Isra’-Mikraj
dan
Spirit Pluralisme dalam Perintah Shalat
Sobih Adnan ; Mahasiswa
jurusan Pemikiran Islam, Fakultas Ushuluddin,
Institut Studi
Islam Fahmina (ISIF), Cirebon
Sumber : ISLAMLIB.COM, 18 Juni 2012
Bagi umat Muslim, peristiwa Isra’-Mikraj merupakan
ujian keimanan terbesar sepanjang masa kenabian Muhammad. Sebuah perjalanan
spiritual Muhammad dari Masjid Al-Haram di Mekah menuju Masjid Al-Aqsha di
Palestina. Dilanjutkan dengan “terbang” menuju Sidrat Al-Muntaha (langit
lapis ke-7) yang dilakukan hanya dalam waktu semalam saja. Tentu, untuk
mempercayai hal seperti ini memerlukan tingkat kepasrahan pendengar yang luar
biasa, sebelum kemudian ditemukan sebuah esensi dari apa yang diperoleh dalam
perjalanan istimewa Muhammad tersebut, yakni kewajiban menjalankan perintah
shalat.
Di sisi lain, Abu Jahal—Musuh Nabi—menemukan
semacam senjata telak untuk merapuhkan komunitas muslim yang sudah mulai
terbentuk. Provokasi yang diluncurkan ke tengah masyarakat Arab kali ini tidak
akan sesulit saat menghadapi gagasan-gagasan Islam sebelumnya. Jika saja esensi
dari perjalanan spiritual tersebut tidak segera dipaparkan Muhammad, mungkin
kini dalam kajian sejarahpun Islam tidak pernah tercatat.
Masyarakat
Arab, Isra’-Mikraj, dan Shalat
Isra’-Mikraj terjadi sekitar tahun 620-621
Masehi. Jika dalam hitungan kalender Islam peristiwa tersebut terjadi pada
tanggal 27 bulan Rajab. Yang menarik adalah kisah perjalanan Muhammad yang
sangat membutuhkan keimanan kuat untuk mempercayainya tersebut terjadi pada
tahun di mana Muhammad baru 10 tahun memproklamasikan dan berdakwah tentang
keIslaman, usia yang dirasa belum cukup matang dan kuat dalam setiap sejarah
komunitas, negara, terlebih agama. Maka, sangat wajar jika predikat muslim yang
tingkat keimanannya masih dini tersebut harus goyah dan masyarakat Arab
meresponnya dalam bentuk pengusiran Muhammad dari Makkah, bahkan percobaan
pembunuhan atas dirinya.
Di sisi lain Muhammad membawa pengaruh besar
dalam alur dan potensi ekonomi masyarakat pada masa itu. Selain pada peternakan,
persenjataan, ladang, dan lainnya, salah satu potensi ekonomi yang terbilang
besar bagi masyarakat Arab adalah produksi patung-patung sesembahan. Sejak
semula bendera La Ilaha Illa Allah yang dikibarkan Muhammad di mata kaum elit
Arab sudah dianggap cukup mengganggu peluang ekonomi, karena para produsen
patung terancam akan berkurangnya kuantitas konsumen di wilayahnya.
Kemudian melalui peristiwa Isra’-Mikraj inilah Muhammad dianggap melakukan
bentuk perlawanan yang lebih besar, yakni perlawanan kultural, melalui perintah
shalat, gaya menyembah yang menurut mereka baru, padahal sebenarnya telah lama
dilaksanakan oleh nabi-nabi lain sebelum Muhammad.
Selain permasalahan teologis dan ekonomi,
masyarakat Arab pada masa itu juga memiliki kekhawatiran lain dengan hadirnya
berita Isra’-Mikraj yang dialami oleh Muhammad. Trend kesukuan Arab menjadi
terusik dengan ritual peribadatan yang diesensikan shalat. Shalat dikampanyekan
Muhammad tanpa memandang perbedaan kelas, golongan, suku, serta tingkatan
ekonomi penyembah. Tidak seperti yang sebelumnya kerap mereka temui, setiap
ritual, simbol, waktu, dan ruang yang digunakan untuk melakukan ibadah sarat
dengan pertimbangan ekonomi dan status sosial. Hal seperti ini dipandang akan
menjadi penggugat atas kekuatan dan keistimewaan Quraisy, yang pada masa itu
masih berpredikat sebagai suku terkuat di jazirah Arab.
Shalat,
Isra’-Mikraj, dan Semangat Keberagaman
Tidak secara keseluruhan para ulama
menyepakati bahwa Isra’-Mikraj merupakan proses perjalanan Muhammad untuk
menerima perintah shalat. Karena pada dasarnya di dalam ayat yang menerangkan
tentang peristiwa Isra’-Mikraj tersebut tidak menyebutkan proses mandat tentang
shalat itu sendiri. Tuhan hanya menceritakan bagaimana dengan kekuasaan-Nya
mampu menjalankan seorang hamba dengan jarak tempuh yang sangat jauh, akan
tetapi dalam waktu yang luar biasa singkat (Al-Isra 17: 1). Di samping itu
dalam sejarah Islam juga diterangkan bahwa shalat merupakan syariat dari masa
ke masa, hanya saja beberapa tamsil, ibrah, dan pengalaman nabi dalam peristiwa
Isra’-Mikraj ini melahirkan kesimpulan bahwa umat Muhammad diwajibkan atasnya
melaksanakan shalat wajib lima waktu.
Islam tidak hanya berdiri berdasarkan suatu
fondasi yang tunggal. Dapat dilihat di dalamnya bahwa Islam sebenarnya bisa
dijadikan semacam refleksi agama-agama terdahulu. Dalam hal ini, ibadah shalat
cukup mewakili sejarah pembentukan identitas agama Islam. Semisal, shalat
Shubuh merupakan representasi dari ibadah yang pernah dilakukan oleh Adam saat
turun ke bumi. Shalat Dzuhur merupakan bentuk syukur yang dilakukan Ibrahim dan
Ismail atas ketuntasannya menjalankan perintah Tuhan untuk membangun rumah
ibadah: Ka’bah. Shalat Ashar adalah hal yang dilakukan oleh Yunus saat
mengungkapkan kepasrahan di perut ikan Nun. Shalat Maghrib merupakan bentuk
permenungan dan syukur Isa atas terbebasnya Maryam dari fitnah dan
tuduhan-tuduhan. Serta Shalat Isya adalah ritual syukur Musa yang selamat dari
kejaran Fir’aun.
Menyebutkan nama-nama nabi sebelum Muhammad
memang tidak bisa dimonopoli oleh Islam itu sendiri. Karena dalam ajaran
agama-agama monoteistik yang tergolong Abrahamik yakni Islam, Kristen, juga
Yahudi akan bersama-sama menemukan tokoh-tokoh yang hampir sama, dan disebut
nabi-nabi. Maka jika mengaitkan sejarah shalat dengan ritual–ritual yang pernah
dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu niscaya dengan sendirinya berarti menelusuri
hubungan Islam dengan agama-agama yang terlahir lebih awal. Di samping itu,
keberlangsungan ajaran nabi-nabi terdahulu keberadaannya harus diakui melalui
para penganutnya yang hadir dan berdampingan hingga kini. Walhasil, sejarah
shalat bisa dijadikan media refleksi yang strategis mengenai hubungan
agama-agama, juga merupakan ibadah pokok umat Islam yang mengamanatkan tentang
penghargaan dan pengakuan terhadap keberagaman.
Begitu tingginya Islam mengapresiasi
agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an
extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut
harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan
yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa
atau tauhid, monoteisme.
Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau
keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung
pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan
diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan
perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan. Perlawanan
terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh,
suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan
sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung
kepada yang suci dan baik.
Selain tentang perintah shalat, dalam
peristiwa Isra’-Mikraj Muhammad juga memperoleh pengalaman-pengalaman spiritual
yang dapat dijadikan sebagai kunci toleransi agama-agama dalam konteks
kekinian. Melalui beberapa ‘ibrah dan
tamtsil (percontohan) juga dialog
Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya menunjukkan tentang pentingnya tradisi
keterbukaan komunikasi antar agama. Inilah Isra’-Mikraj. Seperti nabi, isra
menjadikan dirinya untuk memahami keberagaman dari hal privat seperti shalat,
hingga ke masyarakat dan umat. ●
Koreksi:
BalasHapusSumber yg benar dari adalah islamlib.com, bukan Jakarta Post. Terimakasih