Tahun Baru Imlek dan Pasar Gedhe
Heri Priyatmoko ;
Sejarawan Kota Solo
|
TEMPO.CO,
28 Januari 2014
Kota Solo kembali mencuri perhatian publik lantaran acara
menyambut tahun baru Imlek. Ditemukan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa
dalam acara Gerebeg Sudiro. Barongsai dan gunungan dibikin melalui gotong
royong lintas etnik itu bukan tontonan belaka. Hal ini melainkan lambang dari
pembauran warga Tionghoa dan Jawa yang penting untuk dikabarkan secara
nasional demi merawat Ibu Pertiwi dari ancaman konflik rasial.
Pergelaran apik yang bertempat di kompleks Pasar Gedhe itu mengandung pesan mulia bahwa fondasi harmoni sosial harus diperkuat agar kita tidak mudah termakan oleh isu disintegrasi dan wacana sengketa pribumi-nonpribumi. Masyarakat Solo beberapa tahun terakhir memang getol dan bahu-membahu mendekonstruksi cap menyakitkan, yaitu Solo "kota konflik" dan "bersumbu pendek". Stigma yang merugikan itu terlalu kuat dan lama ditempelkan karena merujuk pada fakta pahit bahwa Kota Solo di masa silam menjadi saksi bisu kerusuhan rasial (1743, 1911, 1965, 1980, dan 1998), yang membawa dampak ke level nasional. Peristiwa tersebut, hingga kini, membawa trauma berat bagi kota serta penghuninya. Pasar Gedhe, apabila dimaknai sebagai ruang sosial, merupakan "rumah asri" yang mewadahi dan memotret kohesi sosial antara komunitas Tionghoa dan Jawa dari waktu ke waktu. Pasar tradisional hasil garapan arsitek berkepala plontos, Thomas Karsten, itu bukan sebatas tempat transaksi ekonomi, sebab berfungsi pula sebagai katup pencegah konflik antara kelompok pribumi dalam wacana in group melawan kelompok Cina, yang ditempatkan sebagai out group. Pasar Gedhe dalam tata ruang kota Jawa merupakan salah satu syarat terciptanya keseimbangan antara kepentingan duniawi dan akhirat. Raja Jawa membutuhkan Pasar Gedhe sebagai simbol matahari terbit, tanda dimulainya kehidupan manusia. Tidak mengherankan jika letak pasar berada di sebelah timur keraton. Dalam konteks kekinian, Pasar Gedhe bak laboratorium yang menyediakan bahan penting bagi ilmuwan sosial dalam mengkaji bagaimana proses pembauran masyarakat lintas kelas dan etnik. Hal ini ditujukan untuk menyembuhkan luka akibat kerusuhan yang pecah berulang kali, sekaligus membentengi kota dari potensi konflik. Benih-benih konflik dibasmi di pasar tradisional, berkat hidupnya proses tawar-menawar antara pedagang Tionghoa-Jawa atau pembeli Tionghoa-Jawa. Pasar yang dikepung oleh kampung pecinan dan kelenteng itu pada dasarnya mengadopsi spirit dagang Jawa yang mengedepankan rasa persaudaraan, yaitu bathi sanak tuna satak (rugi uang seratus tidak apa-apa asalkan beruntung mendapat saudara). Teori antropolog hebat, Clifford Geertz, sliding prize (harga luncur) yang lahir dari analisis peristiwa tawar-menawar bakul-pembeli di pasar tradisional, ditemukan pula di Pasar Gedhe. Bahkan, proses jual-beli model demikian ini menjadi medium interaksi dan menyebabkan kerukunan sosial terjalin secara alami. Ini berbeda dengan mal dan hipermarket, lantaran di situ pembeli dan penjual tak berdialog menentukan harga, karena harga sudah tertera di tubuh barang dagangan. Dari kisah apik ini, sesungguhnya tidak hanya saat datangnya Imlek realitas kerukunan etnis Tionghoa-Jawa dipertontonkan dan diabadikan melalui bidikan kamera. Lewat Pasar Gedhe, harmoni sosial-budaya terus dijaga dan bisa kita lihat pada kehidupan sehari-hari tanpa menunggu tahun baru Imlek tiba. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar