Tan Malaka : Acap Difitnah, Kini Dipuja
Rosdiansyah ;
Associate Researcher JPIP;
Alumnus ISS Belanda
|
JAWA
POS, 29 Januari 2014
MEMBACA kisah Tan Malaka
pada masa sekarang tentu menerbitkan harapan untuk menilai sosok itu secara
objektif. Sepanjang hidupnya, Tan penuh keprihatinan, apalagi saat dia harus
menghindari kejaran aparat Belanda, Jepang, bahkan serdadu Indonesia. Akhir
hidupnya yang tragis di Kediri (JP, 28/1) telah melengkapi keprihatinan
tersebut.
Padahal, jasa Tan Malaka tidaklah kecil. Dia adalah pengarang buku Naar de Republiek Indonesia yang terbit pada 1924. Dalam sejarah Indonesia kontemporer, buku Tan itu setahun mendahului berdirinya Perhimpoenan Indonesia (1925). Selain itu, buku Tan tersebut secara tegas menyatakan bentuk negara Indonesia kelak adalah republik, bukan kerajaan. Buku itulah yang menjadi bacaan wajib bagi kaum republiken dan revolusioner muda di Indonesia kala itu. Dalam sebuah diskusi dengan Harry Poeze, sejarawan Tan Malaka, pada 2008 penulis sempat menanyakan ihwal akhir tragis kehidupan pencetus Republiek Indonesia tersebut. Posisi Tan sesungguhnya sangat istimewa di kalangan kaum pergerakan. Selain karena sosoknya sudah diperhitungkan dalam rapat-rapat Komunis Internasional (Komintern), Tan punya visi lugas tentang pergerakan. Dia tidak mau berkompromi. Menurut Harry, Tan Malaka tidak saja kemudian dimusuhi Belanda, melainkan juga menjadi incaran serdadu Indonesia. Tan memang bergaul dengan kalangan pejuang kemerdekaan. Namun, beberapa elite serdadu gerah kepada Tan. Itu disebabkan, antara lain, kebiasaan Tan mengkritik tajam ulah barisan serdadu Indonesia yang lari menghindar ke gunung, meninggalkan rakyat yang sengsara menghadapi pasukan Belanda. Itulah sosok Tan Malaka yang tidak pernah surut mengkritik siapa saja. Meski, dia harus membayar dengan nyawanya, dieksekusi serdadu Indonesia pimpinan Soekotjo di Kediri. Catatan Harry mengenai Tan kemudian dihimpun dalam tiga volume besar buku bertajuk Verguisd en Vergeten (Difitnah dan Dilupakan, 2007). Buku tersebut merupakan penghargaan terhadap sosok bapak revolusi Indonesia itu. Harus diakui, figur Tan kemudian mampu melampaui zamannya. Buku-buku yang ditulisnya laris di pasaran dan banyak dicari para aktivis muda. Bahkan, kadar seorang aktivis era Soeharto sering diukur dari seberapa banyak memahami isi buku karya Tan, terutama buku Madilog (Materialisme Dialektika Logika). Itu menjadi buku wajib aktivis, meski untuk memahaminya sering sulit minta ampun. Bagi sebagian orang, posisi Tan dalam konstelasi founding fathers sering membingungkan. Ada yang menyatakan Tan sebagai sosok pemberontak karena antikompromi kepada penguasa. Namun, ada pula yang menempatkannya sebagai figur penting dalam hiruk-pikuk kemerdekaan kita. Jika merujuk pada karya-karya yang ditulisnya, sekaligus kiprah selama hidupnya, Tan merupakan sosok yang layak disebut ''pahlawan''. Pemberian gelar itu kepada Tan memang bisa menimbulkan kontroversi, bahkan dapat memantik reaksi penolakan. Hanya, pemberian itu bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan kita terhadap sosok tersebut. Menghormati sosok sejarah yang telah jelas memberikan banyak pelajaran bagi generasi kini dan mendatang tentu merupakan perbuatan yang mulia. Apalagi jika sosok terkait telah menunjukkan rasa cinta luar biasa kepada republik ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar