Warga,
Dunia Maya, dan Fenomena
Asrul Mustaqim ;
Doktor FISIP UI, Pengajar di IISIP Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Januari 2014
SEORANG gubernur kena perkara
korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berduyun warga memberikan
dukungan. Ini fenomena baru dukungan warga terhadap pelaku kriminal. Seolah
tanpa rasa, dukungan itu pun diberikan saja pada pelaku korupsi. Untunglah,
KPK tidak peduli pada perpolitikan. Sang gubernur pun tetap ditahan demi
pemeriksaan yang lancar, bukan demi alasan lain. Pengadilan nantinya yang
akan membuktikan kebenaran tindakan hukum yang diambil KPK.
Banyak peristiwa menunjukkan bukti
betapa warga tak sekadar memberikan dukungan politik dan moral, tapi
‘menyerang’ para penyerang. Bahkan penegakan hukum seorang gubernur dalam
bentuk pembebasan lahan negara yang ditempati warga dengan mengusir dan
sekaligus menyediakan tempat mukim baru di tempat lebih baik, mendapatkan
kritik. Sang gubernur bergeming. Ia terus mengusir rakyat yang tidak berhak
demi kemampuan lebih waduk dalam menampung air. Memang bukan kepentingan
waduk, tapi kepentingan rakyat yang mesti terdampak genangan banjir karena
keterbatasan daya tampung waduk.
Tuai
Dukungan
Logika normal akan membenarkan
tindakan sang gubernur demi menanggulangi banjir di kotanya. Hanya logika
berbasis kepentingan (politisasi), yang bisa membelokkan cara berpikir itu.
Warga di dunia maya, yang masih normal, terus memberikan dukungan kepada
pimpinan provinsi itu. Warga dunia maya yang segelintir, berhadapan dengan
warga dunia nyata yang juga segelintir, demi penegakan hukum dan kepentingan
warga yang lebih luas lagi.
Media sosial--seperti blog,
Twitter, Facebook--tidak semata digunakan untuk mempererat tali silaturahim. Media
yang kabarnya digunakan 30 juta warga di Indonesia itu, juga digunakan
sebagai ajang membahas berbagai persoalan.
Kebanyakan warga di dunia nyata
yakin bahwa kehidupan di dunia maya, melalui jaringan internet itu, adalah
juga kehidupan nyata. Pro dan kontra sebagai sikap kepada kebijakan tertentu
dapat saja disajikan di dunia nyata; langsung maupun via media. Sikap itu
juga bisa disajikan lewat media sosial dengan sama sahihnya.
Prinsip
keyakinan seperti ini ada benarnya bila ditilik dari prinsip dasar komunikasi
bahwa setiap pesan itu mesti diproduksi komunikator. Bahwa forum yang
mempertemukan para komunikator itu berada di media sosial, hanyalah persoalan
locus.
Segala cetusan emosi atau
pemikiran tentang diri pribadi, orang lain, ataupun alam--bahkan dengan
Tuhan--bisa diungkapkan dengan beragam cara. Demikian pula pembahasan bersama
sejumlah orang bisa terkait masalah apa pun. Bisa juga kritik yang ditujukan
sebagai opini atau sikap kepada lembaga privat atau publik yang telah terjalin
hubungan sebelumnya. Bahkan kritik dan dukungan disampaikan kepada perorangan
juga terbaca di media sosial itu.
De Zuniga, Jung, dan Valenzuela
(2012) menyebutkan memang ada perdebatan tentang perkembangan social network
cites (laman jejaring sosial), yaitu apakah justru makin mempererat dan
membuat masyarakat terlibat dengan kegiatan publik atau malah menjadikan
mereka lebih renggang dan kurang berpartisipasi politik dan peduli kepada
masalah kewarganegaraan. Adalah masuk akal jika ada kekhawatiran bahwa keterlibatan
dalam media sosial itu makin mengurangi hubungan langsung antartetangga,
bahkan juga kepedulian pada urusan publik umumnya. Yang juga perlu
disayangkan adalah reaksi--terutama pada kritik-terhadap apa yang telah
dilontarkan warga dunia maya kepada sejumlah pihak tidak sebatas tanggapan
atau penjelasan, tapi masuk ke ranah hukum. Peristiwa terbaru adalah tentang
‘undangan’ dari tim hukum Pak SBY (katanya bukan sebagai Presiden), terhadap
seorang penulis di Kompasiana. Menjadi sulit memisahkan peran sebagai kepala
negara dan pribadi kepala keluarga, ketika itu berada di tubuh yang sama.
Ruang diskusi
Ketentuan perundangan (UU ITE, 2008) memang
telah mengatur tentang isi (informasi atau dokumen elektronik) yang berkenaan
dengan perbuatan asusila, penghinaan
dan pencemaran nama baik. Dalam hal perbuatan asusila mungkin orang tidak
merasa perlu berdebat lagi, tapi mengenai tentang penghinaan dan pencemaran
nama baik masih menjadi perdebatan. Apakah menyebut seorang pelaku korupsi
(tegasnya koruptor) adalah penghinaan, padahal proses hukumnya sedang
berjalan di KPK yang tidak kenal pemetiesan perkara?
Apakah juga karena penyebutan itu, si subjek pantas merasa terhina?
Sebuah
opini yang didasarkan pada analisis terhadap berbagai peristiwa yang dinilai
memiliki tautan satu sama lain, sama sekali tak bisa disampaikan secara
terbuka kepada publik melalui media sosial? Di mana fungsi pembahasan
(diskusi) yang memberikan kemungkinan bagi ditemukannya kebenaran yang
difasilitasi media sosial, sebagai implementasi dari demokrasi? Ini semua
berawal dari siapa yang menentukan kebenaran, apakah seseorang atau apakah
sekelompok orang yang punya kekuasaan boleh dengan seenaknya menentukan
kebenaran itu.
Di satu pihak kita meyakini akan
pilihan bernegara secara demokratis, tapi tidak lagi diperkenankan untuk
melakukan diskusi secara terbuka melalui media sosial. Model pengaturan ini
sama ditemukan pada sistem pers otoriter, seperti yang dikemukakan Siebert,
Peterson dan Schramm di masa lalu. Atau memang kecenderungan penguasa untuk
mengimplementasikan kekuasaannya dalam berbagai forum, termasuk forum diskusi
di media sosial. Agaknya kita semua mulai mesti belajar secara
sungguh-sungguh tentang esensi demokrasi dan pertukaran pendapat secara
bebas. Mereka yang masih kolot dan tidak mau belajar, bersiaplah untuk
`dicemooh' bahkan di-bully oleh
warga di dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar