Pembelajaran Politik ala Forum Rektor
Nurkholis Mistari ;
Sekretaris
Badan Public Relations & Creativity
Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 30 Januari 2014
KEPEMIMPINAN Prof Laode M Kamaluddin
sebagai Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) 2013 resmi berakhir pada 30
Januari 2014. Rektor Unissula itu selanjutnya menyerahkan tampuk kepemimpinan
kepada Ketua FRI 2014 Prof Ravik Karsidi, yang juga Rektor UNS Surakarta.
Merunut apa yang telah dilakukan Prof Laode
selama setahun masa bakti pada forum itu, publik patut memberikan perhatian,
khususnya upaya meningkatkan kesadaran berdemokrasi menjelang Pemilu 2014.
Dia bahkan menggandeng Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dalam periode kepemimpinannya, ia juga
aktif membawa anggota FRI bersafari dengan menggelar pertemuan regional
rektor di berbagai wilayah di Indonesia.
Pertemuan regional Jawa digelar di UNS
(10/5/13), Maluku dan Papua di Unipa (1/6/13), Sulawesi dan Gorontalo di
Unhas (8/6/13), Bali, NTT dan NTB di Unud (22/6/13), Kalimantan di Unmul
(1/7/13), Sumatera di UMSU Medan (6/7/13), Jateng di Undip (28/9/13), Jatim
di Unibraw (23/11/13), DKI Jakarta di Usakti (30/11/13), Jabar dan Banten di
Unpad (21/12/13), dan Sumsel di Unsri (7/1/14).
Forum rektor juga menghadirkan pimpinan
parpol/capres dalam temu regional tersebut, supaya menyampaikan konsep,
program kerja, serta visi dan misi andai kelak terpilih menjadi presiden
2014.
Mereka adalah Endriartono Sutarto, Anies
Baswedan, Marzuki Ali, Irman Gusman, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Mahfud
MD, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, Anis Matta, Jenderal (Purn) Pramono Edhie
Wibowo, Surya Paloh,Yusril Ihza Mahendra, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, dan
Dahlan Iskan.
Pemikiran untuk mengundang pimpinan parpol/calon
presiden ke kampus pada awalnya dianggap ''tabu'', bahkan ''menggelisahkan''
anggota forum rektor. Pasalnya, mendasarkan pada logika kritis, ikhitiar itu
sama artinya dengan membuka kesempatan bagi politik untuk memasuki kampus,
atau lebih jauh lagi menjadikan kampus sebagai arena gratis kampanye mereka.
Anggapan miring itu bisa dimaklumi
mengingat persepsi publik terhadap partai politik saat ini berada di titik
nadir setelah keterungkapan berbagai skandal korupsi dan moral yang
melibatkan sejumlah tokoh penting partai, baik di pusat maupun di daerah.
Karena itu, pada awalnya pemikiran untuk
mengundang para capres ke kampus untuk menyampaikan gagasannya dianggap
mencederai netralitas kampus dari agenda politik. Bahkan ada kekhawatiran apa
yang dilakukan FRI akan menuai protes dan boikot dari aktivis kampus.
Realitasnya, yang terjadi di lapangan sangat berbeda.
Capres dari berbagai partai menyampaikan gagasannya
di depan mahasiswa, dosen, dan para pakar di kampus tanpa ada penolakan.
Visi, misi, dan konsep kepemimpinan para capres kemudian diuji dan dikritisi
oleh para akademisi pada pertemuan anggota forum itu.
Tentu tidak mudah bagi seorang capres meyakinkan
konsep kepemimpinannya dianggap berkualitas dan ia layak memimpin Indonesia
ke depan jika ia diuji di hadapan akademisi kampus. Bahkan tidak jarang
capres dinilai tidak menguasai program ketika diajak beradu argumen dengan
para pakar dan guru besar.
Tidak sedikit pula capres mendapat
apresiasi dari kampus karena memiliki konsep jelas dan progresif untuk
memimpin bangsa ke depan. Inilah pelajaran penting mengingat publik kerap
lupa bahwa dalam pemilihan capres, kita perlu melihat konsep dan program para
kandidat. Apakah konsep mereka teruji, realistis, dan apakah program mereka
bisa menjelaskan akan membawa ke mana Indonesia, minimal selama lima tahun ke
depan.
Antisipasi
Golput
Dalam praktik, popularitas dan
elektabilitas seorang capres kadang bisa mengalahkan segalanya sehingga
masyarakat yang telah mempunyai hak pilih seperti terjebak dalam situasi
ìmembeli kucing dalam karungî. Kekhawatiran semacam itu yang kemudian menjadi
salah satu pembelajaran politik yang ingin ditekankan oleh FRI dalam proses pendewasaan
berdemokrasi, khususnya menjelang Pemilu 2014.
Politik masuk kampus yang diinisiasi FRI
juga dapat dinilai tepat, terutama untuk mengantisipasi makin rendahnya
partisipasi dalam pemilu. Bukan rahasia lagi bahwa kaum intelektual kampus
merupakan salah satu penyumbang angka golput dalam berbagai pelaksanaan
pemilu.
Mengundang tokoh partai dan capres ke
kampus untuk menguji konsep dan program mereka justru dapat menyadarkan
pemilih muda, terutama mahasiswa, untuk tidak menggeneralisasi bahwa semuanya
buruk. Pasalnya, mereka bisa melihat dan mendengar sendiri ternyata masih ada
alternatif pemimpin yang memiliki konsep jelas yang layak mendapat
kepercayaan dipilih dalam pemilu.
Kebertumbuhan kesadaran dari kalangan
kampus dapat mengurangi risiko tinggi angka golput dalam Pemilu 2014.
Bukankah sangat berisiko bagi masa depan bangsa ini andai kaum muda, terlebih
yang memiliki cukup basis intelektual, tidak lagi mau mengambil bagian dalam
penentuan nasib bangsa ini, termasuk melalui pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar