Politisasi
Negara Kesejahteraan
W Riawan Tjandra ;
Lektor Kepala Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Januari 2014
NEGARA kesejahteraan (welfare state), yang pertama kali
dicetuskan di Jerman oleh Otto Von Bismarck di awal abad XX, pada awalnya
dinisbatkan sebagai negara yang mengurus seluruh kebutuhan dasar rakyatnya.
Oleh karena pemikiran itulah, negara kesejahteraan juga disebut sebagai
negara pengurus (verzorgingstaat).
Negara bertanggung jawab atas nasib setiap warganya sejak dari ia lahir
sampai ke liang lahad (from the cradle
to the grave).
Pasal 33 UUD 1945
menjadi wadah konstitusional atas konsep negara kesejahteraan tersebut yang
memberikan mandat kepada negara cq pemerintah untuk bertanggung jawab
sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Kebutuhan-kebutuhan
dasar warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara sangat
beragam, mulai sandang, pangan dan papan, hingga listrik maupun gas.
Kebijakan PT Pertamina
(persero) yang di awal tahun sempat menaikkan harga elpiji 12 kilogram (kg)
sebesar 68% dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp3.959 per
kg merupakan reaksi dari temuan BPK ihwal terjadinya kerugian triliunan
rupiah di Pertamina. Namun, hanya selang beberapa saat penaikan segera
diralat dengan diturunkan lagi dengan kenaikan harga Rp1.000 per kg, terkesan
telah menjadikan gagasan negara kesejahteraan hanya menjadi arena pemanasan
politik di awal tahun politik.
Semula, temuan BPK
memperlihatkan kerugian triliunan rupiah yang konon dialami PT Pertamina,
salah satunya, disebabkan penjualan elpiji 12 kg. Kebijakan plin-plan itu tak urung tetap
membebani rumah tangga individu di tengah kegagalan negara dalam
mempertahankan kesahihan implementasi Pasal 33 UUD 1945 untuk menjamin
kesejahteraan umum (bonum commune).
Dampak kenaikan harga-harga
barang di pasar tak bisa seketika dihilangkan. Kini yang terlihat justru
pemerintah telah menjadikan kesejahteraan publik sebagai isu dan alat politik
dagang sapi. Hal itu yang harus dibayar dari eksternalitas aksi korporasi
minus empati oleh sebuah BUMN yang menurut UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN
juga mengemban visi menyejahterakan kehidupan bangsa ini.
Kebijakan Pertamina
yang mendasarkan pada Permen ESDM No 26 Tahun 2009 itu sempat menjadi sebuah
aksi korporasi yang pada aras strategisideologis justru mendekonstruksi makna
Pasal 33 UUD 1945 yang kian menjerat leher rakyat kecil. Politik dagang sapi
harga elpiji itu seakan-akan menjadi pemanasan untuk mencuri start kampanye
dan ajang menaikkan citra politik partai berkuasa.
Politik negara
Jika diletakkan di
atas signifikansi eksistensi konsep negara kesejahteraan, kebijakan yang
paradoks dengan konsep negara g kesejahteraan yang dikonstitusikan s dalam
UUD 1945 tak perlu terjadi. Itu bisa dilakukan jika ada pemahaman mengenai
kedudukan barang-barang publik (common
pool goods) seperti elpiji dan listrik yang langsung berdampak terhadap
hajat hidup orang banyak dalam sebuah negara yang konstitusinya
mendeklarasikan dirinya sebagai suatu welfare
state.
Pemberian subsidi
terhadap benda-benda publik tersebut memiliki signifikansi teoretis dalam
skema negara kesejahteraan (welfare
state). Di sisi lain, upaya mengefektifkan pemberantasan korupsi dan
penyitaan aset-aset kaum kleptokrat/pemiskinan koruptor secara teoretis bisa
digunakan sebagai sumber untuk meningkatkan subsidi terhadap harga
barang-barang publik (common pool goods).
Perilaku politik
negara yang sering melakukan upaya pencitraan melalui berbagai jargon,
slogan, dan pidato para elite politik yang ingin meningkatkan kese jahteraan
rakyat di era politik citra saat ini hanya menjadi permainan bahasa (language game) dan kekerasan simbolis.
Tingkat korupsi yang
masih tinggi dan mencapai angka tak kurang dari 30% dari setiap APBN ditambah
bias kebijakan yang lebih sering melakukan pembelahan dalam stratifikasi
sosial masyarakat antara kelompok yang kaya (the have) dan kelompok miskin (the have not) telah menyebabkan terjadinya disorientasi kebijakan
pemerintah. Pemerintah lebih tertarik menalangi bank gagal seperti dalam
bailout Bank Century daripada berpihak kepada rakyat kecil yang sudah
terbiasa dijadikan tumbal politik maupun ekonomi.
Subsidi dalam negara
kesejahteraan seharusnya merupakan instrumen finansial pemerintah untuk
mencapai tujuan pemerintahan tertentu, seperti mengurangi jumlah kemiskinan
dan memberikan prioritas pembangunan sektor tertentu. Kapasitas subsidi yang
mampu dikelola pemerintah dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah
penerimaan negara, luasnya kebutuhan sektor yang memerlukan subsidi, dukungan
politik parlemen, ketepatan skema alokasi subsidi, dan tingkat kebocoran
anggaran.
Pemerintah perlu
melakukan kajian serius mengenai kerangka teori dan skema operasional yang
tepat dalam sistem alokasi subsidi karena subsidi merupakan instrumen pokok
dalam sebuah negara kesejahteraan untuk melaksanakan mandat konstitusionalnya
dalam mengurus warga negaranya.
Politik subsidi yang
dilaksanakan pemerintah selama ini belum sepenuhnya mampu mendukung berbagai
slogan keberpihakan kepada kelompok miskin. Welfare state Indonesia kini
sedang mengalami disorientasi sejak dari hulu hingga hilir berbagai kebijakan
yang ingin diderivasi darinya. Politisasi negara kesejahteraan yang sempat
muncul karena tarik ulur harga elpiji justru menimbulkan sebuah pertanyaan;
mau ke mana negara kesejahteraan Indonesia di tengah kontestasi elite di
tahun politik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar