Fenomena
Bezos, Branson, Musk dan Keantariksaan Kita Ridha Aditya Nugraha ; Air and Space Law Studies, Universitas
Prasetiya Mulya |
KOMPAS ,12 Agustus 2021
Bulan
Juli 2021 diwarnai dua peristiwa penting umat manusia akan kegiatan
keantariksaan. Keberhasilan Blue Origin New Shepard mencapai ketinggian 107
kilometer (21/7/2021) menegaskan wisata antariksa (space tourism) adalah
nyata, setidaknya bagi miliarder dunia. Jeff
Bezos memilih tiga penumpang lain, semuanya warga sipil, untuk menemaninya
melintasi garis von Karman sebagaimana terletak pada ketinggian sekitar 100
kilometer di atas permukaan Bumi. Garis
imajiner ini diakui dunia sebagai batas antara ruang udara dengan antariksa.
Melintasinya akan melekatkan status prestisius kepada setiap pribadi, yaitu
antariksawan – negara adidaya menggunakan istilah lawas astronaut, kosmonaut,
maupun taikonaut. Seminggu
mendahului Jeff Bezos, Richard Branson bersama lima krunya berhasil mencapai
ketinggian sekitar 96 kilometer untuk merasakan nirgravitasi (zero-gravity).
Keberhasilan Virgin Galactic menggunakan pesawat antariksa Unity menerbangi
zona sub-orbital menandakan babak baru era komersialisasi antariksa. Jika
Blue Origin terbang vertikal, Virgin Galactic lepas landas layaknya pesawat
terbang. Terlepas perbedaan teknis, tujuan keduanya tetap menggapai
antariksa. Nyatanya
euforia wisata antariksa disambut banyak orang. Keberhasilan umat manusia
menembus batas atau the final frontier menjadi penghiburan di kala pandemi
serta meyakinkan antariksa semakin dekat dengan manusia. Secara bersamaan,
tercermin ketimpangan antara miliarder dunia yang bersedia membeli tiket
penerbangan sub-orbital seharga jutaan dollar AS dengan mayoritas penduduk dunia
yang berjuang keras memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Final frontier
berubah wujud mengikuti waktu. Seabad lalu, tidak terpikirkan penemuan
pesawat terbang oleh Wright bersaudara akan menggantikan atau setidaknya
bersaing dengan kapal laut. Kini mobilitas manusia trans-Atlantik maupun
Pasifik bertumpu kepada pesawat terbang. Cerita yang sama sekitar lima abad
sebelumnya ketika Colombus menciptakan konektivitas dengan benua Amerika
sekaligus mengubah nilai peradaban. Kini
futuris disokong kapital memandang Mars sebagai final frontier dengan tujuan
menciptakan peradaban baru. NASA sendiri menggandeng SpaceX untuk menjangkau
Jupiter dengan target 2024. Kembali
lebih dekat ke orbit rendah Bumi (low earth orbit/LEO), Elon Musk berupaya
mengeksplorasinya melalui Starlink. Perusahaan rintisan ini berencana
menyambungkan jaringan internet ke seluruh penjuru dunia melalui LEO. Rencananya
ribuan satelit kecil (small satellites) akan diluncurkan dalam beberapa tahun
mendatang. Tak murah dan butuh waktu hingga arus kas positif. Efisiensi
infrastruktur akan terjadi dan bisnis model ini berpotensi mendisrupsi sektor
telekomunikasi. Tantangan pertama Starlink ialah tidak layu sebelum
berkembang. Keberhasilan
Starlink akan menciptakan kesetaraan akses internet. Suatu modal penting
dalam menyambut ekonomi digital. Umat manusia dapat mengakses tanpa memandang
lokasi maupun SARA. Di balik euforia kemajuan teknologi serta niat mulia ini,
eksplorasi terancam bertransformasi menjadi eksploitasi LEO secara berlebih dengan
monopoli suatu entitas. Tampaknya bukan arah yang baik mengingat pentingnya
internet bagi perekonomian kini dan mendatang. Dunia
perlu memandang lingkungan hidup tidak hanya sebatas permukaan Bumi, tetapi
juga ruang di atasnya. Dewasa
ini LEO menjelma menjadi salah satunya. Aktivitas peluncuran satelit sejak
beberapa dekade lalu telah menjadikan orbit Bumi penuh dengan sampah
antariksa (space debris). Kehadiran sampah antariksa seukuran satu sentimeter
persegi saja berbahaya bagi satelit, bahkan International Space Station (ISS)
sempat bermanuver menghindari jalur sampah antariksa. Sayangnya
The Outer Space Treaty of 1967
selaku payung rezim hukum antariksa dunia tak mengatur perihal mitigasi
sampah antariksa. Ketamakan berbalut teknologi antariksa akan jadi musuh
utama pelestarian LEO, di kemudian hari membebani generasi mendatang
memanfaatkan antariksa sebagai medium perwujudan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs). Masyarakat dunia perlu mengawal euforia komersialisasi
LEO, salah satunya melalui legislasi pro-keberlanjutan (sustainability) dan
perlindungan orbit Bumi. Indonesia dan "Space Race
4.0" Republik
ini tidak bersaing dengan space faring countries pada ranah pertambangan
antariksa (space mining) maupun perlombaan menuju Mars dan Bulan. Sebagai
negara kepulauan, atau the most broken up nation in the world, Presiden
Soekarno menjabarkannya, masa depan Indonesia terletak pada orbit Bumi dan
satelit. Pemanfaatan
maksimal bersama penguasaan teknologi akan mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia, di antaranya: (1) pengentasan kemiskinan dan isu pangan;
(2) penciptaan lapangan pekerjaan; hingga (3) terwujudnya akses pendidikan
merata. Beberapa tujuan SDGs terbukti tercapai dengan peran swasta. Salah
satunya, akses GPS gratis pada gawai memungkinkan GoJek dan Grab beroperasi
tanpa tambahan biaya. Baik karyawan maupun mitra kerja baru terserap,
konsumen memiliki alternatif transportasi, perusahaan pembiayaan dan industri
mobil mendulang untung. Indonesia
memiliki dua modal berharga sehubungan komersialisasi antariksa. Sebagai
negara pertama di ASEAN yang memiliki UU Keantariksaaan, kepastian hukum
hadir melalui UU No 21 Tahun 2013. Bersama Perpres No 45 Tahun 2017 tentang
Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan, saat ini Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) tengah menggodok dua peraturan turunan terkait
komersialisasi antariksa dan pembangunan bandar antariksa. Momentum Blue
Origin, Virgin Galactic, dan Starlink dapat dijadikan cerminan untuk
mengevaluasi kebijakan keantariksaan nasional. Berbicara
dua yang pertama erat kaitannya dengan letak geografis sebagai modal berharga
Indonesia. Adalah berkah Tuhan YME Indonesia dilintasi garis khatulistiwa.
Mayoritas tempat peluncuran roket dunia banyak didirikan mendekatinya. Biaya
peluncuran lebih efisien sehingga rencana bandar antariksa di Biak mampu
bersaing. Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Nasional mengamanatkan
pembangunan bandar antariksa model vertikal dengan tujuan LEO dalam satu
dekade mendatang. Perkembangan
pesat teknologi membuka kemungkinan disrupsi terjadi sehingga linimasa
rencana induk perlu disesuaikan kembali. Salah satu alternatif ialah
mempercepat pembangunan agar tidak ketinggalan kereta sekaligus
mempertimbangkan spesifikasi bandar antariksa yang menyokong wisata
penerbangan sub-orbital, termasuk peluncuran horizontal. Berlanjut
ke Starlink, LAPAN perlu memastikan finalisasi kedua rancangan peraturan
memuat ketentuan yang mendukung keberlangsungan orbit Bumi serta meminimalkan
sampah antariksa. Kehadirannya akan berdampak mengingat tak banyak negara
memiliki bandar antariksa. Hukum
nasional Indonesia, selain konvensi internasional hukum antariksa, akan
mengikat siapapun yang meluncurkan dari Biak. Pada saat bersamaan, disrupsi
Starlink mengingatkan pentingnya percepatan penguasaan teknologi roket bagi
Indonesia. Idealnya, peluncuran dari Biak nanti tidak saja soal lokasi,
tetapi juga berlandaskan teknologi kedirgantaraan nasional. Akhir
kata, perkembangan kegiatan keantariksaan berlangsung dinamis. Aktor beralih
dari negara menuju swasta. Jangan sampai Indonesia kehilangan kesempatan
hanya karena persoalan birokrasi nan pelik. Percayalah momentum tengah hadir
bagi Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar