Sabtu, 02 Juni 2012

Ketika Rasa Keadilan Terusik


Ketika Rasa Keadilan Terusik
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 1 Juni 2012


KINI giliran Kalimantan menyatakan keberatan terhadap kebijakan yang dirasa tidak adil bagi wilayah mereka. Alasannya, kelangkaan BBM bersubsidi. Apa pun yang mendasari rencana ancaman blokade total jalur yang sedianya digunakan untuk menyalurkan batu bara ke Jawa, itu rasanya bukan pertimbangan ekonomi semata. Mungkin semula ada anggapan telah terjadi pengabaian oleh pusat terhadap kepentingan pulau terbesar di Nusantara itu. Syukur masalah tersebut akan teratasi.

Berkaitan dengan rasa ketidakadilan, letupan-letupan konflik yang terjadi di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan disinggung sepintas oleh Bapak Jusuf Kalla (JK) dalam dialog di ASEAN Foundation awal pekan ini. Dia memberikan keynote address yang bertema Refleksi tentang berdirinya Institut untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi ASEAN dan bagaimana lembaga itu bisa membantu menjaga perdamaian. Intinya, negarawan asal Sulawesi itu berpendapat tiap konflik harus diteliti benar apa yang menjadi akar permasalahannya.

Tak lama setelah kemerdekaan memang ada gerakan politik yang menghendaki berdirinya negara Islam. Itu berawal di Jawa Barat dan meluas ke perbatasan Jawa Tengah, kemudian ke Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan akhirnya ke Sulawesi. Gerakan politik itu disebut Darul Islam (DI), yang artinya Rumah Islam. Pada 1962-1965, gerakan yang juga dikenal sebagai DI/TII itu melemah dan akhirnya tumpas dengan tewasnya Kahar Muzakar dalam baku tembak di Sulawesi Selatan.

Konflik Aceh yang terakhir, yang berlangsung selama tiga dasawarsa lebih, sering ditafsirkan sebagai keinginan rakyat Aceh untuk menegakkan syariat Islam di wilayah tersebut. Akan tetapi menurut JK, akar permasalahannya lebih pada rasa keadilan yang terusik. Pembagian kekayaan negara pada kenyataannya memang tidak merata. Itu dirasakan rakyat Aceh sejak penjajahan Belanda sampai pemerintahan NKRI. Hasil bumi yang melimpah hanya sebagian kecil sampai ke tangan rakyat Aceh.

Margaret Thatcher dalam buku Statecraft (2002) menyebutkan ancaman terbesar bagi Indonesia saat ini ialah masalah disintegrasi, bukan ideologi. Faktanya, kasus Papua masih menjadi ganjalan sampai sekarang, antara lain karena belum seluruh rakyat Papua merasa bagian dari NKRI. Untuk itu, perlu dialog yang terus-menerus.

Ketimpangan Distribusi

Bila mengkaji rasa ketidakpuasan masyarakat daerah ataupun konflik-konflik horizontal dan vertikal yang akhir-akhir ini sering terjadi, ada satu benang merah yang menggarisbawahi keresahan mereka, yakni ketimpangan distribusi. Rakyat di seluruh Nusantara dalam hati kecil tentu bertanya-tanya mengapa kelompok elite begitu gampang bicara tentang dana miliaran atau triliunan rupiah; baik yang terkait proyek atau korupsi. Rakyat membayangkan itu pun tidak mampu.

Jumlah kekayaan yang tersedia untuk suatu kelompok masyarakat selalu terbatas, sebab baik sumber alam maupun kemampuan produksi, energi, dan waktu yang dimiliki manusia pun terbatas. Dengan demikian, jumlah kekayaan yang bisa dimiliki seseorang atau suatu kelompok seharusnya dibatasi kebutuhan individu dan kelompok lainnya. Juga, pada kreativitas dan teknologi yang tersedia.

Karena kekayaan dan kekuasaan selalu terbatas, demikian pula prestise yang tumbuh sebagai akibatnya. Maka, seluruh masyarakat perlu punya aturan-aturan tentang cara mendistribusikannya. Bila ini diabaikan, keresahan dan ketidakpuasan akan terus ada, apalagi bila setiap orang merasa bebas mengambil sebanyak yang memuaskan hatinya tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang dirasakan lain-lainnya. Bahkan bila kekayaan, kekuasaan, dan prestise berlimpah, toh masih diperlukan aturan-aturan pendistribusiannya karena ada saja yang ingin mendapat lebih sehingga merongrong hak yang lain-lain.

Ada yang mengatakan persediaan yang terbatas selalu menimbulkan ketimpangan distribusi. Kebenaran tersebut masih diragukan. Ketimpangan dan pemerataan bukan ditentukan berlimpah atau tidaknya persediaan. Bahkan gejalanya, jika persediaan berlimpah, ketimpangan distribusi akan semakin besar.

Sekadar contoh, pada awal Orde Baru (1966), ketika kita sama-sama melarat, dengan GDP per kapita $70 per tahun, rasanya kita tidak menghebohkan ketimpangan distribusi. Dalam waktu 30 tahun, GDP naik 100 kali lipat. Ketimpangan distribusi makin terasa.

Peran dan Pesona Parpol

Tak pelak, yang menentukan apakah akan terjadi ketimpangan distribusi/ pemerataan ialah sejumlah aturan, juga kemampuan suatu kelompok atau lainnya untuk mengumpulkan cukup kekuatan dan kekuasaan sehingga menjamin aturan-aturan tersebut bisa diterapkan. Di sinilah partai-partai politik bisa berperan positif, sebab mereka dianggap sarana penting untuk suatu pemerintahan demokratis yang diharapkan mau dan mampu mengusung keadilan demi kepentingan rakyat.

Itu yang menyebabkan partai-partai politik bersaing untuk mendapat kekuasaan, sebab kekuasaan diperlukan demi terwujudnya program partai.

Fakta itulah yang membuat sarjana-sarjana sosial beranggapan menjadi kewajiban kita bersama untuk menyimak keadaan partai-partai politik yang ada: bagaimana pengorganisasian dan dari mana dana mereka. Bagaimana mereka menjalankan fungsi masingmasing. Bagaimana perekrutan para kader mereka. Begitu juga kecenderungan mereka dalam soal kemanusiaan, etika, dan ekonomi. Jangan sampai kita terjebak dalam pesona partai politik yang tidak peduli kepada program-program yang mengusung kepentingan dan rasa keadilan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar