Memangkas
Musuh Inovasi Tajuk Kompas ; Dewan Redaksi Kompas |
KOMPAS ,12 Agustus 2021
Pesawat
N-250 yang saat itu menerapkan teknologi mutakhir fly by wire kini menjadi salah satu penghuni Museum Dirgantara di
Yogyakarta. Kita punya warisan sejarah, tetapi di sisi lain ada kekecewaan
mendalam. Bukan itu rencana semula. N-250 dan produk lain industri strategis berkandungan
teknologi sebenarnya untuk menjadi penghela perekonomian nasional, dan
menarik Indonesia menjadi negara industri maju. Mengikuti
jejak perkembangan dan pemanfaatan teknologi masa lalu, ada sejumlah hal yang
bisa menjadi bekal pengembangan selanjutnya. Kemampuan menguasai rekayasa
tekno- logi, misalnya dengan N-250. Insinyur dan perekayasa teknologi
Indonesia tak diragukan. Namun, untuk menjadi produk industri yang sukses,
kemampuan rekayasa teknologi baru tahap permulaan. Dibutuhkan
keahlian pemasaran, dan terkait produksi, juga dibutuhkan manajemen yang
mumpuni. Salah satu kritik pada era itu adalah inefisiensi, yang membuat
harga produk jadi kelewat mahal. Kapal Mina Jaya dengan mudah dipinggirkan
oleh kapal impor, meski bekas. Hal
lain adalah kurang solidnya konsensus nasional. Bukan rahasia lagi bahwa pada
saat itu dalam strategi pembangunan ekonomi ada mazhab Widjojonomics dan
Habibienomics yang membuat sumber daya tak bisa difokuskan. Dan, tak kalah
penting, meski teori nilai tambah yang diusung Habibienomics menjanjikan,
dengan harga lebih mahal dan belum sempurnanya produk karena masih
dikembangkan, membuat produk industri hi-tech saat itu mudah dicela. Krisis
keuangan/ekonomi multidimensi pada 1997/1998 menuntaskan kegagalan
Habibienomics. Dana Moneter Internasional (IMF) yang menolong Indonesia
melarang alokasi anggaran untuk proyek seperti N-250. Beruntung, di antara
warisan industri strategis saat itu masih ada yang tetap hidup, meski
terengah-engah. PT PAL Surabaya, misalnya, masih bisa membuat kapal selam. Berikutnya
Indonesia harus membuktikan satunya kata dengan tindakan. Tak usah
muluk-muluk dengan wacana canggih. Industri nasional yang urgen untuk
dikembangkan, antara lain yang terkait substitusi impor. Jika kita bisa
memproduksi beras, gula, garam, dan kedelai, serta buah-buahan tropis dengan
efisien, dan menghilangkan impor komoditas tersebut, ini sudah prestasi.
Sebab, itu menjadi bukti kita bisa memangkas musuh inovasi, yakni mentalitas ”kalau bisa beli, mengapa bikin
sendiri”. Ke
depan, tantangan makin pelik. Teknologi Revolusi Industri 4.0, seperti
kecerdasan buatan dan internet segala, juga otomasi, membutuhkan otak pintar,
tangan terampil, dan jiwa nasionalistis. Soal mendasar ini harus kita beresi.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar