Kubela Negeri
dan Bangsaku : Indonesia
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
SINDO,
03 Desember 2012
Lama-lama,
penghinaan terhadap martabat bangsa kita makin jauh melampaui batas toleransi
yang sudah kita rentang. Penghinaan demi penghinaan, melalui stigmatisasi
buruk yang membikin kita geram, lewat, satu per satu bersama berlalunya
waktu, dengan meninggalkan kepedihan luka dan rasa terhina.
Tapi lewat tak berarti selesai, karena stigma buruk lainnya muncul lagi dan lagi, seolah disodor-sodorkan di depan hidung—dan dicolokcolokkan di depan mata—kita. Bangsa lain selalu mengecam, kita ini bangsa terkorup di dunia. Para birokrat dan petinggi negara korup. Rakyat miskin karena pejabat korup. Lalu, kita ditaruh di dalam suatu “ranking” korupsi yang sangat tinggi. Kita terima “potret” itu dengan damai. Rasa malu kita telan. Apa boleh buat. Tapi bila di dalam forum-forum “aib” bangsa kita selalu diungkapkan, tidak untuk mencari jalan keluar agar kehidupan kita membaik, melainkan lebih untuk menghina belaka, jelas kita marah. Tak ada toleransi. Tapi sering kita—dengan polos—ikut menghina diri sendiri. Kita terjebak keangkuhan yang licik. Bangsa lain tadi lalu menyusun definisi, bahwa korupsi itu “an extraordinary crime against humanity”. Lalu, kita menyebut bangsa kita sendiri dengan sebutan itu juga. Kita ini berwajah “kriminal”, kejam, dan melawan harkat kemanusiaan. Definisi itu menggambarkan dengan bagus sekali corak dan sifat kekejaman koruptor. Anggaplah kekejaman kita. Tapi mengapa bangsa yang mengutuk dan menghina kemanusiaan itu, secara terang-terangan melakukan kejahatan lebih kejam? Mengapa mereka juga korup? Mengapa mereka menyogok para pejabat kita, agar bisnis mereka lancar? Mengapa mereka menyogok para pejabat kita, agar dibuatkan undang-undang dan perdaperda untuk melindungi kepentingan mereka, dan meluluhlantakkan kepentingan kita sendiri? Mengapaparlemenkita juga disogok,dengan duit asing yang banyak jumlahnya? Mereka menghina kita.Apa mereka itu dewa? Apa mereka nabi? Apa mereka orang suci? Kita tahu jawabnya bukan. Mereka menghina kita korup, tapi mereka melakukan korup lebih besar. Mereka bangga bisa membeli pejabat kita. Mereka bangga bisa menguasai para penguasa negara kita. Ini penghinaan yang membikin darah kita mendidih. Undang-undang atau perdaperda yang melindungi bisnis pertambangan mereka, bisnis perkebunan, bisnis ritel, bisnis perbankan, dan penguasaan atas aset-aset bangsa kita,tanah dan sumber-sumber daya vital milik kita, apa ini sekadar korupsi? Penguasaan ini untuk mengangkangi—dengan sikap serakah—kekayaanbangsa kita. Ini penjajahan. Kita dijajah, dan dijajah lagi. Pengertian korupsi yang terjadi di negeri kita ini ibaratnya ada polisi menyetop truk berisi beras, dan mengambil sebagian isinya. Begitu juga jaksa, hakim, dan pihak-pihak lain, yang banyak jumlahnya. Tapi beras di dalam truk tadi masih banyak. Belum ada sepertiga yang dikorup para pejabat kita. Bangsa asing, melalui lobi dan sogokan pada para pejabat kita, ibaratnya merampas truk dan seluruh isinya. Sopirnya disiksa dan diminta mengantarkan ke sumber penyimpanan beras tadi. Di sana semua truk dan semua beras yang ada, dibawa hingga habis tanda ke negeri mereka. Kita nyaris tak kebagian. Apakah penjajahan ini lebih mulia dibanding kutukan “extraordinary crime against humanity” yang dilakukan bangsa kita, di negeri kita sendiri? Bangsa asing mengajari moralitas, tapi mereka membunuh bukan hanya moralitas melainkan juga manusia dan kemanusiaan kita. Munafik besar bicara moralitas? Apa mereka kira,tanpa mereka ajari, kita tak mampu menangani perkara korupsi di lingkungan keluarga kita? Tanpa campur tangan kemunafikan asing, Bung Karno dulu juga memberantas korupsi.Pak Harto berusaha membentuk tim demi tim anti korupsi. Sejarah pemberantasan korupsi, dengan inisiatif bangsa kita sendiri, panjang sekali. Kita bangsa merdeka. Kita punya inisiatif. Kita melek moralitas. Tak perlu bangsa asing mengajari kita, sambil diam-diam merampok, bahkan menjajah kembali kita. Pejabat kita memang korup, dan kita berusaha membereskannya. Urusan keluarga kita selesaikan dalam keluarga. Hanya orang Indonesia yang tahu Indonesia dengan baik. Pejabat korup kita hukum. Dan kita—KPK—tidak main-main. Bahwa korupsi masih merajalela, itu bukan urusan bangsa asing. Kita, dengan “Indonesian Way”, menyelesaikannya meskipun sulitnya minta ampun. Kalau bangsa lain menyumbang,kita terima. Kalau mereka menasihati,kita terima. Tapi jangan merusak pejabat kita menjadi lebih parah. Mereka memang tidak tahu malu. Mereka memang serakah. Yang sopan, lembut, ramah tamah, dan kelihatan seperti Arjuna pun korup.Dan lebih serakah dari dugaan kita. Tapi mereka korup di rumah mereka sendiri. Di sini tak ada urusan bangsa asing. “Go to hell” dengan semua moralitas palsumu. Kubela negeri dan bangsaku, Indonesia tercinta. Ini negeri pegawai, ini negeri pejabat, ini negeri yang korup.Tapi ini urusanku, urusan negeriku, urusan bangsaku. KPK sudah ruwet menangani korupsi. Jangan kau tambah penipuan, sogokan, bujukan, yang niatnya menguasai dan menjajah negeri dan bangsa kami. Inilah cara kami menyelesaikan keruwetan keluarga. KPK akan terus bekerja, dengan dukungan kepolisian dan kejaksaan. Tiga pihak yang belum lama ini saling pamer kekuasaan dan kesombongan, akhirnya sadar. Polisi tak penting. Kejaksaan Agung, seagung apa pun, tak penting. KPK? Selama kita bicara tentang Indonesia, tak ada pihak yang lebih penting. Dinginkan kepala, jernihkan jiwa, dan semua pihak pun menunduk, dengan rasa malu telah baku tuduh,baku hina,baku ejek.Ini salah.Yang benar? Momentum Jumat malam lalu, 30 November 2012, itu yang layak kita teladani. Itu bukan hanya benar,melainkan mungkin wujud kebenaran itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia,dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia bersatu padu, bicara terbuka mengenai cara menangani korupsi, di PTIK, dengan sedikit pesta, “Gelar Budaya, merenungkan strategi, sambil “nembang”, berpuisi, dan main drama pendek. Wakil ketiga lembaga hadir. Semua mengemukakan pemikiran dengan nyaman. Emha Ainun Nadjib, dengan Kiyai Kanjengnya, memimpin acara. Saya menutup diskusi dengan sikap; Kubela negeri dan bangsaku: Indonesia, dari campur tangan, penipuan, dan penjajahan para durjana, si angkara murka. ● |
ah, artikel jelek. Herannya dimuat terus ya????
BalasHapus