Perang
Narasi terhadap Radikalisme
Muhammad Farid ; Fellow pada Lembaga Ketahanan
Nasional Republik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Mei 2017
ANGIN
segar berhembus kepada upaya untuk menangkal radikalisme di Tanah Air. Pada
26 April 2017, pimpinan 55 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) mendeklarasikan
kesepakatan untuk menolak dan menghalau segala macam bentuk paham intoleran,
radikalisme, dan terorisme. Deklarasi itu dikeluarkan pada saat pembukaan
Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) VIII di Universitas Islam
Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Lebih lanjut, pada kesempatan yang sama,
Rektor UIN Ar-Raniry Farid Wajdi menyampaikan bahwa pihak PTKIN 'bertanggung
jawab menghilangkan radikalisme lewat proses pembelajaran di kampus' (Media
Indonesia, 3 Mei 2017). Ada beberapa poin dari deklarasi itu, yakni pertama
bertekad bulat menjadikan Pancasila, UUD Republik Indonesia 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, dan NKRI sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Kedua
menanamkan jiwa dan sikap kepahlawanan, cinta Tanah Air, bela negara kepada
setiap mahasiswa dan anak bangsa, guna menjaga keutuhan dan kelestarian NKRI.
Ketiga,
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil
‘alamin, Islam inklusif, moderat, menghargai kemajemukan dan realitas budaya
dan bangsa. Keempat, melarang berbagai bentuk kegiatan yang bertentangan
dengan Pancasila dan anti-NKRI, intoleran, radikal dalam keberagamaan, serta
terorisme di seluruh PTKIN. Serta, kelima melaksanakan nilai-nilai Pancasila
dan UUD Republik Indonesia 1945 dalam seluruh penyelenggaraan Tri Dharma
Perguruan Tinggi dengan penuh dedikasi dan cinta Tanah Air sehingga dapat
memperkuat ketahanan ideologi. Deklarasi para pimpinan PTKIN seolah
menyegarkan kembali kesadaran untuk menyusun strategi pencegahan penyebaran
paham intoleransi dan radikalisme melalui pendidikan, selain melalui
pendekatan keamanan (security). Apalagi, beberapa waktu belakangan ini
terdapat kegelisahan akan semakin tergerusnya nilai-nilai keagamaan yang
hakiki maupun berkembangnya paham radikalisme yang berujung pada ancaman
terhadap dasar negara Pancasila mapun keutuhan NKRI. Untuk itu, berbagai
kalangan, terutama negara, seyogianya menanggapi deklarasi para pimpinan
PTKIN itu untuk kemudian dirumuskan dan diimplementasikan ke dalam suatu
tindakan nyata.
Keterbatasan penggunaan kekuatan fisik
Menarik
untuk ditinjau, dalam bukunya yang berjudul Modern Geopolitics and Security:
Strategies for Unwinnable Conflicts, Amos N Guiora, seorang profesor hukum
pada SJ Quinney College of Law, University of Utah mengatakan bahwa perang
yang ada saat ini telah bergeser dari perang antarnegara-bangsa kepada perang
antara negara-bangsa dengan aktor-aktor nonnegara. Amos menggarisbawahi bahwa
umat manusia saat ini menghadapi kenyataan bahwa sejumlah individu yang berkeinginan
dan mampu melakukan aksi telah memiliki kekuatan dan potensi untuk
menyebarkan pengaruh. Inilah yang terjadi dalam berbagai konflik yang terjadi
di Suriah, Irak, Afghanistan, maupun gelombang Arab Spring yang melanda
negara-negara Arab. Kemampuan ini makin menjadi seiring dengan meningkatnya
ketegangan ekonomi global, berkembangnya konflik asimetris, serta
perkembangan sosial media, dan percepatan arus penyebaran informasi. dalam
menghadapi situasi ini, Amos mengatakan bahwa penggunaan kekuatan (force)
semata tidak akan mampu menyelesaikan konflik.
Pendapat
Amos itu tidak keluar hanya karena latar belakang pribadinya sebagai seorang
akademisi. Lebih dari itu, Amos merupakan pensiunan dari Israel Defence Force
dengan pangkat letnan kolonel yang terlibat langsung dalam implementasi
proses Perjanjian Oslo (Oslo Peace Process) antara Israel dan Palestina
selama 1994-1999. Pengalaman dan latar belakang itu tentu sangat melandasi
gagasan Amos dalam menyelesaikan konflik antara negara-bangsa dengan aktor-aktor
nonnegara. Pada tataran tertentu, gagasan itu dapat diterjemahkan bahwa
penggunaan kekuatan atau pendekatan keamanan untuk menangkal radikalisme dan
paham intoleransi harus ditunjang oleh pendekatan-pendekatan lain.
Kekuatan narasi keagamaan
Apa
yang diutarakan Amos setidaknya sejalan dengan pernyataan yang disampaikan
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen),
Kemendikbud Hamid Muhammad bahwa radikalisme di lembaga pendidikan dapat
masuk melalui tiga pintu, yakni buku bacaan, guru, dan media sosial (Media
Indonesia, 3 Mei 2017).
Menilik
gagasan Amos dan pernyataaan Dirjen Dikdasmen Hamid Muhammad, dapat dikatakan
bahwa secara garis besar upaya untuk meredam ide-ide radikalisme dan
intoleransi sesungguhnya merupakan sebuah ‘perang narasi’; dan dalam sebuah
‘perang narasi’ kemampuan mengartikulasikan kata-kata, baik secara lisan
maupun tulisan memainkan perang yang sangat penting.
Dengan
demikian, strategi yang perlu diperhatikan untuk meredam paham-paham radikal
dan intoleransi di dunia pendidikan dapat ditempuh melalui diseminasi narasi
atau gagasan melalui pintu-pintu buku bacaan, guru, dan media sosial. Di
titik inilah, pada tataran praksis, PTKIN yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia berada di garda terdepan bagi pembentukan maupun diseminasi narasi.
Dalam konteks inilah, upaya yang dilakukan PTKIN merupakan bagian dari bangsa
ini membentuk karakter keagamaan dan persatuan bangsa demi memperkuat
ketahanan ideologi yang pada akhirnya in line terhadap tangguhnya ketahanan nasional.
PTKIN,
yang terdiri dari UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam
Negeri), dan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) merupakan lembaga
pendidikan dengan disiplin ilmu agama dan digawangi para akademisi dengan
rekam jejak pendidikan dan ilmu agama yang jelas. Apalagi, sebagian mahasiswa
PTKIN mempunyai latar belakang pendidikan pesantren-pesantren tradisional
yang memiliki kultur pendidikan agama secara kontekstual sangat kental.
Secara lebih strategis, PTKIN sendiri berada di bawah Kementerian Agama,
sehingga kehadiran lembaga-lembaga itu dapat diinterpretasikan sebagai wujud
kehadiran negara dalam penyampaian narasi agama.
Dalam
hal ini, sudah selayaknya jika akademisi dan alumni PTKIN dilibatkan lebih
aktif dalam menyusun buku-buku pelajaran agama untuk tingkat sekolah maupun
tingkat universitas. Selanjutnya, pemerintah melalui Kemendikbud atau
dinas-dinas pendidikan di daerah perlu memperkuat pengawasan terhadap
buku-buku yang beredar di sekolah-sekolah. Selain itu, seleksi calon guru
atau pendidik perlu diperketat, karena para gurulah yang menyampaikan narasi
atau pesan-pesan keagamaan kepada para siswa. Karena tidak hanya di ruang
kelas, guru-guru agama mempunyai posisi vital dalam pembentukan dan
penyampaian narasi keagamaan kepada para siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler
keagamaan di sekolah. Pada konteks ini, alumni IAIN maupun STAIN dengan latar
belakang pendidikan agama yang inklusif, apalagi ditambah komitmen kuat dari
PTKIN seluruh Indonesia diharapkan mampu mengisi kursi pendidik-pendidik atau
guru-guru agama.
Bila
dicermati, lembaga pendidikan, baik sekolah maupun universitas merupakan area
penting dalam diseminasi narasi keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Sebab,
di sekolah dan universitaslah seorang siswa dan mahasiswa menghabiskan banyak
waktunya untuk berinteraksi dengan berbagai nilai-nilai. Bisa ditebak, bahwa
tanpa perhatian serius, para siswa secara diam-diam akan mengenal paham yang
justru bertolak belakang dari esensi ajaran agama itu sendiri. Oleh karena
itu, keberadaan IAIN sebagai lembaga pendidikan dengan kekhasan dan fokus
pada bidang keagamaan perlu diperkuat agar mampu melahirkan lulusan yang
berkualitas. Terutama dalam hal menyampaikan misi-misi keagamaan (Islam) pada
berbagai konteks kehidupan. Pada gilirannya, para akademisi itu tidak hanya
akan mampu menyampaikan narasi keagamaan yang rahmatan lil’alamin melalui
buku-buku pelajaran maupun di ruang kelas, tetapi juga mampu menyampaikan
gagasan-gagasannya melalui media-media sosial. Inilah bagian kecil dari upaya
bangsa ini untuk memperkuat ketahanan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar