Prosumer
Politik dalam Pilkada 2018
Suko Widodo ; Dosen Komunikasi FISIP
Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 05
Mei 2017
KOMISI
Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tanggal 27 Juni 2018 sebagai hari
pelaksanaan pilkada serentak 2018. Ada 171 daerah yang bakal menggelar
pilkada, terdiri atas 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati, dan 39
pemilihan wali kota.
Pilkada
serentak 2018 merupakan momentum penting menuju Pemilihan Presiden (Pilpres)
RI 2019. Sebab, pilkada 2018 berlangsung di separo dari jumlah provinsi
seluruh Indonesia (34 provinsi). Jika merujuk data pemilih Pilpres 2014 yang
jumlahnya sekitar 188.224.161 pemilih, pemilih dari 17 provinsi (sekitar
140.085.308) akan terlibat dalam pilkada serentak 2018. Itu setara dengan
74,43 persen dari seluruh pemilih di Indonesia.
Setelah
pilgub Jakarta yang menyita pikiran masyarakat Indonesia, kini pikiran
masyarakat bakal dibanjiri lagi oleh informasi politik daerah masing-masing.
Sekalipun tahapannya baru dimulai awal Agustus mendatang, aktivitas politik
kandidat sudah berlangsung masif.
Pertempuran
politik daerah bakal seru, utamanya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Sebab, di tiga provinsi itulah jumlah pemilihnya tergolong besar.
Jumlah pemilih di tiga provinsi itu saja sebanyak 91.067.296 (data Pilpres
2014) atau setara dengan 48 persen dari jumlah pemilih presiden. Maka, parpol
besar akan banyak bermain di tiga wilayah tersebut. Ditunjang dengan
kemudahan perangkat media baru berbasis internet, seperti Facebook, medsos,
Twitter, WhatsApp, dan lain-lain, setiap detik dalam kehidupan masyarakat
Indonesia akan diintervensi beragam pesan politik.
Perhelatan
pilkada serentak 2018 sebagai titik awal menuju Pilpres 2019 mungkin
melahirkan gesekan pada level tertentu. Gesekan itu setidaknya akan tecermin
dari perang informasi politik lewat berbagai media, khususnya media sosial
yang sekarang ini banyak digunakan masyarakat Indonesia.
Politik Jakarta-sentris
Wacana
penting dari pilkada adalah siapa kandidat yang bakal maju. Pada Desember
2017, kandidat perseorangan akan diverifikasi. Sedangkan pendaftaran kandidat
pasangan calon yang diusung partai politik ditetapkan pada Januari 2018.
Saat
ini para kandidat pilkada sudah sibuk menaikkan popularitasnya. Mereka mulai
melakukan kampanye. Dari memasang baliho, melakukan pertemuan publik, hingga
memanfaatkan media massa, media sosial, dan sebagainya. Tim sukses pun telah
dibentuk dan bahkan telah bermunculan hasil survei.
Proses
aktivitas politik, seperti kampanye tersebut, adalah sesuatu yang lazim yang
dilakukan kandidat untuk running dalam pilkada. Celakanya, meski sudah
berpayah-payah melakukan kampanye, mengeluarkan biaya, kandidat kadang tidak
mendapatkan tiket dari partai politik. Karena pada kenyataannya, kuasa
Jakarta-lah (pengurus pusat parpol) yang menentukan kandidat yang ditetapkan.
Politik
di Indonesia memang sangat sentralistis. Dalam pilkada 2018, ketergantungan
politik dari Jakarta terus menguat. Dengan asumsi bahwa pilkada kali ini
sebagai awal running Pilpres 2019, semua proses politik pilkada serentak 2018
akan sangat bergantung relasinya dengan sikap-sikap parpol yang selama ini
dipimpin dua mantan presiden dan seorang calon presiden 2014, yakni Megawati,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Prabowo.
Pilgub
DKI adalah contoh nyata dari relasi politik dengan tiga ketua parpol besar
tersebut. Pertempuran politik Jakarta, dengan kandidat Agus Yudhoyono yang
didukung Demokrat, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok didukung Megawati
Soekarnoputri, dan Anies Baswedan-Sandiana Uno didukung Prabowo Subianto,
sangat mungkin akan berimbas di daerah-daerah. Daerah yang berpotensi menjadi
”pertempuran” besar adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Tiga
pimpinan parpol tersebut pastilah akan banyak mewarnai dalam pilkada 2018.
Sebab, dari hasil pilkada itulah yang akan menjadi faktor penentu kekuatan
politik dalam Pilpres 2019.
Prosumer: Modal Sosial
untuk Menang
Peran
parpol dalam berbagai pilkada di Indonesia sesungguhnya lebih pada posisi
penentu siapa kandidat yang memperoleh ”tiket masuk” sebagai peserta dalam
pertempuran pilkada. Setelah tiket masuk teraih oleh kandidat, pertempuran
senyatanya baru berlangsung. Kandidat harus bersusah payah mencari dukungan
suara dari pemilih.
Perilaku
pemilih di Indonesia memang ”dinamis”, untuk tidak mengatakan mudah
berubah-ubah. Suara pileg sering tidak signifikan dengan suara pilpres dan
pilkada. Pilgub DKI lalu adalah contoh konkret. Besarnya dukungan suara dari
parlemen sama sekali berbeda dengan dukungan dalam pilkada.
Perilaku
yang ”dinamis” tersebut mengajarkan bahwa kehadiran faktor di luar kekuatan
parpol acap kali lebih menentukan sebuah kemenangan dalam pilkada. Faktor itu
adalah modal sosial, yang dalam konteks ini dipahami sebagai norma sosial
(social norm) dan jaringan sosial (social network).
Semestinya,
bagi partai politik, eksistensi faktor modal sosial inti harus sangat
diperhitungkan. Apalagi, dalam masyarakat yang masih belum memiliki
kepercayaan terhadap parpol, maka harus segera membangun jaringan atau relasi
ke dalamnya.
Studi
komunikasi dan jaringan politik yang dilakukan Puskakom Surabaya (2014)
menunjukkan bahwa 62,50 persen pemilih menghendaki relasi langsung dengan
kandidat dalam proses pemilihan. Itu membuktikan bahwa hubungan sosial,
sebagai bagian dari modal sosial, menentukan pilihan publik.
Hal
lain yang perlu menjadi perhatian dalam proses pemenangan politik adalah
peran media komunikasi baru. Revolusi komunikasi tahap keempat saat ini –yang
ditandai dengan maraknya penggunaan internet dll– menjadikan pola komunikasi
bersifat interaktif. Kini, dengan perangkat ponsel dan gadget, seseorang
tidak hanya menjadi konsumer informasi, tetapi bisa bertindak sebagai
produser informasi. Ini yang disebut pola prosumer (produser sekaligus
konsumer) dalam komunikasi terkini, sebagai konsekuensi dari kecanggihan
perangkat komunikasi.
Para
pemilih yang prosumer itulah yang kini menguasai jaringan sosial. Mereka
adalah bagian dari faktor modal sosial baru. Para prosumer tersebut bakal
menjadi faktor penting sebuah kemenangan politik. Mereka adalah generasi
netizen, yang sekaligus pemilih pemula. Jumlah generasi itu sekitar 18,4
persen (2016), tetapi memiliki jaringan kekuatan yang besar dalam konteks
pertukaran arus informasi politik.
Kehadiran
generasi netizen, yang kini berperan sebagai prosumer dalam arus informasi
pilkada, serta kekuatan jaringannya, adalah bagian dari modal sosial yang
baru. Mereka, para netizen tersebut, bisa menjadi ”kawan”, tetapi juga bisa
menjadi ”lawan” bagi kandidat. Mereka bisa menjadi pengganda informasi
positif, tetapi juga bisa menjadi pengganda informasi negatif bagi kandidat.
Bergantung kepekaan dan kemauan kandidat dalam mengelolanya.
Seiring
dengan pergeseran perilaku masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi,
pola komunikasi politik pun ikut berubah. Selamat datang para prosumer
informasi dalam perhelatan politik di Indonesia. Semoga Anda berhasil
mengubah dunia politik Indonesia agar lebih baik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar