"Paradox
Mindset" Penanganan Pandemi Heryanto Lingga ; Pensiunan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah
Warta Ekonomi |
DETIKNEWS, 9
Agustus 2021
Akhir-akhir ini ruang
publik di media online dan media sosial di Indonesia ramai menyoroti saran
epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono yang mengingatkan Presiden
Jokowi bahwa Indonesia memasuki jalur jebakan pandemi. Ramai pula pembicaraan
kritik --terminologi yang dipakai sejumlah media (online) mainstream--
politikus senior PDIP Effendi Simbolon yang mempersoalkan pilihan strategi
PSBB/PPKM pemerintah ketimbang kebijakan lockdown. The
Paradox Mindset Saat polemik pandemi ini
ramai menjadi bahan diskusi publik, saya teringat sebuah artikel lawas di BBC
bertajuk Why The Paradox Mindset Is The Key of Success karya David Robson dan
Loizos Heracleous yang dipublikasi pada 12 November 2020. Dalam artikel itu
dikatakan bahwa cara berpikir paradoks berupaya menyinkronkan dua tujuan yang
berbeda secara simultan ke satu tujuan yang sama. Jelas ini bukan sesuatu
yang mudah dan cenderung bertolak belakang satu dengan yang lain. Ambil contoh sederhana,
ketika sebuah rumah sakit berupaya memberi pelayanan prima dan berstandar
medis tinggi sudah barang tentu akan diperhadapkan pada biaya operasional
tinggi dan tindakan medis yang mahal. Dalam bingkai paradox
mindset bagaimana agar harga jual jasa rumah sakit itu bisa terjangkau
masyarakat, namun tetap menjunjung tinggi standar pelayanan medis tinggi menjadi
challenge tersendiri. "Mustahil dicapai," begitu komentar pengelola
RS pada umumnya. Nanti kita belajar dari sukses Narayana Hospital di India. Seorang psikiatri dari
Havard University Albert Rothenberg mewawancarai 22 pemenang Hadiah Nobel
pada 1996. Ia mendapati dari setiap pemikiran revolusioner para pemenang
Nobel tadi mengandung unsur "actively
conceiving multiple opposite or antitheses simultaneously." Sang jenius Albert
Einstein, misalnya. Ia berkontemplasi saat mengamati bagaimana dua objek berbeda
--objek diam dan objek bergerak-- dapat berada pada saat yang sama. Menurut
dia, semua itu bergantung pada posisi si observer melihat objek tersebut.
Dari pemikiran paradoks inilah lahir Relativity
Theory. The
Janus Strategy Pada era 2000-an, Profesor
Loizos Heracleous dari Warwick Business School, Amerika Serikat mencoba
melawan pemikiran mainstream saat itu, bahwa perusahaan berlabel sukses
adalah yang fokus pada satu sasaran utama (utlimately goal) yang menjadi
modal competetive advantage. Dalam praktiknya, ia
mendapati bahwa perusahaan kerap dihadapkan pada beberapa tujuan besar --yang
bertolak belakang namun penting-- pada saat yang bersamaan. Misalnya,
bagaimana menyelaraskan antara efisiensi vs kualitas produk (R&D), antara
efisiensi vs sustainability business (green company), antara efisiensi vs
high profit. Dari pergulatan pikiran
itulah, Prof Loizos Heracleous menerbitkan buku bertajuk The Janus Strategy
pada 2006. Nama Janus diambil dari mitologi Romawi yang mana sang dewa
(Janus) diperhadapkan pada dua pilihan secara bersamaan yang kontradiktif. Pada satu sisi tangan,
Dewa Janus memegang sebuah tongkat untuk menunjuk arah jalan, pada tangan
satunya lagi memegang kunci yang bisa membuka atau menutup jalan. Kontradiksi
ini menggambarkan situasi yang kerap dihadapi siapa pun dalam hidup
keseharian. Mungkinkah dua pilihan
yang kontradiksi bisa seiring sejalan dan setujuan? Prof Loizos mengutip
kisah sukses Narayana Hospital di India. Pada 1996, seorang dokter ahli bedah
jantung bernama dr Shetty bertemu Mother Theresa saat melayani rakyat miskin
yang tidak tersentuh fasilitas kesehatan rumah sakit. Dr Shetty terngiang-ngiang
omongan Mother Theresa, "Tangan yang melayani lebih suci dari bibir
seorang pendoa." Ia pun mendirikan Narayana Hospital untuk melayani
rakyat miskin di India dengan harga terjangkau namun dengan kualitas layanan
medis prima. Jelas ini dua tujuan yang kontradiktif. Mustahil digapai
keduanya. Namun dr Shetty berhasil merengkuh keduanya. Prof Loizos menyodorkan
data menarik terkait sukses Narayana Hospital. Biaya operasi jantung di
Narayana berkisar US$2.000 atau hampir seperempat biaya yang sama di RS-RS di
India yang mencapai US$7.900. Bandingkan biaya operasi yang sama di RS di
Amerika Serikat sebesar US$123 ribu per operasi. Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi? Dr Shetty memakai The Janus Strategy untuk menggapai skala
ekonomi RS. Ia mengupayakan high scale untuk pemakaian ruang operasi,
misalnya. Apabila rerata ruang operasi di RS-RS di India dan Amerika Serikat
hanya melakukan 5-6 tindakan operasi per hari, di Narayana Hospital bisa
mencapai 34 operasi. Prof Loizos memberi contoh
lain. Singapore Airline (SQ) menjalankan dua strategi besar ang bertolak
belakang secara simultan, yakni layanan prima (kenyamanan, berkelas, tepat
waktu di semua lini layanan) vs low cost airline (harga tiket bersaing dan
layanan lainnya). Walhasil, SQ menjadi maskapai dengan profit tinggi dengan
biaya operasional efisien. Dalam bukunya masih
panjang daftar perusahaan yang sukses menerapkan The Janus Strategy. Misalnya, Apple Inc dengan investasi R&D
yang terbilang rendah (hanya 5% dari revenue) mampu menjadi jagoan dunia,
Toyota Motor yang melakukan revolusi internal justru di saat perusahaan
berada di puncak kejayaan, Haier mendisrupsi perusahaan elektronik Amerika
Serikat dan Eropa dengan produk berkualitas dengan harga murah. Hedgehogs
dan Foxes Pada 2019, John Lewis
Gaddis menerbitkan buku bertajuk On Grand Strategy. Profesor ahli sejarah
dari Yale University di Amerika Serikat ini mengutip terminologi
"hedgehogs" (landak) dan "foxes" (rubah) dari tulisan
filsuf Isaiah Berlin saat memotret kegagalan strategi perang Raja Xerxes dari
Persia sewaktu menghadapi Spartan asal Yunani pada tahun 480 sebelum Masehi. Sosok binatang landak
(hedgehogs) dan rubah (foxes) dimunculkan terkait karakter unik dari kedua
binatang itu. Hedgehogs tipikal sosok yang hanya punya satu tujuan besar
dalam hidupnya. Sedangkan foxes merupakan figur yang memiliki intuisi tajam
bersumber informasi dan pengetahuan yang luas dalam membaca perubahan
lingkungan strategis. Dalam bingkai kedua
karakter binatang inilah, Prof JL Gaddis menganalisa kekalahan Raja Xerxes
yang memiliki ribuan pasukan tempur saat menghadapi ratusan pasukan Spartan
asal Yunani. Tipikal Raja Xerxes adalah sosok hedgehogs yang dalam hidupnya
punya satu tujuan besar yakni menaklukkan Yunani guna menjadi pintu masuk
menundukkan dataran Eropa. Pada sisi lain, sang
penasihat militer yang juga adalah paman Raja Xerxes bernama Arthabanus
merupakan sosok foxes. Sebagai seorang penasihat yang punya banyak
pertimbangan, ia pernah menyarankan agar sang raja untuk mengurungkan biat
menginvasi Yunani yang tak lain upaya balas dendam atas kekalahan ayahnya
(Raja Darius I) saat memerangi Yunani satu dekade sebelumnya. Arthabanus memberikan
berbagai macam pertimbangan mengapa sebaiknya Raja Xerxes mengurungkan
niatnya menyerang Yunani. Sebagai figur foxes, ia memaparkan kendala
lapangan: cuaca buruk di pantai Yunani, faktor kelelahan prajurit dan
merosotnya moral tempur pasukan, dan menyusutnya pasok logistik pangan. "Jika semua faktor
itu mesti dipertimbangkan, engkau tidak akan berbuat apapun. Sesuatu yang
besar hanya dimenangkan dari pertarungan dengan risiko yang besar pula,"
ujar Raja Xerxes merespons pandanganya Arthabanus. Raja Xerxes memerintahkan
menyerang Yunani. Pasukan Persia yang berjumlah besar justru kewalahan
menghadapi pasukan Spartan yang sedikit, namun disokong armada angkatan laut
Yunani. Dari kisah itu, Prof JL
Gaddis menilai seandainya sosok Raja Xerxes yang berkarakter hedgehogs bisa
berdamai dengan figur foxes dalam diri Arthabanus, kekalahan perang yang
tragis dan memalukan itu tidak akan terjadi. Bottom
Line Dari paparan di atas,
setidaknya ada bottom line yang bisa ditarik, yakni tipikal pemimpin ideal
adalah figur yang punya DNA berpikir paradoks seperti Dewa Janus yang di
dalam dirinya berbaur karakter hedgehogs dan foxes. Kalau kita cermati mindset
strategi Presiden Jokowi mengatasi pademi Covid-19 bukan berpikir
"either/or" yakni, "lockdown atau non-lockdown". Dua
sasaran sekaligus ingin direngkuh: ekonomi selamat dan pademi terkendali.
Cara pikir seperti ini terisap dalam paradox mindset. Wajar apabila banyak
kalangan menilai adalah mustahil dua sasaran yang bertolak belakang bisa
digapai. Dalam bingkai paradox
mindset bukanlah sesuatu yang mustahil untuk menggapai dua sasaran yang
kontradiktif secara bersamaan. Justru dengan mengadopsi gaya pikir paradoks
berpotensi memproduksi benih-benih pemikiran yang outstanding seperti
lahirnya Teori Relativitas Albert Einstein. Apakah paradox mindset
Presiden Jokowi itu akan berhasil seperti penerapannya di Narayana Hospital,
SQ, Toyota, Apple, dan Haier? Terlalu dini untuk menilai saat ini karena
proses penanganan pademi masih berlangsung. Namun, paradox mindset memberi ruang terbuka bagi penganutnya untuk
sukses merengkuh apa yang ingin dicapainya. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar