Anies,
Islam, dan Keragaman
M Bambang Pranowo ; Guru
Besar di UIN Ciputat;
Rektor Universitas Mathlaul
Anwar, Banten
|
KORAN
SINDO, 09
Mei 2017
MESKI kemenangan pasangan calon Anies-Sandi atas Ahok-Djarot
dalam Pilkada DKI Jakarta sudah lebih dari sepekan, para netizen di internet
tak henti mempersoalkan dampak kemenangan itu. Menurut sebagian netizen,
kemenangan Anies-Sandi akan menjadikan Jakarta hijau royo-royo. Jakarta juga berpotensi menerapkan hukum
syariah Islam untuk memenuhi kelompok Islam militan yang selama ini
bahu-membahu mendukung pasangan calon Anies-Sandi.
Kaum Ahokers istilah yang disematkan untuk para pendukung
pasangan calon Ahok-Djarot menuding kemenangan Anies disebabkan kampanye
berbasis SARA yang seharusnya dihindari. Mereka menuduh kampanye berbasis
SARA telah dipraktikkan para pendukung Anies-Sandi untuk memenangkan pilkada.
Ribuan karangan bunga ucapan kesedihan dan belasungkawa atas
kekalahan Ahok-Djarot berderet memenuhi balai kota, dan sekarang dilanjutkan
oleh ribuan balon. Karangan bunga itu konon masih terus berdatangan dari para
Ahokers yang tetap mendukung Ahok (meski dalam pilkada) karena menurut
mereka, pilkada itu tidak fair.
Bagi kaum Ahokers, kekalahan pasangan calon Ahok-Djarot ini
kekalahan kaum moderat, pluralis, dan pejuang keragaman (kebinekaan) di
Indonesia. Pilkada DKI, bagi mereka, adalah cermin dari pilpres sehingga
kekalahan Ahok-Djarot sama dengan kekalahan para pejuang NKRI yang
menghendaki keberagaman, kemoderatan, dan kemodernan.
Di pihak lain, kemenangan Anies-Sandi oleh kaum Ahokers dianggap
sebagai kemenangan para pengusung negara Islam, kelompok simpatisan (Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS), kelompok radikal Front Pembela Islam, Forum
Umat Islam, dan kaum penyeru khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dus,
kemenangan Anies dianggap sebagai awal dari bencana perpecahan NKRI.
Mengerikan sekali!
Bagi sebagian netizen pro-Ahok, kemenangan Anies merupakan
keberhasilan penggalangan kampanye penyalahgunaan agama untuk politik. Demo
besar-besaran yang menghendaki Ahok dipenjara dengan tuduhan penistaan
Alquran sebetulnya tidak lebih dari sebuah trik politik belaka.
Karena itu, kemenangan Anies-Sandi akan menjadi preseden buruk
pada masa depan. Calon-calon eksekutif dan legislatif pada masa datang
niscaya akan menggunakan trik-trik pemanfaatan ayat suci untuk kampanye.
Bila perlu, mendorong terjadi kerusuhan SARA demi kemenangan
jagoan-jagoan politiknya dalam pilkada. Majalah Tempo misalnya dalam
ulasannya mengenai kemenangan Anies-Sandi menyimpulkan bahwa kekalahan Ahok
adalah tragedi hancurnya demokrasi yang jujur dan berkeadaban.
Benarkah Tuduhan Itu?
Banyak para netizen yang "tertipu" dengan
pemutarbalikan fakta-fakta yang disuguhkan kaum Ahokers di atas. Seakan-akan
dalam kampanye Pilkada DKI baru lalu ada pengutuban secara diametral antara
Ahokers dan Aniesers di masyarakat berdasarkan sentimen ras, suku, agama, dan
ideologi.
Kelompok Ahokers seakan-akan mewakili aliansi pejuang demokrasi,
HAM, kesetaraan gender, dan antisyariah. Sedangkan kelompok Anieser mewakili
kelompok ekstrem, anarkis, dan Islamis kanan. Dengan kemenangan Anies-Sandi,
itu berarti kelompok Islam yang anarkistis dan ekstremis akan menguasai
panggung kekuasaan di Jakarta, yang dampaknya akan mendominasi perpolitikan
nasional.
Pandangan tersebut jelas sangat simplistis. Menganggap warga DKI
dangkal intelektual, buta politik nasional, dan kontra-Pancasila.
Dr Denny JA, konsultan kampanye pilkada, dalam artikelnya yang
berjudul "Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebinekaan Kita Terancam"
menyatakan bahwa tuduhan pihak-pihak tertentu yang menyatakan kekalahan
Ahok-Djarot sebagai tragedi nasional (karena hilangnya keberagaman,
kesetaraan, dan menguatnya anarki) adalah isapan jempol belaka.
Menurut Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang
didirikannya telah melakukan 11 survei
tentang dinamika politik Pilkada Jakarta sejak Maret 2016 sampai April
2017. Hasilnya, kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta bukan karena
hilangnya semangat keberagaman pada warga Jakarta seperti yang dituduhkan
para Ahokers, melainkan karena pengaruh melting pot , kumpulan aneka
kepentingan. Mereka punya tujuan sama: Ahok harus kalah!
Mereka yang punya tujuan sama "Ahok harus kalah"
terdiri atas berbagai kelompok kepentingan. Mulai dari warga yang tersakiti
akibat penggusuran rumah tanpa musyawarah, lalu pegawai negeri sipil (PNS)
DKI yang dipecat Ahok dengan semena-mena, kemudian para pengusaha yang
dipalak Ahok berlebihan, dan ibu-ibu rumah tangga yang melihat kemarahan brutal
Ahok terhadap bawahannya sehingga merusak pendidikan akhlak anak-anaknya.
Mereka inilah yang terdiri atas berbagai komponen suku bangsa,
agama, etnis, ilmuwan, dan kelompok ekonomi bekerja sama mengalahkan Ahok. Seorang pengusaha yang
beretnis China dan nonmuslim, sebut saja namanya Exway, bahkan rela
menggunakan "properti" miliknya untuk memenangkan Anies dengan niat
menjaga keragaman.
Menurut dia, justru Ahoklah yang merusak keragaman. Apa arti
semua itu? Sosok Ahok dalam Pilkada DKI ternyata tidak merupakan representasi
dari keragaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia.
Menurut data LSI, para pemilih Ahok juga bukan orang-orang yang
anti-NKRI dan Pancasila. Berdasarkan survei LSI, para pemilih Anies pun
komposisinya tak jauh berbeda dengan komposisi masyarakat Jakarta yang 70%
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan menolak Indonesia jadi negara
Islam.
Itulah sebabnya, menurut Denny JA, para pemilih Anies sebetulnya
terdiri atas pihak-pihak yang sebetulnya satu sama lain bertentangan visinya.
Di sana ada Muhammadiyah dan NU yang tetap menginginkan Pancasila sebagai
dasar negara, tapi ada juga kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front
Pembela Islam (FPI) yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam
(khilafah).
Data-data besutan LSI Denny tersebut sulit dibantah karena ia
melakukan riset yang menggunakan kaidah ilmiah (statistik). Dan, saya sebagai
orang yang bergelut dengan riset Islam Jawa (disertasi saya di Monash
University, Australia berjudul Islamic
Tradition in Rural Java) merasakan betapa perilaku Anies dan Sandi dalam
kampanye maupun blusukan-nya menyenangkan orang Jawa dengan keramahan dan
keunggah-ungguhannya.
Dalam kampanye terakhir putaran kedua misalnya Anies sempat
menunjukkan "sikap kejawaannya" yang ramah terhadap Ahok meski yang
terakhir ini suka melecehkan argumentasi Anies. Ihwal kecil inilah tampaknya
yang membuat orang Jawa di Jakarta lebih memilih Anies ketimbang Ahok.
Padahal, jumlah orang Jawa di Jakarta mencapai 38% populasi.
Cukup signifikan untuk memengaruhi kemenangan dalam kontestasi Pilkada
Jakarta.
Setelah mengetahui (berdasarkan data) bahwa moderasi keislaman,
keragaman, dan Pancasila tetap kokoh sebelum dan sesudah Pilkada DKI, kita
warga Jakarta tidak perlu cemas berlebihan terhadap penyebaran isu-isu
provokatif yang muncul setelah kekalahan Ahok. Mungkin ada sedikit friksi
antarkelompok pendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta sewaktu kampanye
lagi seru-serunya.
Tapi, friksi-friksi tersebut hendaknya sudah selesai setelah
pilkada usai. Bahkan mestinya sudah selesai di minggu tenang.
Dengan demikian, sebagai bangsa yang bineka dan plural, kita
harus bersama-sama menjaga kesatuan dan persatuan NKRI yang kita cintai ini. Last but not least, setelah Pilkada
DKI usai dan kita sudah melihat hasilnya, yang harus kita lakukan adalah
menjahit kembali "kain-kain persatuan" yang sempat koyak. Dan, itu
kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang ingin hidup aman dan
damai di Bumi Ibu Pertiwi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar