Kamis, 30 Januari 2014

Bertumbuhnya Ideologi Kebencian

                Bertumbuhnya Ideologi Kebencian               

Todung Mulya Lubis  ;   Ketua Yayasan Yap Thiam Hien
KOMPAS,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEJAK kanak-kanak, saya selalu bangga dengan persatuan Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan kita sebagai bangsa.

Saya menghafal penjelasan guru sekolah yang mengatakan bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, suku, etnisitas, agama, dan latar belakang budaya serta ideologi. Semua itu diikat oleh semangat ”satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”.

Tak pernah saya merasa asing. Saya adalah bagian dari bangsa besar bernama Indonesia, yang kalau keluar berpaspor Indonesia, dan kalau mengibarkan Merah Putih bangga dan berkaca-kaca. Melihat pemain bulu tangkis memperoleh medali emas, saya juga terharu dan bangga. Hasil jerih payah bangsa ini berhasil merajut kebersamaan yang mengharukan.

Satu hari saya berjalan bersama advokat Yap Thiam Hien di tengah kota Banda Aceh, yang dulu bernama Kutaraja. Yap menunjukkan gereja tempat keluarganya beribadah. Di Ambon saya bertemu keluarga yang sebagian beragama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen. Mereka makan dan bernyanyi bersama. Di Semarang saya bertemu keluarga sederhana yang berbeda suku dan agama, China, Jawa, Kristen, dan Islam. Di Jakarta saya ketemu orang Batak hidup rukun dan bahagia dengan orang Banjar. Semuanya tak mempersoalkan perbedaan. Semuanya melihat diri mereka sebagai manusia  yang punya otonomi personal, punya kebebasan, dan melaksanakan kebebasan mereka dengan tanggung jawab dalam sebuah keluarga, komunitas, dan bangsa.

Saya tak mengatakan tak ada konflik, pertentangan, atau ketegangan. Di sana-sini ada konflik dan ketegangan. Sesekali ada tawuran antarkampung karena anak gadis di kampung yang satu digoda oleh pemuda kampung sebelah. Atau karena kalah pertandingan sepak bola. Ada juga ketegangan karena khotbah yang emosional. Atau ada keluarga yang mengadakan pesta dengan musik terlalu keras.

Semua itu adalah ketegangan yang sehat dan masih bisa dikelola. Saya sama sekali tak terganggu. Malah saya menganggap semua konflik dan ketegangan itu merupakan bagian dari nation and character building yang dewasa. Kita sedang melangkah menjadi bangsa yang besar.

Kemajemukan digugat 

Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini—sejalan menguatnya demokrasi dan hak asasi manusia—ruang kebebasan semakin terbuka. Media sosial juga memberi tempat bagi kebebasan menyatakan pendapat. Berbagai aliran pendapat menyeruak ke permukaan. Sebagian malah secara diametral bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia, bertentangan dengan kemajemukan kita sebagai bangsa, bertentangan dengan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Kemajemukan digugat, kesatuan bangsa digugat, dan keutuhan teritorial ikut terganggu. Importasi pikiran dari luar masuk tanpa filter, dan seluruh perjuangan pendiri negara ini seperti dipersalahkan. Demokrasi ditafsirkan sebagai mayoritas absolut; minoritas harus tunduk kepada mayoritas. Perlindungan terhadap minoritas itu tak dihormati. Tafsir terhadap agama juga makin dipaksakan dengan kekerasan di mana perbedaan tafsir sama sekali diharamkan. Kebebasan beragama yang dianut oleh UUD 1945 tak dihormati. Suara untuk menghidupkan Piagam Jakarta terdengar meski tak gemuruh, tetapi suara itu muncul dalam berbagai sikap intoleransi terhadap kelompok minoritas dan kelompok seagama yang tak setafsir.

Dalam bahasa hukum, telah muncul kembali permusuhan dan kebencian (sosial) di muka umum melalui tulisan atau orasi yang sering sekali sangat kasar. Media sosial kita penuh kebencian dan permusuhan. Demonstrasi dan poster di berbagai pojok jalan sering menghasut dan mengafirkan kelompok lain. Gerakan sektarian memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk yang disertai tindak kekerasan. 

Telah muncul apa yang disebut sebagai hate speech  yang dulu diatur dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP yang kita kenal sebagai pasal-pasal penyebar kebencian (hatzaai artikelen).  Tetapi, pasal-pasal yang dulu digunakan pemerintah kolonial untuk mematikan perlawanan pribumi terhadap kolonialisme, juga oleh pemerintahan Orde Baru untuk menindas perlawanan kelompok-kelompok kritis seperti mahasiswa dan buruh, sekarang sudah dianggap tak bisa diperlakukan lagi: dinyatakan bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan UUD 1945.

Sekarang pernyataan kebencian dan permusuhan hanya bisa dikejar atas dasar pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah (Pasal 310, 311 KUHP), dan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 11/2008). Hanya saja, pasal-pasal tersebut di atas sangat terbatas daya jangkaunya, dan dalam banyak hal tak mampu menjangkau pernyataan kebencian dan permusuhan. Sekarang, mungkin ada yang berpikir ulang untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang mengatur mengenai hate speech tersebut, yang dulu ditolak karena penyalahgunaan tafsir oleh penguasa pada waktu itu. Kita semua tak mau pasal-pasal hate speech dipakai sebagai instrumen mematikan perbedaan pendapat, kritik, atau oposisi. Tetapi, pada sisi lain kita harus akui: pernyataan kebencian dan permusuhan di muka umum dengan niat jahat, sistematis, dan disertai kekerasan haruslah juga bisa dihukum. Tak boleh ada impunitas.

Fenomena hate speech bisa muncul dalam berbagai bentuk: tulisan, orasi, poster, demonstrasi, dan khotbah. Bisa juga dalam berbagai pengumuman yang menolak kemajemukan seperti yang tecermin dalam tulisan Achmad Munjid, ”Pengajaran Agama Interreligius” (Kompas, 4 Januari 2014).

Fenomena ini digambarkan sebagai kelumpuhan nalar kita dalam merawat kemajemukan (pluralisme). Dari sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kita akan melihat secara telanjang bahwa kebencian dan permusuhan itu telah semakin deras dan keras. Pilar-pilar pluralisme yang dibangun oleh pendiri negara ini semakin rapuh dimakan rayap-rayap intoleransi, kebencian, dan permusuhan.

Negara lakukan pembiaran

Sungguh saya khawatir menatap masa depan. Merebaknya hate speech, absennya akuntabilitas, dan diamnya negara, kalau keadaan ini tak dilawan, maka jangan heran jika hate speech ini akan bermetamorfosis menjadi ideologi kebencian (ideology of hatred). Jika ideologi kebencian ini melembaga, nasib kemajemukan, nasib dari nation yang bernama Indonesia akan berada di ujung tanduk.

Dalam bahasa Niza Yanay dalam bukunya, The Ideology of Hatred, ideologi kebencian ini bisa ditafsirkan sebagai signifier of danger dalam konteks relasi kekuasaan. Kebencian tak lagi semata-mata anti-Islam, anti-Kristen, anti-China, atau anti-Jawa. Ideologi kebencian ini akan jadi instrumen kekuasaan, langsung dan tak langsung, baik oleh negara maupun non-negara dalam pembenaran terhadap intoleransi, sektarianisme, dan diskriminasi.

Dalam konteks kekinian Indonesia, ideologi kebencian ini diperankan oleh kelompok atau organisasi yang tak memberi ruang bagi pluralisme dalam arti luas. Negara jadi pihak yang bertanggung jawab karena melakukan pembiaran. Sekarang Indonesia belum cerai-berai, tapi sekat-sekat pemisah mulai ditegakkan. Kita hidup dalam sebuah negara, tapi kita hidup terpisah-pisah, kita sama tetapi tidak samaseparate but equal. Di dinding rumah kita tulisan Bhinneka Tunggal Ika seperti bergetar, menunggu jatuh ke lantai.

Indonesia belum bubar. Tetapi, jangan meremehkan menyebarnya ideologi kebencian yang akan menghilangkan Indonesia dari peta dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar