Kamis, 09 Januari 2014

Warga, Dunia Maya, dan Fenomena

                          Warga, Dunia Maya, dan Fenomena

Asrul Mustaqim  ;   Doktor FISIP UI, Pengajar di IISIP Jakarta
MEDIA INDONESIA,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


SEORANG gubernur kena perkara korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berduyun warga memberikan dukungan. Ini fenomena baru dukungan warga terhadap pelaku kriminal. Seolah tanpa rasa, dukungan itu pun diberikan saja pada pelaku korupsi. Untunglah, KPK tidak peduli pada perpolitikan. Sang gubernur pun tetap ditahan demi pemeriksaan yang lancar, bukan demi alasan lain. Pengadilan nantinya yang akan membuktikan kebenaran tindakan hukum yang diambil KPK.

Banyak peristiwa menunjukkan bukti betapa warga tak sekadar memberikan dukungan politik dan moral, tapi ‘menyerang’ para penyerang. Bahkan penegakan hukum seorang gubernur dalam bentuk pembebasan lahan negara yang ditempati warga dengan mengusir dan sekaligus menyediakan tempat mukim baru di tempat lebih baik, mendapatkan kritik. Sang gubernur bergeming. Ia terus mengusir rakyat yang tidak berhak demi kemampuan lebih waduk dalam menampung air. Memang bukan kepentingan waduk, tapi kepentingan rakyat yang mesti terdampak genangan banjir karena keterbatasan daya tampung waduk.

Tuai Dukungan

Logika normal akan membenarkan tindakan sang gubernur demi menanggulangi banjir di kotanya. Hanya logika berbasis kepentingan (politisasi), yang bisa membelokkan cara berpikir itu. Warga di dunia maya, yang masih normal, terus memberikan dukungan kepada pimpinan provinsi itu. Warga dunia maya yang segelintir, berhadapan dengan warga dunia nyata yang juga segelintir, demi penegakan hukum dan kepentingan warga yang lebih luas lagi.

Media sosial--seperti blog, Twitter, Facebook--tidak semata digunakan untuk mempererat tali silaturahim. Media yang kabarnya digunakan 30 juta warga di Indonesia itu, juga digunakan sebagai ajang membahas berbagai persoalan. 

Kebanyakan warga di dunia nyata yakin bahwa kehidupan di dunia maya, melalui jaringan internet itu, adalah juga kehidupan nyata. Pro dan kontra sebagai sikap kepada kebijakan tertentu dapat saja disajikan di dunia nyata; langsung maupun via media. Sikap itu juga bisa disajikan lewat media sosial dengan sama sahihnya. 

Prinsip keyakinan seperti ini ada benarnya bila ditilik dari prinsip dasar komunikasi bahwa setiap pesan itu mesti diproduksi komunikator. Bahwa forum yang mempertemukan para komunikator itu berada di media sosial, hanyalah persoalan locus.

Segala cetusan emosi atau pemikiran tentang diri pribadi, orang lain, ataupun alam--bahkan dengan Tuhan--bisa diungkapkan dengan beragam cara. Demikian pula pembahasan bersama sejumlah orang bisa terkait masalah apa pun. Bisa juga kritik yang ditujukan sebagai opini atau sikap kepada lembaga privat atau publik yang telah terjalin hubungan sebelumnya. Bahkan kritik dan dukungan disampaikan kepada perorangan juga terbaca di media sosial itu.

De Zuniga, Jung, dan Valenzuela (2012) menyebutkan memang ada perdebatan tentang perkembangan social network cites (laman jejaring sosial), yaitu apakah justru makin mempererat dan membuat masyarakat terlibat dengan kegiatan publik atau malah menjadikan mereka lebih renggang dan kurang berpartisipasi politik dan peduli kepada masalah kewarganegaraan. Adalah masuk akal jika ada kekhawatiran bahwa keterlibatan dalam media sosial itu makin mengurangi hubungan langsung antartetangga, bahkan juga kepedulian pada urusan publik umumnya. Yang juga perlu disayangkan adalah reaksi--terutama pada kritik-terhadap apa yang telah dilontarkan warga dunia maya kepada sejumlah pihak tidak sebatas tanggapan atau penjelasan, tapi masuk ke ranah hukum. Peristiwa terbaru adalah tentang ‘undangan’ dari tim hukum Pak SBY (katanya bukan sebagai Presiden), terhadap seorang penulis di Kompasiana. Menjadi sulit memisahkan peran sebagai kepala negara dan pribadi kepala keluarga, ketika itu berada di tubuh yang sama.

Ruang diskusi

Ketentuan perundangan (UU ITE, 2008) memang telah mengatur tentang isi (informasi atau dokumen elektronik) yang berkenaan dengan perbuatan asusila, penghinaan dan pencemaran nama baik. Dalam hal perbuatan asusila mungkin orang tidak merasa perlu berdebat lagi, tapi mengenai tentang penghinaan dan pencemaran nama baik masih menjadi perdebatan. Apakah menyebut seorang pelaku korupsi (tegasnya koruptor) adalah penghinaan, padahal proses hukumnya sedang berjalan di KPK yang tidak kenal pemetiesan perkara?

Apakah juga karena penyebutan itu, si subjek pantas merasa terhina?
Sebuah opini yang didasarkan pada analisis terhadap berbagai peristiwa yang dinilai memiliki tautan satu sama lain, sama sekali tak bisa disampaikan secara terbuka kepada publik melalui media sosial? Di mana fungsi pembahasan (diskusi) yang memberikan kemungkinan bagi ditemukannya kebenaran yang difasilitasi media sosial, sebagai implementasi dari demokrasi? Ini semua berawal dari siapa yang menentukan kebenaran, apakah seseorang atau apakah sekelompok orang yang punya kekuasaan boleh dengan seenaknya menentukan kebenaran itu.

Di satu pihak kita meyakini akan pilihan bernegara secara demokratis, tapi tidak lagi diperkenankan untuk melakukan diskusi secara terbuka melalui media sosial. Model pengaturan ini sama ditemukan pada sistem pers otoriter, seperti yang dikemukakan Siebert, Peterson dan Schramm di masa lalu. Atau memang kecenderungan penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaannya dalam berbagai forum, termasuk forum diskusi di media sosial. Agaknya kita semua mulai mesti belajar secara sungguh-sungguh tentang esensi demokrasi dan pertukaran pendapat secara bebas. Mereka yang masih kolot dan tidak mau belajar, bersiaplah untuk `dicemooh' bahkan di-bully oleh warga di dunia maya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar