KPK
dan Ujian Transparansi
M Nasir Djamil ; Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 04
Mei 2017
SEJAK
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk, perlawanan terhadap korupsi mengalami
penguatan. Tidak saja menjadi agenda kekuatan kelembagaan, namun juga
menjelma menjadi kekuatan civil society. Kemana arah KPK bergerak, di situ
pula dukungan publik mengikuti. Namun, di tengah penguatan selalu saja
dibarengi upaya pelemahan.
Upaya
pelemahan tidak saja dilakukan dari satu sisi semata. Banyak upaya pelemahan
KPK yang kerap dipandang publik seakan-akan ada pihak yang merasa resah
dengan kehadiran lembaga antirasuah ini. Pelemahan itu bisa hadir melalui
upaya revisi UU pemberantasan korupsi yang mengatur ruang gerak KPK,
pernyataan politik yang mendegradasi KPK, sampai pada tingkat teror kepada
orang-orang di dalam KPK itu sendiri. Terakhir, teror yang menimpa penyidik
senior KPK Novel Baswedan menambah deretan panjang ancaman pada institusi
pemberantasan korupsi ini.
Puncaknya,
kembali bergulirnya hak angket DPR atas kinerja lembaga antirasuah tersebut.
Banyak pihak yakin hak angket ini adalah bagian upaya ‘melemahkan’ KPK. Hak
angket ini lahir dari hasil komunikasi DPR dalam hal ini Komisi III bersama
KPK terkait kasus e-KTP. Seandainya KPK bersikap ‘fleksibel’ saat rapat kerja
dengan Komisi III DPR (18/04) tentu hak angket tidak akan menguat. Kini, KPK
pun menghadapi tantangan baru dalam penegakan hukum penanganan korupsi di
tengah munculnya putusan Mahkamah konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, dan
sejumlah ‘teror’ terhadap penyidik dan lembaganya.
Adanya
dua putusan Mahkamah Konstitusi yang berbeda dalam menguji norma yang sama
tentu menjadi dilema tersendiri bagi KPK. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31/1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) merupakan
salah satu norma yang menjadi objek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
(judicial review) di Mahkamah
Konstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 dan perkara Nomor
25/PUU-XIV/2016.
Dilema
KPK muncul ketika frasa ‘dapat’ yang dirumuskan dalam pasal tersebut oleh MK
melalui putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 dianggap bertentangan dengan UUD
1945. Padahal di tahun 2006, MK menguji frasa ‘dapat’ dalam norma Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor tidak dianggap sebagai norma yang bertentangan dengan UUD
1945 (inkonstitusional).
Kepatuhan
hukum KPK diuji. Bagaimanapun KPK memahami putusan MK merupakan putusan yang
bersifat final. Hal ini berarti putusan MK adalah putusan yang langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum
yang dapat ditempuh. Ironisnya, MK justru menganulir putusannya sendiri
dengan memberikan putusan berbeda.
Berbeda
dengan Mahkamah Agung (MA), MK memiliki keistimewaan tersendiri. Dalam
wewenangnya, setiap perkara yang diputus MK bersifat final, sedangkan MA,
dalam setiap perkara yang diputusnya masih ada peluang untuk melakukan upaya
hukum, yakni upaya hukum dalam bentuk peninjauan kembali (PK). Putusan MK
yang bersifat final itu termasuk juga dalam memutus perkara judicial review
(JR).
Namun
demikian, ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8/2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tidak
bersifat absolut. Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, namun MK juga
dimungkinkan untuk melakukan pengujian norma yang telah diputuskannya, hal
ini merujuk ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU tersebut.
Hukum Universal
Alat
uji yang paling ampuh terhadap dilema ini adalah dengan mengembalikannya pada
asas hukum universal yang berlaku. Dalam asas hukum universal dikenal istilan
“ Lex Post Teriori derogate legi priori” yang artinya ketentuan peraturan
(UU) yang baru mengenyampingkan/menghapus berlakunya ketentuan undang-undang
yang lama yang mengatur materi hukum yang sama.
Adanya
perbedaan paradigma politik hukum di MK dalam memutuskan putusan MK Nomor
25/PUU-XIV/2016 patut dipahami. Perbedaan ini terlihat saat MK berpendapat
bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan
(potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata
(actual loss). Dari berbagai pertimbangan itulah kemudian MK tidak lagi
menyatakan konstitusional terhadap frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor.
Dengan
demikian, KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pemberantas
korupsi haruslah mengacu pada putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Karena jika
mengacu pada asas Lex Post Teriori derogate legi priori tersebut, maka putusan MK Nomor
25/PUU-XIV/2016 merupakan putusan terakhir terhadap tafsiran norma Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor. Hal ini berarti, dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK
perlu melakukan pembuktian terlebih dahulu ada atau tidaknya kerugian
keuangan yang dialami oleh negara akibat perbuatan yang dilakukan terduga
korupsi.
Penindakan Lambat
Konsekuensi
hukum ini tentu berdampak pada semakin lambatnya penanganan tindak pidana
korupsi. Tak hanya itu, konsekuensi ini semakin diperparah dengan munculnya
sejumlah teror dan intervensi yang akan membuat KPK semakin terseok-seok.
Bergulirnya hak angket DPR pun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebagai bagian
dari jaminan konstitusional anggota DPR, pengajuan hak angket perlu
dihormati. Sebagaimana diketahui, pengajuan jaminan konstitusional hak angket
DPR termuat dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Sesuai
dengan Pasal 79 ayat 3, bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain hak angket, DPR
memiliki hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat.
Namun,
menggulirkan hak angket di tengah hiruk pikuk yang dihadapi KPK belakangan
ini merupakan langkah yang kurang tepat. Diperlukan waktu dan upaya
pembenahan di tubuh internal KPK untuk menyesuaikan sejumlah perubahan yang
menyentuh sistem hukum penanganan korupsi. Belum lagi upaya teror yang
menimpa penyidik KPK Novel Baswedan. Mau tidak mau, KPK harus mulai
merapatkan barisan, memperbaiki sistem internalnya untuk mencegah hal itu
terulang kembali terhadap penyidik KPK lainnya.
Sejumlah
tantangan itu seharusnya tidak menjadi halangan bagi KPK. Penghitungan kerugian
negara yang mengacu pada hasil penghitungan dari lembaga yang kredibel dan
menjawab tantangan hak angket DPR harus dianggap sebagai bentuk penguatan
terhadap profesionalisme KPK. Tak hanya dapat meningkatkan profesionalisme
KPK, namun segala upaya itu justru dapat meninggikan derajat dan kewibawaan
KPK. KPK tak mudah goyah di intervensi siapapun dan publik tak lagi
menganggap berbagai manuver ini sebagai upaya untuk menyulitkan KPK dalam
memberantas korupsi. Bagaimanapun melawan korupsi yang sudah luar biasa ini
harus juga dilawan dengan tindakan yang luar biasa.
Marilah
kita renungkan bersama diktum kekuasaan yang pernah diucapkan John Emerich
Edward Dahlberg First Baron Acton 1887 di Inggris, yakni “power tend to
corrupt but absolute power corrupts absolutely”. Inti ucapan dari tokoh yang
dikenal dengan nama singkat Lord Acton ini ialah, manusia yang mempunyai
kekuasaan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaan itu absolut,
pasti akan menyalahgunakannya.
Karena
itu, agar penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi, diberlakukan suatu
mekanisme untuk mengatur kekuasaan. Caranya membuat peraturan
perundang-undangan agar kekuasaan tidak disalhgunakan dan hak-hak warga
negara tidak dilanggar. Di sinilah KPK diuji akuntabilitas dan transparansinya
terkait dengan hak angket yang akan digulirkan oleh politisi kritis di
Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar