Industri
Hulu Migas dan Perubahan Zaman
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen
di FTKE Universitas Trisakti;
Ketua Ikatan Ahli Teknik
Perminyakan Indonesia (IATMI)
|
KOMPAS, 12 Mei 2017
Setiap tahun,
biasanya pada bulan Mei, para pelaku industri hulu migas rutin menggelar
acara yang dikemas di dalam forum yang disebutnya sebagai konvensi dan
ekshibisi.
Salah satu
agendanya, biasanya para pemangku kepentingan—khususnya para pelaku dan unsur
pemerintah—membicarakan persoalan yang ada dan bagaimana mengatasinya. Tahun
ini juga demikian. Acara yang dinamakan the 41stIndonesian Petroleum
Association Convention and Exhibition (IPA Convex) 2017 akan digelar pada
17-19 Mei, yang mengangkat tema kurang lebih bagaimana mempercepat
upaya-upaya reformasi yang dilakukan untuk menarik kembali investasi guna
memenuhi target pertumbuhan ekonomi.
Maksud dan
tujuan penyelenggaraan forum semacam itu tentu baik. Namun, agar tak terkesan
jadi seremoni rutin setiap tahun, ada baiknya para pelaku industri hulu migas
di Indonesia menyempatkan diri untuk lebih mencermati tanda-tanda perubahan
zaman. Demikian juga pemerintah agar lebih mengingat kembali apa sejatinya
maksud, tujuan, dan posisinya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan kegiatan usaha hulu migas.
Lain dulu, lain sekarang
Kondisi dan
keadaan sekarang telah berbeda jauh dibanding saat awal industri hulu migas
nasional mulai intensif digarap di awal 1970-an. Saat itu, dengan segala
dinamika gejolak harga minyak yang ada, hingga 1984/1985 porsi penerimaan
negara dari hulu migas berkisar 50-60 persen terhadap total penerimaan
negara. Sangat mudah dimengerti jika industri hulu migas pada saat itu
seperti dianakemaskan. Sekarang, porsi penerimaan hulu migas hanya di kisaran
3-5 persen dari total penerimaan negara di APBN. Meskipun tidak berarti
benar, dapat dimengerti jika kemudian pemerintah saat ini tidak terlalu
memberikan perhatian pada sektor hulu migas.
Periode
sebelum 1997/1998 diwarnai lingkungan politik dan sistem pemerintahan yang
cenderung otoritarian dan sentralistik. Alhasil, ketika ada satu perintah
atau garis kebijakan nasional untuk mengamankan pelaksanaan proyek-proyek
hulu migas, semua elemen penyelenggara pemerintahan—baik di pusat maupun
daerah—akan mengikuti dan menyukseskannya.
Pasca-reformasi
1997/1998 dan implementasi otonomi daerah tahun 1999, kekuasaan tidak lagi
terpusat hanya pada satu poros. Terjadi distribusi kewenangan dan kekuasaan,
baik di tingkat pusat maupun di daerah. Legislatif tidak lagi hanya berfungsi
sebagai pemberi stempel bagi kebijakan dan program eksekutif, tetapi sudah
lebih riil menjalankan kewenangan dalam pemberian persetujuan program dan
anggaran. Otonomi daerah membuat daerah memiliki kewenangan sendiri di
berbagai aspek sehingga tidak sepenuhnya lagi dapat diatur oleh pusat.
Tuntutan
daerah untuk mengelola, berpartisipasi, dan mendapatkan hasil lebih dari
migas juga semakin besar. Dengan perubahan seperti itu, proses pengambilan
keputusan menjadi lebih memakan waktu dan pelaksanaan program kegiatan tak
semudah dan sesederhana dulu.
Pada periode
yang sama, di hulu migas sendiri terjadi perubahan yang signifikan. UU yang
mengaturnya, UU No 8/1971 tentang Pertamina, digantikan UU No 22/2001 tentang
Migas. UU Pertamina menerapkan prinsip lex specialis dalam perpajakan hulu
migas, sedangkan UU Migas membuka diri dalam hal perpajakan untuk mengikuti
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Model
pelaksanaan bisnis hulu migas tidak lagi dijalankan dengan mekanisme business
to business (B to B) antara Pertamina dan kontraktornya, tetapi berganti
menjadi government to business (G to B) antara BP Migas (sekarang SKK Migas)
dan kontraktor. Sistem yang digunakan utamanya tetap kontrak bisnis, yaitu
production sharing contract (PSC), tetapi yang menjalankan bukan entitas
bisnis.
Budaya di
korporasi tentu tak sama dengan di birokrasi. Jika korporasi dapat lebih
fleksibel dan mengedepankan negosiasi, di birokrasi lebih birokratis karena
mengedepankan prosedur. Jika korporasi lebih mengedepankan bagaimana negara
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui kesepakatan investasi,
birokrasi cenderung lebih mengarah pada bagaimana negara tidak dirugikan dan
tidak ada peraturan yang dilanggar. Kegiatan usaha hulu migas, yang merupakan
hal bisnis, cenderung diperlakukan menjadi hal bukan bisnis, tetapi
administratif.
Implikasi dari
semua itu, sebagaimana berulang kali dikeluhkan para pelaku hulu migas di
dalam forumnya, iklim investasi hulu migas menjadi (sangat) tak kondusif.
Jika sebelumnya diperlukan waktu rata-rata kurang dari tujuh tahun, kini
perlu waktu hingga 15 tahun dari sejak lapangan migas ditemukan hingga
lapangan tersebut berproduksi.
Sangat tidak
efisien. Akibatnya, investasi untuk menemukan dan mengembangkan lapangan
migas baru menurun. Produksi dan cadangan migas terus menurun, ekspor menurun
dan impor membesar. Jika sebelumnya Indonesia adalah eksportir LNG terbesar
dunia dan anggota OPEC yang disegani, kini menjadi nett oil importer dan
sebentar lagi akan juga mengimpor gas.
Semua mesti berubah
Jadi, zaman
memang sudah berubah. Iklim investasi untuk hulu migas memang tak akan pernah
sama lagi ramahnya dengan dulu karena kondisi politik-sosial-ekonomi yang
melingkupinya memang sudah jauh berbeda. Meskipun tak sepenuhnya dapat
disalahkan, daripada terus-menerus meminta berbagai perlakuan khusus untuk
”mengembalikan” kondisi seperti sediakala yang diharapkan, akan lebih baik
kiranya industri hulu migas untuk memasukkan semua perubahan itu sebagai
country risks yang baru untuk berbisnis hulu migas di Indonesia.
Apalagi, di
pemerintahan saat ini, dengan visi energi berkeadilan, jangan harap perlakuan
khusus itu akan diberikan. Hanya jika industri hulu migas mampu membuktikan
tanpa keistimewaan itu mereka bisa melahirkan terobosan seperti revolusi
shale oil dan shale gas di AS, sehingga bisa meningkatkan produksi dan
cadangan migas nasional secara signifikan, perhatian, dan perlakuan khusus
itu akan datang.
Meskipun
demikian, tak berarti pemerintah juga tak perlu berbenah. Proses bisnis di industri
hulu migas harus kembali diperlakukan dengan pendekatan bisnis sebagaimana
mestinya, bukan pendekatan birokratis dan administratif. Bisnis dan investasi
adalah persoalan win-win, bukan government win. Jika keduanya tidak berubah,
forum apa pun namanya hanya akan sekadar menjadi seremoni belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar