Kamis, 09 Januari 2014

Politisasi Negara Kesejahteraan

                                Politisasi Negara Kesejahteraan

W Riawan Tjandra  ;   Lektor Kepala Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


NEGARA kesejahteraan (welfare state), yang pertama kali dicetuskan di Jerman oleh Otto Von Bismarck di awal abad XX, pada awalnya dinisbatkan sebagai negara yang mengurus seluruh kebutuhan dasar rakyatnya. Oleh karena pemikiran itulah, negara kesejahteraan juga disebut sebagai negara pengurus (verzorgingstaat). Negara bertanggung jawab atas nasib setiap warganya sejak dari ia lahir sampai ke liang lahad (from the cradle to the grave).

Pasal 33 UUD 1945 menjadi wadah konstitusional atas konsep negara kesejahteraan tersebut yang memberikan mandat kepada negara cq pemerintah untuk bertanggung jawab sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Kebutuhan-kebutuhan dasar warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara sangat beragam, mulai sandang, pangan dan papan, hingga listrik maupun gas.

Kebijakan PT Pertamina (persero) yang di awal tahun sempat menaikkan harga elpiji 12 kilogram (kg) sebesar 68% dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp3.959 per kg merupakan reaksi dari temuan BPK ihwal terjadinya kerugian triliunan rupiah di Pertamina. Namun, hanya selang beberapa saat penaikan segera diralat dengan diturunkan lagi dengan kenaikan harga Rp1.000 per kg, terkesan telah menjadikan gagasan negara kesejahteraan hanya menjadi arena pemanasan politik di awal tahun politik.

Semula, temuan BPK memperlihatkan kerugian triliunan rupiah yang konon dialami PT Pertamina, salah satunya, disebabkan penjualan elpiji 12 kg. Kebijakan plin-plan itu tak urung tetap membebani rumah tangga individu di tengah kegagalan negara dalam mempertahankan kesahihan implementasi Pasal 33 UUD 1945 untuk menjamin kesejahteraan umum (bonum commune).

Dampak kenaikan harga-harga barang di pasar tak bisa seketika dihilangkan. Kini yang terlihat justru pemerintah telah menjadikan kesejahteraan publik sebagai isu dan alat politik dagang sapi. Hal itu yang harus dibayar dari eksternalitas aksi korporasi minus empati oleh sebuah BUMN yang menurut UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN juga mengemban visi menyejahterakan kehidupan bangsa ini.

Kebijakan Pertamina yang mendasarkan pada Permen ESDM No 26 Tahun 2009 itu sempat menjadi sebuah aksi korporasi yang pada aras strategisideologis justru mendekonstruksi makna Pasal 33 UUD 1945 yang kian menjerat leher rakyat kecil. Politik dagang sapi harga elpiji itu seakan-akan menjadi pemanasan untuk mencuri start kampanye dan ajang menaikkan citra politik partai berkuasa.

Politik negara

Jika diletakkan di atas signifikansi eksistensi konsep negara kesejahteraan, kebijakan yang paradoks dengan konsep negara g kesejahteraan yang dikonstitusikan s dalam UUD 1945 tak perlu terjadi. Itu bisa dilakukan jika ada pemahaman mengenai kedudukan barang-barang publik (common pool goods) seperti elpiji dan listrik yang langsung berdampak terhadap hajat hidup orang banyak dalam sebuah negara yang konstitusinya mendeklarasikan dirinya sebagai suatu welfare state.

Pemberian subsidi terhadap benda-benda publik tersebut memiliki signifikansi teoretis dalam skema negara kesejahteraan (welfare state). Di sisi lain, upaya mengefektifkan pemberantasan korupsi dan penyitaan aset-aset kaum kleptokrat/pemiskinan koruptor secara teoretis bisa digunakan sebagai sumber untuk meningkatkan subsidi terhadap harga barang-barang publik (common pool goods).

Perilaku politik negara yang sering melakukan upaya pencitraan melalui berbagai jargon, slogan, dan pidato para elite politik yang ingin meningkatkan kese jahteraan rakyat di era politik citra saat ini hanya menjadi permainan bahasa (language game) dan kekerasan simbolis.

Tingkat korupsi yang masih tinggi dan mencapai angka tak kurang dari 30% dari setiap APBN ditambah bias kebijakan yang lebih sering melakukan pembelahan dalam stratifikasi sosial masyarakat antara kelompok yang kaya (the have) dan kelompok miskin (the have not) telah menyebabkan terjadinya disorientasi kebijakan pemerintah. Pemerintah lebih tertarik menalangi bank gagal seperti dalam bailout Bank Century daripada berpihak kepada rakyat kecil yang sudah terbiasa dijadikan tumbal politik maupun ekonomi.

Subsidi dalam negara kesejahteraan seharusnya merupakan instrumen finansial pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan tertentu, seperti mengurangi jumlah kemiskinan dan memberikan prioritas pembangunan sektor tertentu. Kapasitas subsidi yang mampu dikelola pemerintah dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah penerimaan negara, luasnya kebutuhan sektor yang memerlukan subsidi, dukungan politik parlemen, ketepatan skema alokasi subsidi, dan tingkat kebocoran anggaran.

Pemerintah perlu melakukan kajian serius mengenai kerangka teori dan skema operasional yang tepat dalam sistem alokasi subsidi karena subsidi merupakan instrumen pokok dalam sebuah negara kesejahteraan untuk melaksanakan mandat konstitusionalnya dalam mengurus warga negaranya.

Politik subsidi yang dilaksanakan pemerintah selama ini belum sepenuhnya mampu mendukung berbagai slogan keberpihakan kepada kelompok miskin. Welfare state Indonesia kini sedang mengalami disorientasi sejak dari hulu hingga hilir berbagai kebijakan yang ingin diderivasi darinya. Politisasi negara kesejahteraan yang sempat muncul karena tarik ulur harga elpiji justru menimbulkan sebuah pertanyaan; mau ke mana negara kesejahteraan Indonesia di tengah kontestasi elite di tahun politik?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar