Indonesia dan
Palestina Merdeka
Broto Wardoyo ; Staf Pengajar
di Departemen Ilmu
Hubungan Internasional, UI
|
SINDO,
03 Desember 2012
Indonesia
termasuk salah satu negara yang memberikan dukungan pada aplikasi sebagai non-member observer state yang
diajukan oleh Palestina. Pemberian status tersebut memungkinkan Palestina
melakukan banyak hal, termasuk membuka opsi penyelesaian melalui PBB dan
bukan negosiasi dua pihak seperti yang dilakukan dalam proses Oslo.
Dukungan Indonesia terhadap Palestina sepantasnya, dan pastinya, tidak akan berhenti sampai di sini. Ke depan, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk berkontribusi positif bagi perjuangan kemerdekaan Palestina. Setidaknya ada empat hal kontribusi yang dapat diberikan oleh Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
Pertama,
Indonesia dapat mengambil langkah positif bagi keterlibatan Palestina di
organ-organ PBB. Status negara pengamat nonanggota akan memungkinkan
Palestina untuk masuk dalam organ-organ PBB dan badan dunia lain yang
berafiliasi dengan PBB. Indonesia dapat, dan telah terbukti mampu, melakukan
konsolidasi blokblok diplomatik, baik ASEAN, OKI, maupun GNB, untuk
memuluskan langkah Palestina.
Kedua,
Indonesia dapat mengambil peran sebagai mediator proses perdamaian
Palestina-Israel. Dengan mengambil peran sebagai mediator, Indonesia akan
lebih dapat memaksimalkan kepentingan Palestina dalam perundingan, sekaligus
menciptakan keseimbangan yang lebih baik dalam perundingan.Upaya untuk
menjembatani proses perdamaian Palestina-Israel dipandang sebagai hal yang
tabu oleh sebagian kelompok di Indonesia. Hal ini karena peran tersebut akan
membutuhkan kontak yang intens dengan pihak Israel.
Sebagian mengasumsikan bahwa kontak tersebut harus dilakukan dengan pembukaan hubungan diplomatik, padahal sebenarnya tidak. Pembukaan hubungan diplomatik harus dilakukan dengan pertimbangan yang masak terkait besar dan kecilnya keuntungan yang akan didapatkan. Ketika pilihan tersebut dipandang tidak rasional oleh publik,harga politik yang harus dibayar akan tinggi sehingga dipandang tidak menguntungkan. Kontak yang intensif antara dua negara tidak harus dilakukan dengan hadirnya hubungan diplomatik. Sebagai misal, Indonesia memiliki kontak yang intensif dengan Republic of China, lebih dikenal dengan Taiwan, namun tidak memiliki hubungan diplomatik. Dalam diplomasi antarnegara, telah banyak model yang diperkenalkan untuk membuka saluran komunikasi yang intensif dengan ketiadaan hubungan diplomatik resmi. Salah satu usulan yang dapat diajukan dalam kasus ini adalah pembukaan Indonesian corner di salah satu kedutaan negara lain yang dipandang sejalan dengan Indonesia di Israel. Beberapa negara Islam dan Arab telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan bisa dijadikan mitra oleh Indonesia. Turki dapat dijadikan satu alternatif, selain Mesir atau Yordania. Jika tidak, Indonesia dapat memanfaatkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara yang dikenal pro terhadap proses perdamaian, seperti Prancis, Swiss,atau Kanada. Upaya untuk menjelaskan perbedaan yang mendasar antara kontak dan hubungan diplomatik harus dilakukan secara komprehensif bukan hanya oleh Kemlu, melainkan juga kelompok akademisi dan aktivis perdamaian di Indonesia. Penjelasan tersebut dibutuhkan untuk meletakkan isu ini pada tempat yang tepat agar tidak mudah dipolitisasi.
Ketiga,
Indonesia dapat menjadi pemain sentral dalam upaya rekonsiliasi Palestina. Perjuangan kemerdekaan Palestina
membutuhkan komitmen dari semua faksi di Palestina. Pertarungan politik
internal, apalagi yang melibatkan penggunaan instrumen kekerasan, tidak akan
membawa hal positif bagi upaya tersebut. Dalam beberapa waktu terakhir,
terlihat muncul harmonisasi kepentingan antara Fatah dan Hamas, dua kekuatan
politik terbesar di Palestina. Dukungan yang diberikan Presiden Mahmoud Abbas
terhadap langkah gencatan senjata yang dilakukan Hamas, mencerminkan
sempitnya gap kepentingan kedua kelompok.
Apalagi, pemimpin Hamas di pengasingan, Khaled Meshal, juga menyatakan dukungannya pada langkah Presiden Abbas untuk mengupayakan status negara pengamat nonanggota. Keberhasilan Palestina di Majelis Umum PBB juga dirayakan secara nasional baik di Tepi Barat ataupun Jalur Gaza. Hal ini berkebalikan dengan apa yang terjadi tahun lalu ketika Hamas justru menjadi pihak yang menolak aplikasi yang diajukan Presiden Abbas. Keterlibatan Indonesia dalam proses ini tentu akan bisa menjadi langkah yang positif.
Keempat,
Indonesia dapat berkontribusi pada kemandirian Palestina. Masalah ekonomi
akan menjadi tantangan pertama yang harus dihadapi oleh Palestina. Penolakan
Israel dan AS terhadap aplikasi Palestina di Majelis Umum, berarti hilangnya
sumber pendanaan dari kedua negara tersebut. Israel bertanggung jawab atas
pengumpulan pajak yang kemudian diserahkan kepada pihak Otoritas Palestina.
Penolakan Israel terhadap aplikasi Palestina di Majelis Umum dapat digunakan sebagai alasan bagi penghentian penyerahan dana pajak Palestina. Apalagi, kewajiban tersebut muncul sebagai implikasi penandatanganan Deklarasi Prinsip. Deklarasi Prinsip juga hanya mengenal negosiasi sebagai satu-satunya jalan bagi kemerdekaan Palestina. Pilihan ke PBB muncul sebagai dampak dari kegagalan negosiasi. Jumlah dana bantuan yang digelontorkan oleh AS ke Palestina sekitar USD500 juta per tahun. Jumlah tersebut tidak termasuk bantuan AS yang diberikan melalui UNRWA ataupun badan internasional lain yang mengurus migrasi.Tahun 2009, bantuan AS ke Palestina sebesar USD980 juta. Tahun 2010, bantuan tersebut turun menjadi USD502 juta. Tahun 2011, bantuan AS ke Palestina diberikan sebesar USD550 juta dan tahun 2012 sebesar USD513 juta (data dari US State Department). Penurunan, apalagi penghentian, jumlah bantuan dari AS akan semakin membebani defisit anggaran Palestina. Untuk dapat mewujudkan keempat kontribusi tersebut diperlukan beberapa modalitas. Hal yang paling mendasar adalah perlunya membangun kebijakan yang komprehensif terkait isu Palestina. Isu Palestina lebih sering dijadikan komoditas politik domestik untuk meraup dukungan publik semata.Ketika ada kasus terkait Palestina, baik itu operasi militer Israel, kerusuhan publik, maupun internasionalisasi isu Palestina yang dilakukan oleh faksifaksi di Palestina, upaya pencitraan sebagai teman sejati Palestina akan mendominasi politik domestik di Indonesia. Kasus terbaru yang memunculkan pro dan kontra adalah kunjungan Komisi I DPR ke Mesir, Palestina, dan Israel pascagencatan senjata Israel-Hamas. Kunjungan tersebut mendapatkan cibiran sekaligus pujian dari publik. Kunjungan tersebut dapat membawa manfaat yang sangat besar jika dilakukan dengan terencana dan disinergikan dengan rencana besar keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian. Namun jika tidak, kritik bahwa kunjungan tersebut tidak lebih dari upaya pencitraan dan pemborosan akan menjadi lebih rasional. Selama ini, gema dari diplomasi yang dijalankan Kemlu dalam masalah Palestina sering kali tidak tertanam di publik. Beberapa langkah nyata untuk mendukung kemerdekaan Palestina, salah satunya dilakukan Kemlu dengan memberikan pelatihan kepada generasi muda Palestina. Langkah tersebut tampaknya tidak cukup mampu meraup dukungan publik yang lebih senang melakukan perusakan di kantor Kemlu, manakala melakukan demonstrasi yang menuntut peran aktif Kemlu dalam memperjuangkan aspirasi Palestina. Upaya untuk membangun kebijakan yang terencana tersebut perlu dilakukan bukan saja untuk mendukung kemerdekaan Palestina atau memaksimalkan peran internasional Indonesia, melainkan juga menyalurkan kepentingan publik Indonesia agar demonstrasi di jalanan-jalanan Indonesia dapat didengar secara langsung oleh mereka yang bertikai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar