Indonesia Raya
Sukardi Rinakit ;
Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren
Foundation
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
DI akhir acara yang dipandunya,
Najwa Shihab bertanya kepada Megawati Soekarnoputri mengenai keinginan,
cita-cita, dan mata hatinya. Dengan menahan air mata, Megawati menjawab, ”Indonesia Raya.” Saya tertegun
mendengar itu.
Anda boleh tidak setuju dengan pendapat
penulis. Kini, sulit sekali mencari pemimpin politik seperti Megawati. Selain
kaya pengalaman dan matang secara politik, dia juga meletakkan seluruh
hatinya untuk Republik. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa di antara para
kandidat presiden yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu 2014
yang akan menjawab dengan spontan ”Indonesia Raya” jika kepada mereka
ditanyakan cita-citanya.
Oleh karena itu, siapa pun yang
dekat dengan Megawati, sama seperti siapa pun yang dulu dekat dengan ketiga bung
besar (Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir), sejauh ia mau membuka diri
dan mata hati, maka transfer pemikiran, cita-cita, sikap politik, dan
ideologi kebangsaan otomatis terjadi. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo,
misalnya, merupakan salah satu contoh dalam cakupan ini. Pada sosok seperti
dia, harapan tentang kesejahteraan rakyat bisa diletakkan.
Indonesia yang dangkal
Sulitnya mencari elite di Tanah
Air yang dengan tulus berkehendak mewujudkan Indonesia Raya menunjukkan bahwa
Indonesia saat ini adalah Indonesia yang dangkal. Ini terjadi hampir di semua
lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tingkat partai politik,
misalnya, mudah sekali elite partai mengubah kesepakatan yang sudah
dilontarkan kepada publik. Sebagai contoh adalah Partai Demokrat. Sejak awal
penyelenggaraan konvensi, mereka menyatakan bahwa pemenang konvensi calon
presiden dari partai itu akan ditentukan oleh dua variabel, yaitu hasil jajak
pendapat tiga lembaga survei yang mereka kontrak dan pertimbangan Majelis
Tinggi Partai Demokrat yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, tiba-tiba ada pernyataan
dari salah seorang petinggi partai bahwa apabila hasil jajak pendapat ketiga
lembaga independen itu berbeda satu dan yang lain, akan diabaikan dan
dipergunakan mekanisme yang lain. Mudah ditebak, mekanisme tersebut tentu
bermuara pada hak istimewa Majelis Tinggi, dalam hal ini pertimbangan mutlak
SBY.
Dilihat sekilas, tidak ada yang
salah dari rencana partai itu untuk mengabaikan hasil survei tersebut. Namun,
sulit untuk tidak mengatakan bahwa langkah politik semacam itu adalah
dangkal. Politik hanya dilihat sebatas perebutan kekuasaan dengan cara
memunculkan kandidat presiden yang secara subyektif mereka pilih. Politik
tidak mereka lihat sebagai sesuatu yang lebih bernyawa, yaitu seni
mempergunakan kekuasaan demi kepentingan umum.
Praktik politik dangkal tersebut,
apabila dijalankan, dipastikan akan semakin memerosotkan dukungan masyarakat
terhadap Partai Demokrat. Selain itu, juga berpotensi memunculkan musuh-musuh
baru, terutama dari para peserta konvensi karena merasa keputusan Majelis
Tinggi tidak adil. Ini belum lagi jika manuver Anas Urbaningrum dan para
loyalisnya ikut diperhitungkan.
Situasi politik seperti itu
tidaklah sederhana. Demokrasi dangkal (prosedural) yang berlaku selama ini
menyimpan keputusasaan publik dan bara konflik. Rakyat yang secara umum
kecewa kepada partai, pejabat publik, dan birokrasi yang miskin akuntabilitas
akhirnya terpaksa berperilaku tidak demokratis. Mereka bersandar pada
ikatan-ikatan primordial.
Seperti dicatat oleh Michael
Johnston, mereka akan memilih politisi yang berasal dari daerah sendiri.
Meskipun dari segi kualitas dan kapabilitas kepemimpinan rendah, politisi
tersebut diharapkan akan sedikit memperhatikan tanah kelahirannya. Maka,
kalau dia kalah, kecurigaan terjadinya kecurangan dan politik transaksional
dari oponen cepat menyebar dan memanaskan suhu politik.
Kedangkalan politik tersebut
ketika bertemu dengan budaya pop yang berkembang secara ekstrem dalam satu
dekade terakhir maka yang terjadi adalah penguatan pencitraan dan
pragmatisme. Selain itu, seperti dinyatakan Hayono Isman dalam kuliah umum
yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate, Kamis (9/1), pragmatisme
politik tersebut telah mengikis gotong royong sebagai jiwa bangsa.
Karena
itu, gerakan nasional untuk menghidupkannya mutlak diperlukan dan dimotori
oleh kepemimpinan nasional.
Dengan demikian, kerja politik
tidak terjebak pada pencitraan yang ditandai dominasi rapat dan
bincang-bincang politik elite, seperti yang selama ini berlangsung. Jika hal
itu terus berlaku, ranah politik akan sering terguncang oleh simpang siur
pernyataan para menteri, presiden, dan pejabat publik lain tanpa mereka
sendiri tahu kebatinan publik sebenarnya.
Tujuan bernegara
Secara teoretis, kedangkalan
politik di Tanah Air bisa dibalik menjadi kebajikan politik masif. Di sini
yang diperlukan adalah contoh hidup dan ketokohan sehingga optimisme publik
bangkit. Tokoh yang sudah digembleng ideologi dan cita-cita mewujudkan
Indonesia Raya adalah simbol yang tepat untuk itu.
Secara prediktif dia akan
konsisten mempergunakan kekuatan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam perdamaian dunia
yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Itulah Indonesia
Raya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar