Islam Versi Kiai Sahal
Sumiati Anastasia ;
Alumnus Program Master University of
Birmingham,
Studi
Relasi Islam-Kristen
|
TEMPO.CO,
28 Januari 2014
Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kiai Haji
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, wafat pada Jumat lalu. Sosok yang akrab disapa
Mbah Sahal ini lahir pada 17 Desember 1937 dari pasangan Kiai Mahfudz bin
Abd. Salam al- Hafidz dan Hj. Badi'ah. Ia sedari lahir hidup di pesantren,
dibesarkan dalam lingkungan pesantren, belajar, hingga ladang pengabdiannya
pun ada di pesantren.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian Kiai Sahal. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak perlu diragukan. Indonesia dan dunia Islam jelas amat kehilangan sosok karismatik yang disegani di dalam dan di luar negeri ini. Dalam bidang kesehatan, Mbah Sahal pernah mendapat penghargaan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena gagasannya dalam mendirikan taman gizi dan balai kesehatan. Ia juga merupakan kolumnis dan meninggalkan banyak karya. Di atas segalanya, Mbah Sahal memberikan keteladanan hidup yang sederhana dan cinta damai sehingga memancarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Dia juga pembela yang tegas agar NU tetap berpegang pada Khittah 1926, yakni agar NU menjauhi politik praktis. Pokoknya, almarhum sungguh memancarkan Islam yang rahmatan lil alamin, mengingat cinta dan damai merupakan esensi dari hukum tertinggi. Atas jasa-jasanya, beliau mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Perdamaian Dunia (1984) dan Doctor Honoris Causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kontribusinya sebagai ahli ilmu fikih sosial, yakni memadukan ajaran dan hukum sosial dengan kehidupan masyarakat. Sayang, Islam yang rahmatan lil alamin itu kini seolah tengah terdesak oleh kelompok takfirisme, yang memandang hukum Islam secara harafiah sehingga menampakkan wajah Islam yang marah. Keberadaan mereka jelas membahayakan ajaran Islam yang cinta damai. Sekaligus, mereka membahayakan keutuhan Indonesia yang terdiri atas banyak suku bangsa, agama, dan kepercayaan. Berulang kali, presiden pertama kita Sukarno berpidato bahwa negeri kita dibangun oleh perjuangan, pengorbanan, bahkan darah dari banyak pejuang yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan mazhab. Untuk itu, meninggalnya Mbah Sahal jelas merupakan kehilangan besar, karena beliau punya rasa nasionalisme besar, sekaligus menghargai kemajemukan bangsa, serta sangat menghargai sesama umat beragama. Toleransi dan penghargaan Mbah Sahal itu mengingatkan penulis akan semangat yang diperjuangkan Karen Armstrong. Setelah melakukan pengembaraan spiritual dalam berbagai agama samawi, Karen sampai pada kesimpulan bahwa memang tidak ada agama yang membenarkan kekerasan. Kekerasan terjadi karena orang keliru dalam menafsirkan atau memahami pesan-pesan mulia agama. Ingat pesan cinta Karen, jadi ingat kalimat Ibn 'Arabi. Sufi besar abad ke-12 asal Andalusia itu mengatakan agama adalah wadah bagi-Nya untuk menebar kasih sayang kepada segenap insan. Pesan kasih sayang itu, utamanya, harus bisa dirasakan oleh masyarakat, sebagaimana ditunjukkan oleh Mbah Sahal sepanjang hidupnya lewat keberadaan pesantren yang dikelolanya, serta ribuan santrinya yang menebar spirit rahmatan lil alamin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar