak bersikap ketika diserang, namun juga mungkin untuk bereaksi terhadap provokasi. Lebih jauh, jika revisi pasal 9 berhasil dilaksanakan, pandangan politisi sayap kanan yang lebih permisif terhadap nuklir membuka peluang perdebatan panjang mengenai kepemilikan senjata nuklir oleh Jepang di masa depan. 

Pada akhirnya,ketegangan berlarut antara Jepang-China dan Jepang-Korea Utara akan semakin menajam. Bagi Indonesia, ketegangan kawasan regional Asia Timur tentu saja tidak dapat diabaikan. Meskipun kaum ultranasionalis Jepang bercita-cita membina hubungan lebih baik dengan Asia Tenggara (dengan Indonesia sebagai pusatnya) dan meninggalkan China, bukan berarti keuntungan ada pada pihak Indonesia.

Ketegangan dua negara dengan ekonomi terkuat di dunia di kawasan Asia memberikan kemungkinan perebutan pengaruh yang luar biasa di Asia Tenggara. Beraliansi kepada satu pihak akan menimbulkan gesekan dengan pihak lain. Untuk itu, pemahaman terhadap situasi di kawasan Asia Timur serta politik luar negeri yang mendorong kerja sama regional yang lebih kuat diperlukan, agar ketegangan dua raksasa Asia tidak menimbulkan korban pelanduk yang tidak perlu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar