PPKM
Sampai Kapan? Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS, 9
Agustus 2021
Ini adalah pertanyaan
ratusan juta penduduk Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali. Setiap akhir
pekan orang-orang bertanya, apakah PPKM ini akan selesai atau diperpanjang
lagi. Jawabannya tentu saja ada di tangan pemerintah. Tapi kita sebenarnya
bisa menduganya. PPKM Darurat diterapkan
saat penambahan pasien harian melonjak tinggi bulan lalu. Target pemerintah
adalah menekan angka penularan harian hingga di bawah 10.000 kasus per hari.
Berhasilkah? Penambahan pasien harian seminggu terakhir masih di sekitar
35.000. Dibanding pertengahan Juli ada sedikit penurunan. Tapi angkanya masih
sangat tinggi dibanding dengan target yang mau dicapai. Jumlah kasus aktif juga
masih sangat tinggi, sekitar 500.000, 5 kali lipat dibanding awal Juni.
Rumah-rumah sakit masih kewalahan menangani pasien. Ujungnya adalah tingginya
angka kematian. Kasus kematian harian masih di atas 1.500. Situasi itu memberi
gambaran yang jelas terhadap jawaban atas pertanyaan tadi. Situasi kita masih
gawat. Penurunan jumlah pasien harian ke level 35.000 pun sebenarnya sulit
dianggap sebagai kemajuan karena jumlah tes yang dilakukan juga sangat
rendah. Positive rate kita masih sangat tinggi. Kalau jumlah tes
ditingkatkan, pertambahan pasien harian pasti lebih tinggi. Yang sulit
diotak-atik adalah angka kematian. Kita masih berada di posisi tertinggi di
dunia. Ringkasnya, situasi kita
masih sangat buruk. Itu berarti bahwa pembatasan masih perlu dilakukan. Hanya
saja masalah di sisi lain tidak kalah mendesak. Rakyat butuh bekerja untuk
cari makan. Pemerintah juga tidak sanggup untuk terus menyuapi mereka. Dana
yang ada di tangan pemerintah baik pusat maupun daerah sudah sangat tipis.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Pertama, kita seharusnya
mengevaluasi, efektifkah PPKM ini? Angka-angka tadi menjawabnya. PPKM ini
tidak efektif. Kenapa? Karena tindakan yang diambil tidak relevan dengan upaya
pencegahan. Betul bahwa mobilitas orang ditekan dengan berbagai pembatasan.
Tapi itu tidak serta merta menekan penularan. Kenapa? Karena interaksi mikro
antarpenduduk masih tetap berlangsung seperti biasa. Yang saya lihat, PPKM
hanya tampak dalam bentuk penyekatan jalan, yang faktanya hanya memutarkan
arus lalu lintas. Itu tak berpengaruh pada pencegahan infeksi. Pengetesan dan
pelacakan masih jauh dari cukup. Saya ingat ketika anggota
keluarga saya terinfeksi Covid-19 pertengahan Juni lalu, ketika gelombang
besar ini baru akan mulai. Kami berinisiatif melaporkan diri, sembari
melakukan isolasi mandiri. Apakah ada usaha untuk memastikan kepada siapa
kami berpotensi menularkan setelah kami tertular? Tidak. Tidak ada pelacakan
terhadap siapa saja kami sudah berinteraksi. Saya kira itu gambaran
umum situasinya. Kerja penanganan pandemi hanya sebatas pada tahu ada orang
terkena infeksi, mendatanya untuk dilaporkan, meminta orang-orang yang
tertular melakukan isolasi mandiri. Kalau dari dia ada potensi orang lain
tertular, dan dia tidak menjalankan isolasi, tidak ditangani. Dalam konteks
ini sebenarnya tak ada pembatasan. Kalau situasinya seperti
ini, tidak akan ada penurunan. Infeksi masih akan terus marak, sampai
tercapai herd immunity alami, yaitu ketika lebih dari 60% orang sudah pernah
terinfeksi. Atau, herd immunity yang dicapai melalui vaksinasi. Sayangnya,
meski sudah digenjot dengan berbagai cara, vaksinasi masih tetap berjalan
lambat. Pemerintah sedang
menampilkan diri sebagai organisasi yang tak tahu harus melakukan apa. Yang
penting sekadar terlihat bekerja saja. Lalu mereka mencoba menghibur diri
dengan mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi 7%, dan mengatakan bahwa kita
sudah keluar dari resesi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar