Kamis, 30 Januari 2014

Indikator Ekonomi

Indikator Ekonomi

Marzuki Usman  ;   Mantan Ketua Umum ISEI
SINAR HARAPAN,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Alkisah, pada suatu peristiwa di Kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta. Penulis dari tahun 1976-1998 bersama Prof Dr Ali Wardhana memberi kuliah untuk mata kuliah Keuangan Negara serta Keuangan dan Perbankan. Karena Prof Dr Ali Wardhana dari 1968-1988 beliau menjabat menteri keuangan, kemudian menteri koordinator perekonomian semasa Presiden Soeharto, maka yang memberi kuliah di kelas, beliau minta penulis untuk melaksanakannya. Ketika kuliah sampai kepada subjek Kebijakan Fiskal, penulis berusaha menjelaskannya dengan analogi alias perbandingan kepada praktik kehidupan sehari-hari. Penulis mengambil contoh bagaimana seseorang bisa mengendarai mobil dengan baik. 

Seperti semua orang sudah mengetahui, sopir yang baik itu adalah yang menyopirnya enak, tidak mengerem mendadak, belok-beloknya lembut, dan tidak mogok di jalan. Artinya, sopir ini bisa membaca dashboard, yakni papan informasi yang memuat informasi tentang posisi bahan bakar, temperatur mesin, posisi minyak oli, keadaan baterai atau aki, dan seterusnya.

Sopir yang seperti ini dinamakan sopir yang terampil. Kenapa dikatakan demikian, karena dia menguasai betul petunjuk-petunjuk bagaimana menyopir yang baik dan dia sudah menyopir lebih lama, misalnya lebih dari 720 jam, alias tiga puluh hari dan tiga puluh malam. Tetapi, kalau si sopir itu, surat izin mengemudinya main tembak, alias dia beli, dan jam terbangnya sebagai sopir baru dua jam, pastilah sopir seperti ini akan membuat penumpangnya kecewa, bahkan bisa menyumpah serapah. Sudah pasti sopir seperti ini tidak bisa membaca dashboard. Nah, keadaan menjadi lebih celaka lagi karena dia tidak tahu kapan harus mengisi bahan bakar, oli, air, dan sebagainya.

Di bidang kebijakan fiskal, si pengambil kebijakan ialah mereka yang menjadi penguasa fiskal, yang mandatnya dia peroleh berdasarkan undang-undang. Mereka itu adalah mulai dari presiden, yang dalam kesehariannya dilaksanakan oleh menteri keuangan, gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka ini sebagai penguasa fiskal oleh undang-undang diberi amanat untuk memungut pajak dan membelanjakan Anggaran Belanja Negara dan atau Anggaran Belanja Daerah.

Untuk melaksanakan hal ini, dikenal dengan nama kebijakan fiskal. Mereka harus bisa membaca Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), yang berfungsi sebagai dashboard. Gagal membaca APBN atau APBD berarti semakin semberaut dan sembrono pengelolaan keuangan negara atau keuangan daerah. Akibat lebih jauh, pada gilirannya negara atau daerah akan semakin mundur, dalam arti, pendapatan nasional menurun dan inflasi menaik. Dalam istilah ilmu ekonomi disebut Stagflation, yaitu stagnasi (pendapatan nasional menurun) dan inflasi (tingkat harga umum menaik).

Bayangkan, jika seorang bupati atau wali kota tidak bisa membaca APBD. Dia tidak akan tahu kapan harus menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) dan atau tarif pajak bumi bangunan (PBB). Dia juga tidak akan tahu kapan harus menaikkan gaji pegawainya. Dia juga tidak akan tahu pembangunan apa yang harus dilaksanakan secepat mungkin dan sebagainya. Lebih celaka lagi kalau dia mengangkat Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), seseorang yang dia tidak menguasai ilmunya di SKPD itu. Misalnya, dia angkat seseorang yang bukan ahlinya, pastilah kehancuranlah yang akan terjadi. Lihatlah betapa banyak kota di Indonesia yang sudah semberaut?

Patut diketahui, dewasa ini di Indonesia, menurut rekan-rekan ahli ekonomi keuangan daerah, banyak sekali bupati atau wali kota, kepala daerah yang tidak bisa membaca APBD. Keadaan ini samalah situasinya seperti para sopir yang tidak bisa membaca dashboard. Alangkah malangnya nasib rakyat Indonesia. Keadaan seperti ini tidak boleh berkepanjangan lagi dan tidak boleh diakomodasikan oleh rakyat Indonesia. Teman penulis, Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti, beliau berkata, “Marzuki, ekonomi Indonesia adalah ekonomi doa.” Maka, marilah kita ramai-ramai berdoa semoga para bupati atau wali kota bisa membaca dashboard APBD-nya! Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar